Politik
Emak-emak, Sebuah Renungan
Ani Soetjipto ; Pengajar di Departemen Hubungan
Internasional FISIP UI
dan Prodi Kajian Gender SKSG UI
|
KOMPAS,
07 September
2018
Belakangan ini, politik
emak-emak ramai memenuhi pemberitaan di media sosial, elektronik, ataupun
media cetak. Pemberitaan yang terekam adalah ibu-ibu yang berdemo soal
kenaikan harga kebutuhan pokok di Istana, aksi menuntut Presiden Jokowi
mundur, dan mengusung tagar 2019#Ganti Presiden.
Barisan emak-emak ini
menamai dirinya Barisan Emak-emak Militan Indonesia (BEMI). Di kutub lain ada
juga barisan emak-emak yang menamai dirinya Emak-emak Militan Jokowi
Indonesia (EMJI). EMJI menolak 2019 ganti presiden.
Fenomena emak-emak militan
ini tak hanya di Jakarta, tetapi juga menyebar dan dicoba disebarkan ke
pelbagai tempat.
Tulisan ini merefleksikan
fenomena yang marak sejak Pilkada DKI tahun lalu agar kita bisa membedakan
politik emak-emak ini dengan politik perempuan pada kontes elektoral
sebelumnya (Pemilu 2004, 2009, 2014).
Representasi
perempuan
Politik perempuan
pasca-Reformasi bermuara pada ide bahwa perempuan adalah agensi atau aktor
atau subyek dalam politik. Gagasan tentang politik perempuan meyakini bahwa
perempuan bisa bersikap otonom dalam merepresentasikan diri dan kepentingan
mereka.
Identitas perempuan
dimaknai bukan hanya lewat tubuh biologisnya yang berbeda dengan laki-laki,
melainkan yang lebih penting adalah pemaknaan yang lebih substantif mengenai
identitas jender tersebut dan bagaimana identitas jender perempuan
terepresentasi di arena politik (Drude Dahlerup, 1982, 1984, 1988), Irish M
Young (2000), Ann Phillips (1995), Chantal Mouffe (2001), Laurel Weldon
(2002). Politik perempuan adalah politik yang dimaknai dalam arti luas
(menolak dikotomi ruang publik-privat).
Bermuara dari pemikiran
tersebut, muncul beragam gagasan tentang partisipasi, representasi, ataupun
kebijakan yang berperspektif perempuan dalam konteks demokratisasi yang
berpihak pada kalangan minoritas dan kelompok marjinal. Politik perempuan
adalah politik pemihakan pada yang lemah, tertinggal, dan mereka yang papa.
Landasannya adalah
konsepsi power-relations yang berdimensi jender yang melihat ketimpangan
dalam akses, partisipasi, alokasi sumber daya, ataupun kepemimpinan bagi
perempuan di arena politik.
Dengan landasan tersebut,
politik perempuan kemudian dijalankan lewat beragam prakarsa dan inisiatif.
Tujuannya adalah untuk mengubah politik maskulin dan mentransformasikan
kehidupan politik menjadi lebih baik. Prinsip kesetaraan dan keadilan dalam
ruang demokrasi adalah justifikasi paling kokoh sebagai landasan partisipasi
perempuan di arena politik (Judith Squires, 2007, J Jaquette 1984, 1989,
2009).
Kemunduran
Politik perempuan di
Indonesia pasca-Reformasi mencatat kontribusi gerakan perempuan pada proses
demokratisasi lewat beragam inisiatif dan prakarsa dalam bentuk
kebijakan/regulasi, seperti afirmasi untuk perempuan di arena politik formal
(kuota 30 persen perempuan), pengarus-utamaan jender (PUG) melalui Inpres No
9/2000, juga regulasi nasional dan lokal untuk pemberdayaan, kesejahteraan,
dan keadilan.
Selain itu, ada
pembentukan women policy agency di tiap institusi strategis pengambilan
keputusan untuk memastikan hadirnya kebijakan negara yang ramah pada
kepentingan perempuan serta meningkatnya peran serta perempuan sebagai aktor
politik di pentas nasional dan lokal.
Hari-hari ini, fenomena
politik emak-emak dicirikan dengan polarisasi tajam dan saling dibenturkan
antara kelompok pro-Jokowi/Ma’ruf Amin dan yang pro-Prabowo/Sandiaga Uno,
sungguh merupakan kemunduran atau setback dari politik perempuan yang kita
kenal selama ini.
Baik pendukung
Jokowi/Ma’ruf Amin yang menamai dirinya sebagai EMJI maupun pendukung
Prabowo/Sandiaga Uno yang menamai diri BEMI sama-sama kembali menjadikan
politik perempuan sebagai subordinasi dari politik kepartaian yang maskulin,
yang bertahun-tahun ditolak gerakan perempuan.
Gerakan politik emak-emak
pada kenyataannya justru kembali memarjinalkan perempuan hanya sebagai obyek
kepanjangan tangan dari kepentingan jangka pendek kekuasaan, terutama
kepentingan partai politik/koalisi parpol untuk kepentingan elektoral.
Atasi
tantangan
Tantangan besar yang
dihadapi Indonesia saat ini adalah meningkatkan kualitas demokrasi di tengah
masalah korupsi politik, partai yang gagal berfungsi, oligarki, dan politik
dinasti yang saling berkelindan. Tantangan itu masih ditambah tantangan
masalah kebangsaan (nasionalisme) di tengah masyarakat yang terbelah dan
terpolarisasi sebagai dampak politik identitas.
Indonesia sebagai negara
majemuk hari ini harus menghadapi isu populisme, SARA (politik identitas)
bernuansa etnis dan agama, yang ikut berdampak pada perempuan.
Maka, gerakan perempuan
pada fase ini harus bisa menyumbangkan pemikiran dan gagasan dalam merespons
tantangan serta bekerja bersama untuk merawat keindonesiaan untuk masa depan
Indonesia yang lebih baik.
Politik emak-emak yang
dibutuhkan seharusnya melampaui (beyond) kepentingan politik elektoral jangka
pendek: sekadar untuk pemenangan pemilu dan pilpres. Politik emak-emak
seharusnya bisa melihat jauh ke depan bagaimana merajut peran serta perempuan
dan kebangsaan dengan menengok jejak masa lalu, situasi masa kini, dan untuk
masa depan Indonesia.
Jejak perempuan telah
hadir sejak awal dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Tantangan bagi pemaknaan
tentang jender nasionalisme yang membebaskan, memaknai ulang konsep jender
citizenship di arena publik dan privat, serta tantangan meningkatkan bentuk-bentuk
partisipasi berdimensi jender dalam masyarakat merupakan tantangan baru bagi
gerakan perempuan yang harus dijawab saat ini. Sanggupkah kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar