Pemolisian
Demokratis dalam Jebakan Demokrasi
Usman Hamid ; Direktur Amnesty International
Indonesia;
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum
Indonesia Jentera
|
KOMPAS,
06 September
2018
Di tengah persaingan
kekuatan politik yang kerap mengeksploitasi sentimen primordial, tantangan
Polri adalah menerapkan pemolisian yang berbasis pada independensi
kelembagaan, kemampuan profesional, dan integritas personel.
Dalam pandangan umum,
tantangan menuju pemolisian ideal tersebut kerap digambarkan sebagai
pemolisian yang demokratis (democratic policing). Pemolisian demokratis
diharapkan mampu mengelola situasi persaingan politik yang rentan
keberpihakan dan keterbelahan sosial. Sesederhana itukah konsep dan
praktiknya?
Sebuah buku berjudul
Democratic Policing (2017) mengetengahkan pentingnya konsep pemolisian yang
demokratis di Indonesia. Buku yang ditulis oleh Muhammad Tito Karnavian dan
Hermawan Sulistyo ini juga menjelaskan asal mula konsep pemolisian. Dalam
sejarah dunia, konsep ini sulit dihadirkan secara ideal karena berpotensi
melahirkan yang disebut sebagai democracy trap, sebuah jebakan dari dalam
demokrasi itu sendiri.
Jebakan demokrasi adalah
suatu keadaan di mana pemerintahan terpilih justru mendatangkan
kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Namun, kesadaran akan
jebakan demokrasi tetap berakhir dengan kesimpulan pentingnya memilih
demokrasi. Dalam penjelasan Karnavian dan Sulistyo: ”Yang jelas posisi Polri
mendukung demokrasi. Karena memang Polri diuntungkan (oleh proses demokrasi
itu)”.
Dalam bahasa lain, ”karena
demokrasi sudah menjadi keniscayaan sejarah, tugas kita adalah menjaga dan
mengembangkannya” (hal 14). Keniscayaan ini tampak merujuk pada konsekuensi
dari reformasi 1998 (hal 79) yang menghapus sistem pemerintahan masa lalu
sekaligus mendekonstruksi sistem pemolisian yang otoriter.
Anjuran pilihan pada
demokrasi kerap tecermin dalam buku-buku mereka sebelumnya, misalnya Polri
Dalam Arsitektur Negara (2014), dan terakhir buku Menuju Kekuatan Dunia
(2018), yang mengarahkan Polri untuk memilih demokrasi.
Secara konseptual,
demokrasi dimaknai secara beragam. Salah satu maknanya adalah mengenai sistem
pemerintahan yang ditentukan oleh suara rakyat (demos) yang berdaulat
(kratos). Dalam frase Presiden AS Abraham Lincoln, ”demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Sistem ini banyak diyakini
bertumpu pada kebebasan politik, terutama hak suara untuk memilih, dan kebebasan
sipil untuk berkumpul, berorganisasi, dan berpendapat.
Demokrasi
stabil
Dalam kebebasan berpolitik
misalnya, Arnt Lijphart berpendapat bahwa sebuah negara telah meraih
demokrasi yang stabil jika telah menyelenggarakan pergantian elite pemerintahan
lewat pemilihan yang jujur dan adil selama 19 tahun tanpa kudeta atau perang
bersaudara.
Indonesia jelas tergolong
dalam demokrasi stabil. Selama 19 tahun berhasil menyelenggarakan lima kali
pergantian pemerintahan secara damai. Tahun 1999, rakyat memberi suara yang
melahirkan para wakil—sebelumnya ditentukan oleh penguasa—untuk memilih
presiden sipil pertama pasca-Orde Baru.
Lima tahun kemudian,
rakyat memilih langsung presiden berikutnya, berlanjut tahun 2009 dan
terakhir tahun 2014.
Dibanding sejarah
Indonesia, ini adalah periode demokrasi terpanjang setelah demokrasi parlemen
pada 1955 yang berakhir dengan pembubaran parlemen pada 1959. Demokrasi kita
menjadi semu karena meskipun secara de jure tetap disebut ”demokrasi
terpimpin” di bawah Soekarno (1959-1965) dan ”demokrasi Pancasila” di bawah
Soeharto (1968-1998), secara de facto keduanya meniadakan oposisi dan
suara-suara kritis pers.
Bandingkan pula dengan
negara-negara tetangga. Thailand berkali-kali mengalami demokrasi dan kudeta
militer. Kamboja terus berada di bawah pemerintahan Hun Sen yang represif.
Myanmar berhasil menggelar pemilihan umum yang membawa kepemimpinan sipil
Aung San Suu Kyi pada 2016, tetapi kembali berada dalam dominasi militer.
Bandingkan pula dengan
negeri-negeri Timur Tengah dan Afrika Utara dalam masa Arab Spring 2010.
Mesir menggulingkan pemerintahan Hosni Mubarak, Tunisia menggulingkan rezim
Ben Ali dan menyelenggaran pemilihan umum demi pemerintahan sipil terpilih.
Dalam waktu singkat, proses demokrasi Mesir tiba-tiba kembali dalam kekuasaan
otoritarian melalui kudeta militer.
Di Asia Pasifik, negara
demokrasi terbesar kedua sedunia seperti India bergerak ke arah fasisme agama
mayoritas. Filipina, yang memelopori demokrasi di Asia Tenggara, kini
mengesampingkan hak asasi atas nama perang melawan narkotika.
Singkatnya, pemicu
kemunduran demokrasi justru bukan lagi pemimpin otoritarian yang berkuasa
melalui kudeta atau perang bersaudara, melainkan pemerintahan yang terpilih
melalui pemilihan umum.
Patologi ini mewabah ke
negeri-negeri yang sudah mapan mempraktikkan demokrasi. Terpilih secara
demokratis, Trump menyerang hak asasi kaum minoritas, khususnya para imigran.
Di Eropa pemimpin terpilih
Victor Orban justru memundurkan demokrasi di Hongaria. Inggris menjadi proteksionis,
ke luar dari Uni Eropa. Beberapa negara Eropa menghadapi ketegangan sosial
pascagelombang pengungsi dari Afghanistan, Yaman, hingga Suriah.
Turki, yang lama
mengajukan diri ke Uni Eropa dan berusaha meningkatkan rekam jejak demokrasi
dan hak asasi, kini terjebak dalam kekuasaan nyaris tanpa batas,
mendemonisasi warganya dengan deportasi-deportasi yang problematik.
Apa pembelajaran yang bisa
dipetik? Jelas ada kesenjangan antara idealisme demokrasi dan realitas
empirik. Di tataran konseptual, ada kesadaran demokrasi bukan cuma pemungutan
suara. Demokrasi memuat nilai-nilai menuju penghormatan keyakinan kelompok
atau seseorang akan keberagaman, HAM, keterbukaan, akuntabilitas, dan
kepatuhan pada hukum.
Demokrasi kini melahirkan
kompetisi berbagai diskursus yang memuncak pada fase kritis. Bukan lagi
pertarungan antara liberalisme-kapitalisme vis a vis komunisme, tetapi
multi-diskursus yang meliputi superioritas primordial berbasis ras, bangsa,
dan agama.
Jebakan
demokrasi
Kompetisi berubah menjadi
kontestasi yang menggeser posisi kontestan wacana besar itu menuju critical
junctures yang mengancam eksistensi peradaban. Di situlah ”jebakan demokrasi”
terjadi, di mana produk prosedural demokrasi tidak membawa serta nilai-nilai
yang dijanjikannya.
Meski diharapkan menjadi
penyeimbang dari pemerintahan terpilih, aparat penegak hukum seperti
kepolisian, sayangnya bisa dengan mudah mengikuti kemauan pemimpin terpilih
atau suara mayoritas, yang akhirnya merusak sendi demokrasi.
Indonesia, termasuk sistem
pemolisiannya, ada dalam lanskap
pertarungan tersebut. Selain situasi lokal mengalami kemerosotan demokrasi,
lingkungan politik global yang berubah saat ini menjadi tantangan besar bagi
hampir semua negara demokrasi. Maka, Indonesia harus dapat meletakkan diri
secara tepat dalam pertarungan paradigmatik dari nation-state menuju
civil-state tersebut.
Paradigma pertama memasuki
domain-domain klasik yang meliputi kebudayaan, kebangsaan, dan kedaulatan.
Paradigma berikutnya memasuki domain-domain modern, seperti keadaban atau
civility, kewargaan, hak-hak asasi manusia, konstitusionalisme dan rule of
law (negara hukum, kedaulatan hukum, supremasi hukum). Dalam pergeseran
paradigmatik itu pula, terletak
cita-cita untuk membangun pemolisian yang demokratis.
Aparat penegak hukum tidak
boleh lagi terjebak suara mayoritas yang mengeksploitasi sentimen primordial,
apalagi hingga memenjarakan orang yang tak berbuat kriminal, ada korban
tewas, dan mengusir kelompok dari tanah kelahirannya.
Sistem pemolisian harus berbasis
pada sistem demokrasi dengan menerapkan prinsip-prinsip domain modern seperti
perlindungan hak asasi manusia pada mereka yang sedikit, berbeda, lemah, atau
tertindas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar