Selasa, 18 September 2018

Tuhan pun Diajak Berpolitik

Tuhan pun Diajak Berpolitik
Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                              KORAN SINDO, 07 September 2018



                                                           
Di samping terjadi perubahan dan kemajuan dalam bidang sains dan teknologi, fenomena sosial yang cukup menonjol adalah terjadinya penguatan identitas dan solidaritas kelompok berdasarkan kesamaan keyakinan agama dan sentimen etnis.

Sementara itu agama dan etnik selalu bersifat plural, majemuk. Di muka bumi ini terdapat beragam agama dan etnik. Oleh karenanya peran agama tidak saja menyatukan, tetapi juga menciptakan segregasi sosial. Bahkan sampai pada tingkat konflik dan perang atas nama agama.

Agama menciptakan pengelompokan sosial sehingga muncul kategori “kami” dan “mereka” yang di tandai dengan identitas keagamaan. Di Indonesia identitas keagamaan ini cukup fenomenal ketika menghadapi pilkada dan pemilu.

Ketika koalisi parpol tengah melakukan konsolidasi untuk menghadapi Pilpres 2019 mendatang, isu identitas dan afiliasi keagamaan tokoh menjadi sangat penting karena menjadi sorotan dan pertimbangan rakyat dalam memberikan dukungan.

Baik kubu Jokowi maupun Prabowo sangat menyadari betapa penting identitas dan sokongan keagamaan ini sehingga keduanya berusaha menunjukkan perhatian dan respek kepada ulama. Sebagai instrumen mencari dukungan massa, sudah pasti peran ulama sangat besar.
Namun ketika dihadapkan pada persoalan dan tantangan ekonomi, pada program akselerasi pengembangan teknologi, problematika birokrasi negara modern, pada berbagai tantangan global, pemberantasan korupsi, upaya mendongkrak pemasukan pajak, serta penstabilan rupiah, apakah jawaban dan solusi yang ditawarkan oleh jajaran ulama? Mari kita tunggu.

Hasil penelitian sosial menunjukkan, kemajuan sebuah bangsa dan negara lebih ditentukan oleh teknologi dan manajemen politik pemerintahan yang tepat. Agama tetap diperlukan karena memberikan basis moral, makna, dan tujuan hidup.

Namun bangsa yang bersemangat mengedepankan identitas agama tanpa disertai keunggulan teknologi dan pemerintahan yang efektif, visioner, dan berwibawa, peran sosial agama cenderung mandek sebagai kekuatan kohesi sosial.

Bahkan di beberapa tempat muncul konflik karena dipicu identitas keagamaan yang berbeda. Belakangan ini mudah sekali diamati, tiap parpol ingin menunjukkan dirinya adalah nasionalis dan religius. Berbagai kelompok agama didekati dan dibina agar turut memberikan dukungan demi memenangi pilpres.

Beberapa kelompok dan pribadi mencari pembenaran teologis bahwa dirinya sudah berada di atas jalan Tuhan dan senantiasa membela agama Tuhan. Bahkan ada jamaah umrah yang memanjatkan doa di depan Kakbah agar agama Tuhan semakin berjaya di bawah kepemimpinannya.

Dengan kata lain, dalam kontestasi politik, Tuhan pun diajak berpolitik dan berkoalisi dengan kelompoknya. Mungkin ini sebuah cerminan dari negara yang berketuhanan yang maha esa. Bisa juga ini cerminan sebuah militansi keberagamaan yang diekspresikan dalam partisipasi politik.

Bisa juga ini sebuah ijtihad politik yang muncul dari panggilan hati untuk membangun dan menyelamatkan bangsa dan negara. Semua itu sah-sah saja. Ketika tiap kelompok dan pendukung capres-cawapres sama identitas agamanya, sama doanya, sama Tuhan yang disembahnya, kita tidak tahu bagaimana respons Tuhan atas doa-doa itu.

Bagi masyarakat sekuler yang tidak melibatkan Tuhan dalam berpolitik, tentu saja akan berbeda dalam menjajakan jagonya. Rakyat juga punya pertimbangan tersendiri dalam menentukan pilihannya.

Mungkin saja yang lebih diperhatikan adalah program dan kapabilitas calon untuk menyelesaikan berbagai problem dan tantangan bangsa yang tengah dihadapi. Faktor agama tetap penting.

Di Amerika dan Eropa misalnya, agama tidak menonjol sebagai instrumen politik untuk membangun solidaritas kelompok seperti di Indonesia. Jadi, dengan melibatkan simbol dan figur-figur ulama dalam kancah perpolitikan, semoga saja hal ini mendatangkan keberkahan dan kesejukan.

Namun hal tersebut juga menempatkan agama dan jajaran ulama dalam taruhan. Kalau Indonesia malah mundur, akan muncul penilaian bahwa ruang gerak agama dan ulama itu bukan pada ranah politik praktis yang penuh lumpur, saling jegal dan tipu daya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar