Mahkamah
Agung
Pembela
Caleg Narapidana Korupsi
Agus Riewanto ; Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 17 September 2018
BELUM
lama ini publik dikejutkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan
ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No 20 Tahun 2018
tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
terkait dengan larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan
kejahatan seksual menjadi calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu
Legislatif 2019. (Harian Media Indonesia, 15 September 2018).
Tidak sensitif
Dengan
demikian, berarti kini para mantan narapidana korupsi dapat menjadi calon
legislatif pada Pemilu 2019. Sesungguhnya putusan Mahkamah Agung ini telah
nyata membela calon legislatif korupsi dan gagal membela aspirasi publik yang
menghendaki agar wakil rakyat mendatang hanya diisi mereka yang
berintegritas. Bahkan, putusan Mahkamah Agung ini bertentangan dengan hati
nurani publik yang telah telanjur menempatkan koruptor sebagai musuh bersama
(common enemy) sehingga sangat tidak pantas mereka menjadi wakil rakyat di
DPR-RI dan DPRD.
Putusan
Mahkamah Agung ini menegaskan hakim-hakim di lembaga tersebut berpandangan
positivistik dalam menafsirkan teks undang-undang, dan tidak agung dengan
cara menafsirkan undang-undang secara responsif (beyond the text) berdasarkan
pada aspek sosiologis kehendak masyarakat dan politik hukum kenegaraan, yang
menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
memerlukan cara untuk melawannya secara luar biasa pula.
PKPU tidak salahi aturan
Peraturan
PKPU No 20 Tahun 2018 yang melarang mantan koruptor menjadi calon legislatif
ialah salah satu cara negara dalam bertindak luar biasa melawan koruptor agar
tak lagi dapat mengelola negara melalui pintu lembaga perwakilan di DPR dan
DPRD.
Karena
itu, dalam batas penalaran hukum yang progresif-responsif, sesungguhnya
peraturan Komisi Pemilihan Umum yang dibatalkan Mahkamah Agung ini tidak
bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No 4/PUU-VII/2009 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No 46/PUU-XIII/ dan Pasal 240 UU No 7/2017
tentang Pemilu. Peraturan KPU ini tidak melarang calon legislatif yang
berstatus mantan narapidana korupsi secara eksplisit dalam ketentuan
normanya. Namun, ketentuan Pasal 4 ayat (3) PKPU ini hanya mensyaratkan agar
partai politik (parpol) dalam mengajukan bakal caleg ke KPU harus
menandatangani pakta integritas yang isinya tidak akan mengajukan bakal calon
legislatif yang tidak berintegritas.
Pakta
integritas yang ditandatangani pimpinan partai politik ini bersifat mengikat
karena jika bakal calon legislatif yang diajukan ke Komisi Pemilihan Umum tak
berintegritas, secara otomatis akan ditolak KPU dan dikembalikan kepada
parpol untuk diganti dengan yang berintegritas.
Hal
ini menunjukkan PKPU ini sesungguhnya telah berada dalam jalur yang tepat
dari aspek ketatanegaraan. Pengaturannya ditujukan kepada organisasi parpol
bukan kepada calon legislatif secara langsung. Itu karena sesuai Pasal 22 E
ayat (3) UUD 1945 peserta pemilu ialah partai politik bukan caleg, maka yang
diatur KPU ialah partai politik.
Implikasi negatif
Implikasi
negatif dari putusan Mahkamah Agung yang membolehkan mantan narapidana
korupsi dapat menjadi caleg, antara lain pertama, putusan Mahkamah Agung ini
akan berpotensi menipu pemilih pada Pemilu 2019 mendatang karena akan
disuguhi caleg-caleg yang mantan koruptor sehingga pemilih yang tak memiliki
informasi cukup tentang calon legislatif tertentu akan cenderung memilih
caleg koruptor. Itu karena mereka ini biasanya memiliki jaringan sosial serta
modal uang yang cukup untuk memengaruhi dan membeli suara pemilih (vote
buying).
Kedua,
putusan Mahkamah Agung ini gagal dalam mendorong hadirnya lembaga partai
politik yang bersih dan memiliki sensitivitas terhadap korupsi. Akibatnya,
parpol akan cenderung mengabaikan soal moralitas dan takluk pada caleg
koruptor untuk tetap diajukan menjadi caleg karena merasa memiliki legitimasi
hukum melalui putusan Mahkamah Agung ini.
Ketiga,
putusan Mahkamah Agung ini gagal menjadi benteng akhir untuk memotong jalan
para mantan koruptor melalui mekanisme hukum untuk come back di lembaga
perwakilan rakyat. Bahkan, tragisnya lagi, putusan Mahkamah Agung ini kelak
akan berpotensi menjadikan lembaga legislatif menjadi tidak berwibawa karena
ada anggota legislatif yang terpilih pada Pemilu 2019 yang masih tersandera
kasus korupsi di masa lalu. ●
|
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
BalasHapusPromo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^