Benih
Diktator
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 21 September 2018
MELIHAT
indeks demokrasi Indonesia (IDI), terdapat indikasi bahwa masyarakat kita
masih belum siap hidup dalam alam demokrasi. Masih senang menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan masalah, baik kekerasan fisik maupun kekerasan
verbal.
Ada
dua macam potensi yang paradoksal, yang melekat pada setiap manusia, yaitu
potensi untuk saling mengasihi, menyayangi, dan melindungi orang lain,
sekaligus juga memiliki kecenderungan untuk menang sendiri dengan menindas
orang lain yang dianggap mengganggu dan mengancam kepentingannya. Kedua
kecenderungan ini volumenya relatif, tiap orang dan masyarakat berbeda-beda.
Faktor
geografis, lingkungan sosial, pendidikan, status ekonomi dan budaya-politik
sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi seseorang, apakah akan mendukung
nalurinya sebagai diktator ataukah sebaliknya, yaitu pribadi demokrat yang
senang menghargai hak dan martabat orang lain.
Belakangan
ini, beberapa masyarakat dan negara yang senang melakukan kekerasan fisik dan
senjata dalam memperjuangkan kepentingannya sudah pasti mengondisikan
suburnya budaya diktator, budaya yang tidak menghargai jalan damai dan
rasional dalam memecahkan masalah sosial-politik. Ketika kalah, mereka akan
melakukan pemberontakan dan perlawanan fisik.
Kalau
nantinya menang dan jadi penguasa akan menjadi penguasa tiran, diktator. Kita
prihatin membaca laporan IDI bahwa kekerasan fisik masih tinggi terjadi di
Indonesia.
Bahkan
dalam menyikapi perbedaan keyakinan dan mazhab dalam agama sekalipun, masih
sering terjadi penindasan dan pengusiran secara fisik. Jika ditelusuri lebih
dalam lagi, prinsip dan jalan musyawarah secara damai, sikap saling
menghargai keyakinan agama, masih jauh.
Di
sini, entah disadari ataukah tidak, paham keagamaan yang mereka peluk lebih
mendukung sikap diktator. Kelompok yang berbeda pantas, bahkan sah, dimusnahkan.
Keyakinan
dan paham keagamaannya cenderung membuatnya bersikap tiran. Orang yang
berbeda agama itu berarti berada di jalan sesat, menjadi sekutu setan dalam
melawan Tuhan, sedangkan musuh Tuhan berarti juga musuh orang yang beriman.
Bayangkan,
kalau logika dangkal ini dominan dalam masyarakat maka tidak terelakkan
faktor agama akan jadi sumber konflik, sementara yang namanya keyakinan
beragama itu selalu plural. Di muka bumi, terdapat ratusan keyakinan
beragama. Identitas dan semangat beragama bukannya jadi pendorong peradaban
damai dan rasional, melainkan pemicu konflik dan emosional.
Dalam
masyarakat dan negara yang menganut sistem demokrasi, paham keagamaan
sekelompok orang kadang merupakan kritik dan antitesis terhadap prinsip-prinsip
demokrasi. Demokrasi berangkat dari pengakuan dan penghargaan terhadap hak,
martabat, dan kemerdekaan individu (individual right and freedom).
Pemilu
(yang sehat dan benar) adalah salah satu instrumen untuk menyalurkan aspirasi
rakyat dalam upaya menciptakan tatanan sosial dan pemerintahan yang melayani
dan melindungi setiap warga negara. Jadi, dalam alam demokrasi, sumber
kekuasaan dan undang-undang bernegara itu datang dari bawah, dari aspirasi
rakyat.
Namun,
sekelompok orang beragama menentang prinsip di atas. Kekuasaan dan
undang-undang yang benar dan mesti diperjuangkan itu yang bersumber dari
Tuhan. Yang jadi juru bicara Tuhan bukan anggota legislatif hasil pemilu,
melainkan mereka yang mendalami dan menguasai kitab suci dan ilmu keagamaan serta
sudah teruji akhlaknya mulia, tanpa cacat.
Di
setiap agama memang ditemukan sekelompok orang "suci" yang menjadi
panutan moral dan keilmuan umatnya. Hanya, sikap mereka terhadap dunia
politik beda-beda.
Ada
yang mengambil jarak tegas dari politik praktis. Mereka fokus pada
kepemimpinan moral-spiritual. Ada lagi yang aktif dan gigih terlibat dalam
politik praktis, untuk mengubah dan meluruskan sistem demokrasi yang dianggap
sesat. Hukum Tuhan di atas hukum bikinan manusia.
Sebatas
penalaran deduktif, argumen di atas kedengarannya valid. Tetapi jika
ditelusuri lebih dalam dan lebih detail, banyak premis yang salah dan sangat
tidak realistis.
Misalnya
siapa yang memberi mandat bahwa seorang pendeta atau ulama adalah wakil
paling otoritatif dari Tuhan? Bukankah musyawarah dan saling menghargai
perbedaan dalam alam demokrasi itu juga ajaran Tuhan? Adakah dukungan best
practise atau success story dalam sejarah bahwa jajaran ulama atau pendeta
berhasil mengurus administrasi kenegaraan yang sedemikian kompleks?
Jadi,
janganlah pemahaman keagamaan menambah suburnya budaya otoriter yang punya
akar sejarah dalam perebutan kekuasaan di Nusantara ini. Paradigma Ken
Arokisme mesti kita kubur dalam-dalam.
Mari
kembangkan pendekatan damai, rasional, berorientasi pemecahan masalah bangsa,
bukannya semata memenangkan pertarungan untuk meraih jabatan sesaat. Mari
kita dewasakan kehidupan berdemokrasi, kecuali kita akan mengundang tampilnya
diktator yang sangat bisa jadi akan mengantarkan hancurnya bangsa dan negara ini.
●
|
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
BalasHapusPromo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^