Kontroversi
Impor Beras
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Kelompok Kerja Dewan
Ketahanan Pangan
|
MEDIA
INDONESIA, 19 September 2018
TAMBAHAN
izin impor beras memantik kontroversi. Petani, seperti disuarakan Ketua Umum
Kontak Tani Nelayan Winarno Tohir, menolak tambahan izin impor beras 1 juta
ton untuk Perum Bulog. Tambahan impor dinilai mematahkan semangat petani
dalam berproduksi dan tengah menikmati harga gabah kering panen yang bagus:
Rp4.500-Rp5.000/kg. Sebaliknya, bagi pemerintah, tambahan impor merupakan
langkah antisipasi dan mitigasi terhadap harga beras yang terus naik lantaran
pasokan terbatas.
Seperti
umumnya yang berlaku dan terjadi di negara-negara di kawasan Asia, bagi
Indonesia beras bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga politik. Apa pun
bisa dikemas menjadi isu terkait komoditas yang satu ini, baik isu positif
maupun negatif. Ketika membiarkan harga beras tidak terkendali, terus naik
dari hari ke hari atau di level tinggi, pemerintah dianggap tidak peduli
kepada rakyat. Sebaliknya, ketika mengambil langkah mengendalikan atau impor,
pemerintah dianggap tidak berpihak kepada petani.
Dalam
konteks seperti ini bisa dipahami bila tambahan izin impor beras 1 juta ton
kepada Bulog menjadi pro dan kontra. Bagi yang kontra, pertama, tambahan izin
impor membuat total impor yang dikantongi Bulog sebesar 2 juta ton beras. Ini
amat besar, jauh lebih besar daripada realisasi impor beras empat tahun
terakhir: 844 ribu ton (2014), 862 ribu ton (2015), 1.283 ribu ton (2016),
dan 308 ribu ton (2017). Kedua, secara psikologis impor dalam jumlah besar
dikhawatirkan bakal membuat harga terdorong ke bawah.
Bagi
yang pro, seperti dijelaskan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita,
tambahan izin impor merupakan kebutuhan mutlak. Pertama, saat ini harga beras
masih tinggi, di atas harga eceran tertinggi (HET). Ini pertanda stok beras
di masyarakat tipis. Harga beras akan lebih tinggi lagi saat akhir musim gadu
pada September 2018 dan akan semakin tinggi saat paceklik pada Oktober
2018-Januari 2019.
Kedua,
penyerapan beras Bulog dari Januari 2018 hingga 18 September 2018 mencapai
2,672 juta ton, 1,12 juta di antaranya dari hasil impor. Artinya, penyerapan
domestik hanya 1,552 juta ton beras.Penyerapan beras di akhir musim gadu dan
musim paceklik dipastikan tidak akan bertambah signifikan.
Pertanyaannya,
apakah beras 2,672 juta ton di gudang Bulog saat ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan hingga akhir tahun? Buat Bulog, kebutuhan beras pada 2018 mencapai
3,3 juta ton. Jumlah itu terinci untuk Bansos Rastra 1 juta ton, cadangan
beras pemerintah 0,3 juta ton, dan cadangan agar harga terkendali sebesar 2
juta ton. Dikurangi beras carry over 2017 sebesar 0,7 juta ton, kebutuhan
beras tinggal 2,8 juta ton.
Untuk
mencapai jumlah itu, hanya perlu tambahan 0,128 juta ton beras (2,8 juta
ton-2,672 juta ton). Dengan asumsi penyerapan domestik tak bertambah
signifikan, hanya perlu tambah impor beras 0,128 juta ton. Inilah makna
pernyataan Dirut Bulog Budi Waseso bahwa beras yang dikuasai Bulog cukup.
Tidak perlu impor (besar) lagi.
Dalam
situasi apa pun, bagi pemerintah, pilihan antara mengimpor atau memperbesar
pengadaan beras dalam produksi domestik memang tidak mudah. Pilihan impor
selain tidak populis juga berisiko dinilai buruk di mata publik, terutama
petani. Sebaliknya, pilihan memperbesar pengadaan beras dari produksi
domestik juga tidak bebas risiko.
Mendorong
Bulog membeli gabah/beras di atas harga pembelian pemerintah (HPP) dengan
kebijakan fleksibilitas, misalnya, jelas menyalahi ensensi penetapan dan
pemberlakuan HPP (floor price). Memaksakan Bulog membeli gabah/beras produksi
domestik dan bersaing dengan pedagang hanya memicu harga pasar terus
meningkat.
Sejauh
ini kebijakan HPP seperti diatur dalam Inpres Nomor 5/2015 tentang Kebijakan
Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah terbukti cukup
efektif dalam memberikan dukungan harga (support price) dan menjamin
keuntungan yang layak bagi petani. Ini tecermin dari harga pasar, baik gabah
maupun beras, yang selalu berada di atas HPP.
Ini
menandakan dua hal penting. Pertama, semua gabah/beras terserap pasar. Kedua,
ini juga mengindikasikan bahwa surplus produksi tidak terjadi. Setidaknya,
jika pun ada surplus produksi, jumlahnya tidaklah signifikan alias tipis.
Paparan ini kembali mengulang pro-kontra sebelumnya, yang semuanya bermuara
dari persoalan data. Mengacu data Kementerian Pertanian, produksi padi 2017
mencapai 81,3 juta ton gabah kering giling, setara 46,3 juta ton beras. Total
konsumsi beras 260 juta penduduk Indonesia setara 29,7 juta ton beras. Jadi,
ada surplus 16,6 juta ton beras.
Siapa
yang bisa memastikan surplus itu benar? Jika benar surplus, tentu pasar
banjir beras dan membuat harga tertekan ke bawah. Yang terjadi justru
sebaliknya: harga beras terus naik. Jika kenaikan harga terjadi 2-3 hari,
amat mungkin ini ulah spekulan yang mengambil untung. Namun, jika kenaikan
berbulan-bulan, ini pertanda pasokan bermasalah.
Tidak
banyak diketahui publik, sejak 2016 Badan Pusat Statistik tidak
memublikasikan data pangan, terutama padi, jagung, dan kedelai. BPS ‘puasa’
merilis data karena meyakini ada sesuatu yang salah dalam data pangan. Karena
itu, BPS bersama BPPT sejak 2015 bahu-membahu mengembangkan metode
pengumpulan data baru yang lebih transparan, dan terbebas dari konflik
kepentingan pengumpul data. Hasil sementara, menurut Kepala BPS Suhariyanto,
produksi padi dilaporkan berlebih 17,5%.
Data
adalah pangkal semua kebijakan publik di mana pun di dunia, tak terkecuali di
Indonesia. Jika data yang digunakan sebagai dasar membuat kebijakan publik
tidak akurat, kebijakan yang dibuat potensial keliru dan menyesatkan. Jika
kebijakan yang keliru itu menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti impor
beras, tentu potensial menyengsarakan banyak orang. Keharusan hadirnya data
yang akurat dan bebas kepentingan tak bisa ditawar-tawar. Terlalu banyak
tenaga, energi, dan sumber daya terbuang sia-sia karena mendebatkan kebijakan
yang disandarkan data yang tidak akurat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar