Senin, 17 September 2018

Pemolisian Demokratis dalam Jebakan Demokrasi

Pemolisian Demokratis dalam Jebakan Demokrasi
Usman Hamid  ;  Direktur Amnesty International Indonesia; 
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
                                                    KOMPAS, 06 September 2018



                                                           
Di tengah persaingan kekuatan politik yang kerap mengeksploitasi sentimen primordial, tantangan Polri adalah menerapkan pemolisian yang berbasis pada independensi kelembagaan, kemampuan profesional, dan integritas personel.

Dalam pandangan umum, tantangan menuju pemolisian ideal tersebut kerap digambarkan sebagai pemolisian yang demokratis (democratic policing). Pemolisian demokratis diharapkan mampu mengelola situasi persaingan politik yang rentan keberpihakan dan keterbelahan sosial. Sesederhana itukah konsep dan praktiknya?

Sebuah buku berjudul Democratic Policing (2017) mengetengahkan pentingnya konsep pemolisian yang demokratis di Indonesia. Buku yang ditulis oleh Muhammad Tito Karnavian dan Hermawan Sulistyo ini juga menjelaskan asal mula konsep pemolisian. Dalam sejarah dunia, konsep ini sulit dihadirkan secara ideal karena berpotensi melahirkan yang disebut sebagai democracy trap, sebuah jebakan dari dalam demokrasi itu sendiri.

Jebakan demokrasi adalah suatu keadaan di mana pemerintahan terpilih justru mendatangkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Namun, kesadaran akan jebakan demokrasi tetap berakhir dengan kesimpulan pentingnya memilih demokrasi. Dalam penjelasan Karnavian dan Sulistyo: ”Yang jelas posisi Polri mendukung demokrasi. Karena memang Polri diuntungkan (oleh proses demokrasi itu)”.

Dalam bahasa lain, ”karena demokrasi sudah menjadi keniscayaan sejarah, tugas kita adalah menjaga dan mengembangkannya” (hal 14). Keniscayaan ini tampak merujuk pada konsekuensi dari reformasi 1998 (hal 79) yang menghapus sistem pemerintahan masa lalu sekaligus mendekonstruksi sistem pemolisian yang otoriter.

Anjuran pilihan pada demokrasi kerap tecermin dalam buku-buku mereka sebelumnya, misalnya Polri Dalam Arsitektur Negara (2014), dan terakhir buku Menuju Kekuatan Dunia (2018), yang mengarahkan Polri untuk memilih demokrasi.

Secara konseptual, demokrasi dimaknai secara beragam. Salah satu maknanya adalah mengenai sistem pemerintahan yang ditentukan oleh suara rakyat (demos) yang berdaulat (kratos). Dalam frase Presiden AS Abraham Lincoln, ”demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Sistem ini banyak diyakini bertumpu pada kebebasan politik, terutama hak suara untuk memilih, dan kebebasan sipil untuk berkumpul, berorganisasi, dan berpendapat.

Demokrasi stabil

Dalam kebebasan berpolitik misalnya, Arnt Lijphart berpendapat bahwa sebuah negara telah meraih demokrasi yang stabil jika telah menyelenggarakan pergantian elite pemerintahan lewat pemilihan yang jujur dan adil selama 19 tahun tanpa kudeta atau perang bersaudara.

Indonesia jelas tergolong dalam demokrasi stabil. Selama 19 tahun berhasil menyelenggarakan lima kali pergantian pemerintahan secara damai. Tahun 1999, rakyat memberi suara yang melahirkan para wakil—sebelumnya ditentukan oleh penguasa—untuk memilih presiden sipil pertama pasca-Orde Baru.

Lima tahun kemudian, rakyat memilih langsung presiden berikutnya, berlanjut tahun 2009 dan terakhir tahun 2014.

Dibanding sejarah Indonesia, ini adalah periode demokrasi terpanjang setelah demokrasi parlemen pada 1955 yang berakhir dengan pembubaran parlemen pada 1959. Demokrasi kita menjadi semu karena meskipun secara de jure tetap disebut ”demokrasi terpimpin” di bawah Soekarno (1959-1965) dan ”demokrasi Pancasila” di bawah Soeharto (1968-1998), secara de facto keduanya meniadakan oposisi dan suara-suara kritis pers.

Bandingkan pula dengan negara-negara tetangga. Thailand berkali-kali mengalami demokrasi dan kudeta militer. Kamboja terus berada di bawah pemerintahan Hun Sen yang represif. Myanmar berhasil menggelar pemilihan umum yang membawa kepemimpinan sipil Aung San Suu Kyi pada 2016, tetapi kembali berada dalam dominasi militer.

Bandingkan pula dengan negeri-negeri Timur Tengah dan Afrika Utara dalam masa Arab Spring 2010. Mesir menggulingkan pemerintahan Hosni Mubarak, Tunisia menggulingkan rezim Ben Ali dan menyelenggaran pemilihan umum demi pemerintahan sipil terpilih. Dalam waktu singkat, proses demokrasi Mesir tiba-tiba kembali dalam kekuasaan otoritarian melalui kudeta militer.

Di Asia Pasifik, negara demokrasi terbesar kedua sedunia seperti India bergerak ke arah fasisme agama mayoritas. Filipina, yang memelopori demokrasi di Asia Tenggara, kini mengesampingkan hak asasi atas nama perang melawan narkotika.

Singkatnya, pemicu kemunduran demokrasi justru bukan lagi pemimpin otoritarian yang berkuasa melalui kudeta atau perang bersaudara, melainkan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan umum.

Patologi ini mewabah ke negeri-negeri yang sudah mapan mempraktikkan demokrasi. Terpilih secara demokratis, Trump menyerang hak asasi kaum minoritas, khususnya para imigran.

Di Eropa pemimpin terpilih Victor Orban justru memundurkan demokrasi di Hongaria. Inggris menjadi proteksionis, ke luar dari Uni Eropa. Beberapa negara Eropa menghadapi ketegangan sosial pascagelombang pengungsi dari Afghanistan, Yaman, hingga Suriah.

Turki, yang lama mengajukan diri ke Uni Eropa dan berusaha meningkatkan rekam jejak demokrasi dan hak asasi, kini terjebak dalam kekuasaan nyaris tanpa batas, mendemonisasi warganya dengan deportasi-deportasi yang problematik.

Apa pembelajaran yang bisa dipetik? Jelas ada kesenjangan antara idealisme demokrasi dan realitas empirik. Di tataran konseptual, ada kesadaran demokrasi bukan cuma pemungutan suara. Demokrasi memuat nilai-nilai menuju penghormatan keyakinan kelompok atau seseorang akan keberagaman, HAM, keterbukaan, akuntabilitas, dan kepatuhan pada hukum.

Demokrasi kini melahirkan kompetisi berbagai diskursus yang memuncak pada fase kritis. Bukan lagi pertarungan antara liberalisme-kapitalisme vis a vis komunisme, tetapi multi-diskursus yang meliputi superioritas primordial berbasis ras, bangsa, dan agama.

Jebakan demokrasi

Kompetisi berubah menjadi kontestasi yang menggeser posisi kontestan wacana besar itu menuju critical junctures yang mengancam eksistensi peradaban. Di situlah ”jebakan demokrasi” terjadi, di mana produk prosedural demokrasi tidak membawa serta nilai-nilai yang dijanjikannya.

Meski diharapkan menjadi penyeimbang dari pemerintahan terpilih, aparat penegak hukum seperti kepolisian, sayangnya bisa dengan mudah mengikuti kemauan pemimpin terpilih atau suara mayoritas, yang akhirnya merusak sendi demokrasi.

Indonesia, termasuk sistem pemolisiannya,  ada dalam lanskap pertarungan tersebut. Selain situasi lokal mengalami kemerosotan demokrasi, lingkungan politik global yang berubah saat ini menjadi tantangan besar bagi hampir semua negara demokrasi. Maka, Indonesia harus dapat meletakkan diri secara tepat dalam pertarungan paradigmatik dari nation-state menuju civil-state tersebut.

Paradigma pertama memasuki domain-domain klasik yang meliputi kebudayaan, kebangsaan, dan kedaulatan. Paradigma berikutnya memasuki domain-domain modern, seperti keadaban atau civility, kewargaan, hak-hak asasi manusia, konstitusionalisme dan rule of law (negara hukum, kedaulatan hukum, supremasi hukum). Dalam pergeseran paradigmatik  itu pula, terletak cita-cita untuk membangun pemolisian yang demokratis.

Aparat penegak hukum tidak boleh lagi terjebak suara mayoritas yang mengeksploitasi sentimen primordial, apalagi hingga memenjarakan orang yang tak berbuat kriminal, ada korban tewas, dan mengusir kelompok dari tanah kelahirannya.

Sistem pemolisian harus berbasis pada sistem demokrasi dengan menerapkan prinsip-prinsip domain modern seperti perlindungan hak asasi manusia pada mereka yang sedikit, berbeda, lemah, atau tertindas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar