Sains,
Sport, dan Seni
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 31 Agustus 2018
Sejak
zaman Yunani Kuno, ada tiga macam pendidikan yang mesti dipelajari para
siswa. Pertama adalah sains yang diawali dengan pembelajaran logika dan
matematika sebagai fondasinya.
Dengan
belajar matematika para siswa dilatih berpikir logis dan konsisten. Sikap ini
diharapkan ikut membentuk pribadi yang mencintai kebenaran, kejujuran, dan
konsisten. Jadi, matematika bukan sekadar pengetahuan untuk pengukuran,
tetapi juga untuk pembentukan karakter. Lebih jauh lagi matematika dipelajari
karena dalam kehidupan sehari-hari kita mesti berhadapan dengan persoalan
yang membutuhkan pengetahuan matematika. Kedua sport; para siswa sejak dini
mesti dilatih untuk terbiasa berolahraga agar sehat jasmani. Dalam sport
anak-anak dibiasakan membangun kerja kelompok, membina mental petarung secara
sportif.
Melalui
sport anak di kondisikan untuk mengalami sebuah kemenangan tanpa sikap sombong
dan ketika kalah tidak lantas putus asa. Ketika seseorang berlaga dalam
sebuah pertandingan olahraga, sifatnya selalu terbuka, melibatkan publik.
Tekanan penonton kadang kala sangat kuat sehingga bila mentalnya lemah, semua
persiapan teknis yang telah dilakukan jadi berantakan. Makanya dalam sport
seorang siswa dilatih agar memiliki mental pemenang dan pejuang, tidak mudah
patah semangat. Dia mesti mengakui kehebatan lawan dan menerima kekurangan
dirinya. Kalaupun menang tidak boleh sombong karena kalah-menang itu bergilir.
Lagian
ketika seseorang memenangi sebuah pertandingan banyak pihak yang berjasa. Maka
atlet sejati tak pernah bersikap sombong. Lalu bagaimana halnya dengan yang
ketiga, seni? Seni akan menghaluskan perasaan. Seni meng gugah imajinasi. Betapa
kering dan membosankan hidup ini kalau tak ada rasa keindahan dan kelembutan.
Kalaupun bukan seorang pencipta seni, minimal sekali siswa dilatih untuk bisa
mengapresiasi dan menikmati seni. Keindahan ini bisa menjelma dalam gerak
tari, dalam suara nyanyian, dalam pemandangan, dalam tutur kata, dan
sebagainya. Yang menarik dan sering kita lupakan, sesungguhnya sains, sport,
dan seni saling terkait dan membutuhkan yang lain.
Dalam
sebuah sport dan seni diperlukan kecerdasan matematika. Coba ketika Anda
mengamati sebuah mobil sport, sangat mencolok perpaduan sains dan seni untuk
mendukung kekuatan dan kecanggihan mobil itu untuk berlaga. Ketika Anda mau
membeli gawai, yang menjadi daya tarik pertama adalah keindahan desainnya,
kekuatannya, dan kecerdasan buatan yang bisa dioperasikannya. Hari-hari ini
ketika kita menyaksikan pesta Asian Games, dibalik kesuksesan yang diraih para
atlet yang bertanding itu diperlukan proses pendidikan karakter yang
berlangsung lama. Tidak semata skill, tetapi juga aspek seninya sehingga
pesta itu indah dilihatnya.
Namun
sangat disayangkan, ketiga bidang kajian ini tidak berkembang baik dan
sinergis di sekolah-sekolah kita. Belajar matematika terpisahkan dari
pendidikan karakter. Seni dan olahraga tidak memperoleh perhatian serius,
mulai dari guru hingga fasilitasnya. Yang menonjol, belajar matematika hanya
didekati secara kognitif. Akibat krisis pembelajaran di tiga bidang ini,
perilaku siswa bisa beringas, tidak sportif, beraninya keroyokan, tidak terlatih
berbahasa yang santun dan logis. Lalu yang dikejar hasil akhir, kalau perlu
dengan cara mencontek. Padahal sekarang ini yang mendesak untuk dipelajari
para siswa bukan hanya tiga bidang itu, tetapi ada lagi dua bidang lain,
yaitu keterampilan komunikasi (communication skill) dan spiritualitas.
Mengapa
komunikasi? Karena bidang ini sangat di perlukan untuk membangun karier.
Dunia semakin plural dan memerlukan multidisiplin ilmu. Meskipun seseorang
pintar, banyak ilmu, tetapi kalau lemah dalam komunikasi dan relasi sosial,
sulit mengembangkan dan mempromosikan ilmunya. Sekarang ini ketika berkembang
teknologi digital, banyak siswa yang merasa asyik dan bergairah menjalin
persahabatan di dunia maya, tetapi asosial dalam kehidupan nyata. Para siswa
sekarang semakin menurun keterampilan komunikasi sosialnya. Makanya dulu di
zaman Yunani Kuno, salah satu ilmu yang populer dipelajari adalah retorika,
seni berbicara dan berkomunikasi untuk memengaruhi orang lain. Mereka dilatih
adu argumentasi secara logis.
Belum
dikenal hoax dan fitnah lewat media sosial (medsos). Kita seringkali menyaksikan
talk show di televisi dan kita kemudian bisa menilai kualitas seni mereka
dalam berdebat dan berkomunikasi. Bukannya menyajikan adegan yang cerdas dan
indah untuk menundukkan argumen lawan, tetapi seringkali malah menyebalkan.
Fenomena serupa juga kita temukan dalam medsos yang sering kali penuh caci
maki dan permusuhan. Lagi-lagi spirit sportivitas dan seni semakin terkikis
dari komunikasi sosial kita. Satu lagi, spiritualitas. Bidang spiritualitas
tidak saja memberikan sumber energi keh idupan yang tak pernah kering karena
bersumber pada Sang Ilahi, tetapi juga memberikan arah, makna, dan tujuan
hidup.
Kehidupan
sains dan teknologi selalu berkembang dan berusaha memanjakan hidup Anda secara
teknis. Namun spiritualitas yang akan memberikan cahaya kemana dan untuk apa
hidup ini dijalani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar