Mengkritisi
Delik Penodaan Agama
Albert Aries ; Advokat
yang tergabung dalam Forum Advokat
Pengawal Pancasila (FAPP)
|
KOMPAS,
07 September
2018
Tampaknya Meiliana tak
pernah mengira curhat dan keluhan kepada tetangganya soal volume azan masjid,
Juli 2016 silam, akhirnya menjadikannya pesakitan dan dihukum 18 bulan
penjara.
Tak hanya hukuman penjara,
sekelompok massa yang terprovokasi lalu merusak rumah Meiliana dan beberapa wihara
di Tanjung Balai.
Sejarah penegakan hukum di
Indonesia mencatat bahwa kasus Meiliana telah menambah rentetan panjang kasus
penodaan agama (blasphemy), sebut saja kasus cerpen HB Jassin, kasus ajaran
Lia Eden, sampai kasus Ahok di Kepulauan Seribu yang begitu fenomenal.
Rentetan kasus penodaan
agama itu telah jadi ujian tersendiri bagi kemajemukan suku, agama, dan ras
di Indonesia. Sebagai suatu bangsa yang besar dengan populasi penduduk Muslim
terbanyak di dunia, pendiri bangsa (founding father) Indonesia telah
bersepakat memilih sistem Demokrasi Pancasila sebagai ideologi bangsa
(staatsfundamentalnoorm), dengan semboyan khas yang mempersatukan perbedaan,
Bhinneka Tunggal Ika.
Salah satu esensi dari
sistem demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Kebebasan menyatakan pikiran
dan sikap sesuai hati nurani telah dijamin penuh oleh Konstitusi (Pasal 28E
Ayat 2 UUD 1945), tentunya dengan mengindahkan pembatasan yang ditetapkan UU
(Pasal 28 J UUD 1945). Oleh karena itu, menjadi suatu pertanyaan penting, sejauh
mana ekspresi dari kebebasan berpendapat dapat dikualifikasikan sebagai
penodaan agama?
Dalam hukum pidana, delik
penodaan agama masuk dalam kualifikasi penghinaan (beleediging). Perasaan
”terhina” ini tentunya hanya dapat dirasakan manusia yang memiliki
perasaan/martabat sehingga hakikatnya agama bukan merupakan obyek penghinaan.
Sebaliknya, yang memiliki perasaan terhina justru adalah para pemeluk agama.
Awalnya, delik penodaan
agama diatur di Indonesia melalui Penpres No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU PNPS No 1/1965) karena timbul
aliran atau organisasi kebatinan/kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran
dan hukum agama, yang dapat memecah persatuan nasional dan menodai
agama-agama di Indonesia.
Sesuai Penjelasan Pasal 2
UU PNPS No 1/1965, pendekatan dari beleid ini lebih mengedepankan
”Kepribadian Indonesia” sehingga terhadap orang/anggota organisasi yang
melanggar larangan-larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tersebut
dirasa cukup diberikan nasihat seperlunya dan apabila melanggar lagi, baru
dapat dipidana dengan delik yang ancamannya 5 tahun penjara (Pasal 3 UU PNPS
No 1/1965).
Selanjutnya, Pasal 4 UU
PNPS No 1/1965 telah mengamanatkan pembentukan pasal baru dalam KUH Pidana,
yaitu Pasal 156a KUHP (BIS) sebagai pasal sisipan tentang delik penodaan
agama, yang memiliki tiga unsur utama, yaitu permusuhan, penyalahgunaan, atau
penodaan agama.
Dalam pelaksanaannya,
perasaan terhina dalam keagamaan lebih berbahaya dampaknya daripada perasaan
terhina secara pribadi sehingga tetap perlu diatur secara hukum. Mungkin
inilah yang melatarbelakangi ditolaknya dua uji materi (judicial review) UU
PNPS No 1/1965 jo Pasal 156a KUHP oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan
MK No 140/PUU-VII/2009 dan Putusan MK Nomor 84/PUU-X-2012), yang salah satu
pemohonnya adalah Gus Dur. Dengan demikian, secara hukum, UU PNPS No 1/1965
jo Pasal 156a KUHP masih berlaku (hukum positif).
Ironisnya, pertimbangan
hukum MK dalam Putusan No 84/PUU-X-2012, hal 145 poin 3.16, yang intinya
menyatakan bahwa untuk menerapkan ketentuan Pasal 156 a KUHP, maka sebelumnya
diperlukan peringatan keras lebih dulu sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNPS No
1/1965, ternyata tak pernah dilaksanakan penegak hukum sehingga menurut
penulis, asas ultimum remedium dan lex specialis (Pasal 63 Ayat 2 KUHP) jadi
diabaikan.
Preseden
penodaan agama
Sejauh yang penulis
ketahui, belum ada tersangka/terdakwa yang berhasil bebas (vrijspraak)atau
setidak-tidaknya lepas (onslag) dari jerat delik penodaan agama. Bahkan
preseden kasus penodaan agama dianggap sebagian kalangan telah menjadi
yurisprudensi yang ”harus” diikuti penegak hukum dalam menyelesaikan kasus
penodaan agama. Sebagai bangsa yang besar dengan populasi penduduk Muslim
terbesar di dunia, preseden tersebut dinilai sebagai penegakan hukum yang
kurang adil bagi kelompok yang lemah (minoritas). Padahal merupakan suatu
prinsip yang berlaku universal bahwa hukum senantiasa melindungi yang lemah.
Secara sosiologis,
preseden di atas juga tidak dapat dilepaskan dari adanya tekanan massa yang
menuntut penegak hukum untuk menghukum pelaku penodaan agama. Sebaliknya,
apabila pelaku penodaan agama ternyata berasal dari mayoritas, kecil potensi
munculnya tekanan massa.
Di samping itu, politik
hukum dari UU PNPS No 1/1965 yang belum pernah dicabut dan masih berlaku
sebagai hukum positif, yang mengedepankan ”Kepribadian Bangsa Indonesia”
ternyata tidak dilaksanakan oleh penegak hukum, di antaranya mekanisme
pemberian peringatan keras terlebih dahulu (Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 UU
PNPS No 1/1965).
Dalam Rancangan UU Hukum
Pidana (RUU HP), kabarnya delik penodaan agama kembali diatur dalam Pasal 328
hingga 330 RUU KUHP. Atas rumusan delik penghinaan terhadap agama tersebut,
panitia kerja (panja) DPR pernah memberikan komentar agar pemerintah dapat
merumuskan perbuatan-perbuatan mana yang sebenarnya masuk dalam kategori
”penghinaan” agar nanti penerapannya tidak subyektif.
Eksistensi delik penodaan
agama yang dapat mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat seharusnya
menjadi perhatian khusus pemerintah dan DPR karena rumusan deliknya tak
sesuai dengan asas hukum pidana nullum crimen sine lege stricta,yang artinya
suatu ketentuan pidana tidak boleh menimbulkan penafsiran lain yang terlalu
luas dan berpotensi disalahgunakan.
Apabila alasan utama
adalah agar tidak terjadi kekosongan hukum di
Indonesia, rumusan delik penodaan agama haruslah benar-benar diatur
secara rinci (lex certa) dan tidak multitafsir (lex stricta) serta memuat
penjelasan yang lengkap dan bahkan apabila perlu dengan penerbitan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Terakhir, Abraham Lincoln
pernah berpendapat, the best way to get a bad law repealed is to enforce it
strictly. Menurut penulis, Indonesia sebagai bangsa yang besar dan majemuk
jangan sampai menerapkan ketentuan penodaan agama secara berlebihan, lalu
akhirnya mencabutnya setelah menyadari dampak dari ketentuan hukum itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar