Tuhan
pun Diajak Berpolitik
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 07 September 2018
Di
samping terjadi perubahan dan kemajuan dalam bidang sains dan teknologi,
fenomena sosial yang cukup menonjol adalah terjadinya penguatan identitas dan
solidaritas kelompok berdasarkan kesamaan keyakinan agama dan sentimen etnis.
Sementara
itu agama dan etnik selalu bersifat plural, majemuk. Di muka bumi ini
terdapat beragam agama dan etnik. Oleh karenanya peran agama tidak saja
menyatukan, tetapi juga menciptakan segregasi sosial. Bahkan sampai pada
tingkat konflik dan perang atas nama agama.
Agama
menciptakan pengelompokan sosial sehingga muncul kategori “kami” dan “mereka”
yang di tandai dengan identitas keagamaan. Di Indonesia identitas keagamaan
ini cukup fenomenal ketika menghadapi pilkada dan pemilu.
Ketika
koalisi parpol tengah melakukan konsolidasi untuk menghadapi Pilpres 2019
mendatang, isu identitas dan afiliasi keagamaan tokoh menjadi sangat penting
karena menjadi sorotan dan pertimbangan rakyat dalam memberikan dukungan.
Baik
kubu Jokowi maupun Prabowo sangat menyadari betapa penting identitas dan
sokongan keagamaan ini sehingga keduanya berusaha menunjukkan perhatian dan
respek kepada ulama. Sebagai instrumen mencari dukungan massa, sudah pasti
peran ulama sangat besar.
Namun
ketika dihadapkan pada persoalan dan tantangan ekonomi, pada program
akselerasi pengembangan teknologi, problematika birokrasi negara modern, pada
berbagai tantangan global, pemberantasan korupsi, upaya mendongkrak pemasukan
pajak, serta penstabilan rupiah, apakah jawaban dan solusi yang ditawarkan
oleh jajaran ulama? Mari kita tunggu.
Hasil
penelitian sosial menunjukkan, kemajuan sebuah bangsa dan negara lebih ditentukan
oleh teknologi dan manajemen politik pemerintahan yang tepat. Agama tetap
diperlukan karena memberikan basis moral, makna, dan tujuan hidup.
Namun
bangsa yang bersemangat mengedepankan identitas agama tanpa disertai
keunggulan teknologi dan pemerintahan yang efektif, visioner, dan berwibawa,
peran sosial agama cenderung mandek sebagai kekuatan kohesi sosial.
Bahkan
di beberapa tempat muncul konflik karena dipicu identitas keagamaan yang
berbeda. Belakangan ini mudah sekali diamati, tiap parpol ingin menunjukkan
dirinya adalah nasionalis dan religius. Berbagai kelompok agama didekati dan
dibina agar turut memberikan dukungan demi memenangi pilpres.
Beberapa
kelompok dan pribadi mencari pembenaran teologis bahwa dirinya sudah berada
di atas jalan Tuhan dan senantiasa membela agama Tuhan. Bahkan ada jamaah
umrah yang memanjatkan doa di depan Kakbah agar agama Tuhan semakin berjaya
di bawah kepemimpinannya.
Dengan
kata lain, dalam kontestasi politik, Tuhan pun diajak berpolitik dan
berkoalisi dengan kelompoknya. Mungkin ini sebuah cerminan dari negara yang
berketuhanan yang maha esa. Bisa juga ini cerminan sebuah militansi
keberagamaan yang diekspresikan dalam partisipasi politik.
Bisa
juga ini sebuah ijtihad politik yang muncul dari panggilan hati untuk
membangun dan menyelamatkan bangsa dan negara. Semua itu sah-sah saja. Ketika
tiap kelompok dan pendukung capres-cawapres sama identitas agamanya, sama
doanya, sama Tuhan yang disembahnya, kita tidak tahu bagaimana respons Tuhan
atas doa-doa itu.
Bagi
masyarakat sekuler yang tidak melibatkan Tuhan dalam berpolitik, tentu saja
akan berbeda dalam menjajakan jagonya. Rakyat juga punya pertimbangan
tersendiri dalam menentukan pilihannya.
Mungkin
saja yang lebih diperhatikan adalah program dan kapabilitas calon untuk
menyelesaikan berbagai problem dan tantangan bangsa yang tengah dihadapi.
Faktor agama tetap penting.
Di
Amerika dan Eropa misalnya, agama tidak menonjol sebagai instrumen politik
untuk membangun solidaritas kelompok seperti di Indonesia. Jadi, dengan
melibatkan simbol dan figur-figur ulama dalam kancah perpolitikan, semoga
saja hal ini mendatangkan keberkahan dan kesejukan.
Namun
hal tersebut juga menempatkan agama dan jajaran ulama dalam taruhan. Kalau
Indonesia malah mundur, akan muncul penilaian bahwa ruang gerak agama dan
ulama itu bukan pada ranah politik praktis yang penuh lumpur, saling jegal
dan tipu daya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar