Senin, 17 September 2018

Mengkritisi Delik Penodaan Agama

Mengkritisi Delik Penodaan Agama
Albert Aries  ;  Advokat
yang tergabung dalam Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP)
                                                    KOMPAS, 07 September 2018



                                                           
Tampaknya Meiliana tak pernah mengira curhat dan keluhan kepada tetangganya soal volume azan masjid, Juli 2016 silam, akhirnya menjadikannya pesakitan dan dihukum 18 bulan penjara.

Tak hanya hukuman penjara, sekelompok massa yang terprovokasi lalu merusak rumah Meiliana dan beberapa wihara di Tanjung Balai.

Sejarah penegakan hukum di Indonesia mencatat bahwa kasus Meiliana telah menambah rentetan panjang kasus penodaan agama (blasphemy), sebut saja kasus cerpen HB Jassin, kasus ajaran Lia Eden, sampai kasus Ahok di Kepulauan Seribu yang begitu fenomenal.

Rentetan kasus penodaan agama itu telah jadi ujian tersendiri bagi kemajemukan suku, agama, dan ras di Indonesia. Sebagai suatu bangsa yang besar dengan populasi penduduk Muslim terbanyak di dunia, pendiri bangsa (founding father) Indonesia telah bersepakat memilih sistem Demokrasi Pancasila sebagai ideologi bangsa (staatsfundamentalnoorm), dengan semboyan khas yang mempersatukan perbedaan, Bhinneka Tunggal Ika.

Salah satu esensi dari sistem demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani telah dijamin penuh oleh Konstitusi (Pasal 28E Ayat 2 UUD 1945), tentunya dengan mengindahkan pembatasan yang ditetapkan UU (Pasal 28 J UUD 1945). Oleh karena itu, menjadi suatu pertanyaan penting, sejauh mana ekspresi dari kebebasan berpendapat dapat dikualifikasikan sebagai penodaan agama?

Dalam hukum pidana, delik penodaan agama masuk dalam kualifikasi penghinaan (beleediging). Perasaan ”terhina” ini tentunya hanya dapat dirasakan manusia yang memiliki perasaan/martabat sehingga hakikatnya agama bukan merupakan obyek penghinaan. Sebaliknya, yang memiliki perasaan terhina justru adalah para pemeluk agama.

Awalnya, delik penodaan agama diatur di Indonesia melalui Penpres No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU PNPS No 1/1965) karena timbul aliran atau organisasi kebatinan/kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran dan hukum agama, yang dapat memecah persatuan nasional dan menodai agama-agama di Indonesia.

Sesuai Penjelasan Pasal 2 UU PNPS No 1/1965, pendekatan dari beleid ini lebih mengedepankan ”Kepribadian Indonesia” sehingga terhadap orang/anggota organisasi yang melanggar larangan-larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tersebut dirasa cukup diberikan nasihat seperlunya dan apabila melanggar lagi, baru dapat dipidana dengan delik yang ancamannya 5 tahun penjara (Pasal 3 UU PNPS No 1/1965).

Selanjutnya, Pasal 4 UU PNPS No 1/1965 telah mengamanatkan pembentukan pasal baru dalam KUH Pidana, yaitu Pasal 156a KUHP (BIS) sebagai pasal sisipan tentang delik penodaan agama, yang memiliki tiga unsur utama, yaitu permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan agama.

Dalam pelaksanaannya, perasaan terhina dalam keagamaan lebih berbahaya dampaknya daripada perasaan terhina secara pribadi sehingga tetap perlu diatur secara hukum. Mungkin inilah yang melatarbelakangi ditolaknya dua uji materi (judicial review) UU PNPS No 1/1965 jo Pasal 156a KUHP oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No 140/PUU-VII/2009 dan Putusan MK Nomor 84/PUU-X-2012), yang salah satu pemohonnya adalah Gus Dur. Dengan demikian, secara hukum, UU PNPS No 1/1965 jo Pasal 156a KUHP masih berlaku (hukum positif).

Ironisnya, pertimbangan hukum MK dalam Putusan No 84/PUU-X-2012, hal 145 poin 3.16, yang intinya menyatakan bahwa untuk menerapkan ketentuan Pasal 156 a KUHP, maka sebelumnya diperlukan peringatan keras lebih dulu sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNPS No 1/1965, ternyata tak pernah dilaksanakan penegak hukum sehingga menurut penulis, asas ultimum remedium dan lex specialis (Pasal 63 Ayat 2 KUHP) jadi diabaikan.

Preseden penodaan agama

Sejauh yang penulis ketahui, belum ada tersangka/terdakwa yang berhasil bebas (vrijspraak)atau setidak-tidaknya lepas (onslag) dari jerat delik penodaan agama. Bahkan preseden kasus penodaan agama dianggap sebagian kalangan telah menjadi yurisprudensi yang ”harus” diikuti penegak hukum dalam menyelesaikan kasus penodaan agama. Sebagai bangsa yang besar dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia, preseden tersebut dinilai sebagai penegakan hukum yang kurang adil bagi kelompok yang lemah (minoritas). Padahal merupakan suatu prinsip yang berlaku universal bahwa hukum senantiasa melindungi yang lemah.

Secara sosiologis, preseden di atas juga tidak dapat dilepaskan dari adanya tekanan massa yang menuntut penegak hukum untuk menghukum pelaku penodaan agama. Sebaliknya, apabila pelaku penodaan agama ternyata berasal dari mayoritas, kecil potensi munculnya tekanan massa.

Di samping itu, politik hukum dari UU PNPS No 1/1965 yang belum pernah dicabut dan masih berlaku sebagai hukum positif, yang mengedepankan ”Kepribadian Bangsa Indonesia” ternyata tidak dilaksanakan oleh penegak hukum, di antaranya mekanisme pemberian peringatan keras terlebih dahulu (Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNPS No 1/1965).

Dalam Rancangan UU Hukum Pidana (RUU HP), kabarnya delik penodaan agama kembali diatur dalam Pasal 328 hingga 330 RUU KUHP. Atas rumusan delik penghinaan terhadap agama tersebut, panitia kerja (panja) DPR pernah memberikan komentar agar pemerintah dapat merumuskan perbuatan-perbuatan mana yang sebenarnya masuk dalam kategori ”penghinaan” agar nanti penerapannya tidak subyektif.

Eksistensi delik penodaan agama yang dapat mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah dan DPR karena rumusan deliknya tak sesuai dengan asas hukum pidana nullum crimen sine lege stricta,yang artinya suatu ketentuan pidana tidak boleh menimbulkan penafsiran lain yang terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan.

Apabila alasan utama adalah agar tidak terjadi kekosongan hukum di  Indonesia, rumusan delik penodaan agama haruslah benar-benar diatur secara rinci (lex certa) dan tidak multitafsir (lex stricta) serta memuat penjelasan yang lengkap dan bahkan apabila perlu dengan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Terakhir, Abraham Lincoln pernah berpendapat, the best way to get a bad law repealed is to enforce it strictly. Menurut penulis, Indonesia sebagai bangsa yang besar dan majemuk jangan sampai menerapkan ketentuan penodaan agama secara berlebihan, lalu akhirnya mencabutnya setelah menyadari dampak dari ketentuan hukum itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar