Senin, 17 September 2018

Politik Emak-emak, Sebuah Renungan

Politik Emak-emak, Sebuah Renungan
Ani Soetjipto  ;  Pengajar di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
dan Prodi Kajian Gender SKSG UI
                                                    KOMPAS, 07 September 2018



                                                           
Belakangan ini, politik emak-emak ramai memenuhi pemberitaan di media sosial, elektronik, ataupun media cetak. Pemberitaan yang terekam adalah ibu-ibu yang berdemo soal kenaikan harga kebutuhan pokok di Istana, aksi menuntut Presiden Jokowi mundur, dan mengusung tagar 2019#Ganti Presiden.

Barisan emak-emak ini menamai dirinya Barisan Emak-emak Militan Indonesia (BEMI). Di kutub lain ada juga barisan emak-emak yang menamai dirinya Emak-emak Militan Jokowi Indonesia (EMJI). EMJI menolak 2019 ganti presiden.

Fenomena emak-emak militan ini tak hanya di Jakarta, tetapi juga menyebar dan dicoba disebarkan ke pelbagai tempat.

Tulisan ini merefleksikan fenomena yang marak sejak Pilkada DKI tahun lalu agar kita bisa membedakan politik emak-emak ini dengan politik perempuan pada kontes elektoral sebelumnya (Pemilu 2004, 2009, 2014).

Representasi perempuan

Politik perempuan pasca-Reformasi bermuara pada ide bahwa perempuan adalah agensi atau aktor atau subyek dalam politik. Gagasan tentang politik perempuan meyakini bahwa perempuan bisa bersikap otonom dalam merepresentasikan diri dan kepentingan mereka.

Identitas perempuan dimaknai bukan hanya lewat tubuh biologisnya yang berbeda dengan laki-laki, melainkan yang lebih penting adalah pemaknaan yang lebih substantif mengenai identitas jender tersebut dan bagaimana identitas jender perempuan terepresentasi di arena politik (Drude Dahlerup, 1982, 1984, 1988), Irish M Young (2000), Ann Phillips (1995), Chantal Mouffe (2001), Laurel Weldon (2002). Politik perempuan adalah politik yang dimaknai dalam arti luas (menolak dikotomi ruang publik-privat).

Bermuara dari pemikiran tersebut, muncul beragam gagasan tentang partisipasi, representasi, ataupun kebijakan yang berperspektif perempuan dalam konteks demokratisasi yang berpihak pada kalangan minoritas dan kelompok marjinal. Politik perempuan adalah politik pemihakan pada yang lemah, tertinggal, dan mereka yang papa.

Landasannya adalah konsepsi power-relations yang berdimensi jender yang melihat ketimpangan dalam akses, partisipasi, alokasi sumber daya, ataupun kepemimpinan bagi perempuan di arena politik.

Dengan landasan tersebut, politik perempuan kemudian dijalankan lewat beragam prakarsa dan inisiatif. Tujuannya adalah untuk mengubah politik maskulin dan mentransformasikan kehidupan politik menjadi lebih baik. Prinsip kesetaraan dan keadilan dalam ruang demokrasi adalah justifikasi paling kokoh sebagai landasan partisipasi perempuan di arena politik (Judith Squires, 2007, J Jaquette 1984, 1989, 2009).

Kemunduran

Politik perempuan di Indonesia pasca-Reformasi mencatat kontribusi gerakan perempuan pada proses demokratisasi lewat beragam inisiatif dan prakarsa dalam bentuk kebijakan/regulasi, seperti afirmasi untuk perempuan di arena politik formal (kuota 30 persen perempuan), pengarus-utamaan jender (PUG) melalui Inpres No 9/2000, juga regulasi nasional dan lokal untuk pemberdayaan, kesejahteraan, dan keadilan.

Selain itu, ada pembentukan women policy agency di tiap institusi strategis pengambilan keputusan untuk memastikan hadirnya kebijakan negara yang ramah pada kepentingan perempuan serta meningkatnya peran serta perempuan sebagai aktor politik di pentas nasional dan lokal.

Hari-hari ini, fenomena politik emak-emak dicirikan dengan polarisasi tajam dan saling dibenturkan antara kelompok pro-Jokowi/Ma’ruf Amin dan yang pro-Prabowo/Sandiaga Uno, sungguh merupakan kemunduran atau setback dari politik perempuan yang kita kenal selama ini.

Baik pendukung Jokowi/Ma’ruf Amin yang menamai dirinya sebagai EMJI maupun pendukung Prabowo/Sandiaga Uno yang menamai diri BEMI sama-sama kembali menjadikan politik perempuan sebagai subordinasi dari politik kepartaian yang maskulin, yang bertahun-tahun ditolak gerakan perempuan.

Gerakan politik emak-emak pada kenyataannya justru kembali memarjinalkan perempuan hanya sebagai obyek kepanjangan tangan dari kepentingan jangka pendek kekuasaan, terutama kepentingan partai politik/koalisi parpol untuk kepentingan elektoral.

Atasi tantangan

Tantangan besar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah meningkatkan kualitas demokrasi di tengah masalah korupsi politik, partai yang gagal berfungsi, oligarki, dan politik dinasti yang saling berkelindan. Tantangan itu masih ditambah tantangan masalah kebangsaan (nasionalisme) di tengah masyarakat yang terbelah dan terpolarisasi sebagai dampak politik identitas.

Indonesia sebagai negara majemuk hari ini harus menghadapi isu populisme, SARA (politik identitas) bernuansa etnis dan agama, yang ikut berdampak pada perempuan.

Maka, gerakan perempuan pada fase ini harus bisa menyumbangkan pemikiran dan gagasan dalam merespons tantangan serta bekerja bersama untuk merawat keindonesiaan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Politik emak-emak yang dibutuhkan seharusnya melampaui (beyond) kepentingan politik elektoral jangka pendek: sekadar untuk pemenangan pemilu dan pilpres. Politik emak-emak seharusnya bisa melihat jauh ke depan bagaimana merajut peran serta perempuan dan kebangsaan dengan menengok jejak masa lalu, situasi masa kini, dan untuk masa depan Indonesia.

Jejak perempuan telah hadir sejak awal dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Tantangan bagi pemaknaan tentang jender nasionalisme yang membebaskan, memaknai ulang konsep jender citizenship di arena publik dan privat, serta tantangan meningkatkan bentuk-bentuk partisipasi berdimensi jender dalam masyarakat merupakan tantangan baru bagi gerakan perempuan yang harus dijawab saat ini. Sanggupkah kita? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar