Selasa, 18 September 2018

Pesona Pelukan Keindonesiaan

Pesona Pelukan Keindonesiaan
J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
                                                    KOMPAS, 13 September 2018



                                                           
Daya pukau dan romansa sukses Asian Games 2018 tidak hanya terbatas kekaguman publik internasional terhadap kemampuan Indonesia menyelenggarakan perhelatan akbar itu, tetapi peristiwa tersebut menjadi kisah kepahlawanan, kebanggaan, kehebatan, serta gelegak romantisisme dan rasa rindu-dendam warga melampiaskan cintanya kepada tanah air, bangsa, dan negara. Rasa kangen publik terhadap persatuan bangsa yang lama terpendam tersalurkan oleh naluri tulus dan otentik dari anak muda peraih medali emas dari cabang silat, Hanifan Yudani Kusumah, yang secara instingtual dan spontan memeluk Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Pemberitaan luas berkaitan dengan kisah tersebut seakan tidak pernah kering, seperti penyambutan para peraih medali di daerah, cerita human interest, pahit getir, suka duka para atlet yang menimbulkan rasa bangga juga mengharukan. Gema tersebut semakin membahana karena kegiatan olahraga di daerah juga semakin menggeliat, baik oleh kalangan swasta maupun pemerintahan di daerah.

Romansa cinta tanah air dan bangsa harus dijaga dan dikelola untuk menyusun agenda kebijakan publik yang menyejahterakan masyarakat. Oleh sebab itu, Asian Para Games yang digelar pada 6-13 Oktober 2018 dan akan diikuti sekitar 40 negara serta ribuan atlet perlu dijadikan momentum untuk semakin memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Secara empiris, hasil survei Kompas yang menegaskan kebanggaan terhadap prestasi atlet Indonesia hampir menyentuh angka absolut (97,9 persen). Sementara itu, momen pelukan Jokowi- Prabowo menunjukkan rasa persatuan harus dijaga, keyakinan Jokowi-Prabowo mampu menjaga persatuan bangsa selama pilpres, dan energi positif prestasi RI dalam Asian Games menjadi energi positif Pemilu 2019 serta kemampuan elite politik dewasa dalam berpolitik juga cukup tinggi: masing-masing 87,4 persen, 77,5 persen, 80,2 persen, dan 65,0 persen (Kompas, 10/9).

Selain itu, di dunia maya, media sosial, tidak sedikit viral yang menggelorakan ungkapan yang memanifestasikan rasa bangga dan kehebatan bangsa Indonesia. Proporsi narasi ihwal kompetisi Pemilu dan Pilpres 2019 yang menyegarkan dirasakan semakin signifikan. Kisah romansa Asian Games 2018 wajib dirawat, bukan hanya untuk kepentingan pemilu dan pilpres tahun depan, melainkan juga untuk menyusun agenda politik ke depan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menguatnya rasa keindonesiaan memberikan peluang kampanye diisi dengan wacana rasional yang dapat mengendalikan dominasi semangat perdebatan asal menang serta menyediakan peluang publik mendalami dan menikmati substansi perdebatan. Upaya itu memerlukan perjuangan keras karena ”mazhab” komunikasi dewasa ini, akibat revolusi teknologi, menjadi serba kilat, dangkal, serta semakin impersonal.

Kebebasan berpendapat dan berbicara lebih didominasi debat retorika yang egoistis, tujuannya sekadar mengalahkan lawan bicara. Dalam tataran yang lebih eksesif, retorika disertai kekuasaan akan mempunyai daya paksa terhadap warga. Alternatifnya, dialektika yang dialogis sehingga perspektif kebenaran mitra bicara berkontribusi terhadap substansi isu yang dibicarakan. Berbekal modal sosial itu, banyak kalangan yakin Pemilu dan Pilpres 2019 akan lebih bermartabat dari Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017. Salah satu simtom yang menggembirakan, pergeseran isu yang semula bernuansa emosional sektarian secara gradual menuju ke arah perdebatan ekonomi yang lebih rasional.

Terpilihnya Erick Thohir menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin yang merupakan sohib lama Sandiaga Uno, kandidat wakil presiden pasangan Prabowo, akan ikut menyejukkan kompetisi politik sehingga kualitas wacana publik semakin sehat. Kritik tajam dan terukur serta kebijakan alternatif terhadap kebijakan ekonomi pemerintah dewasa ini sangat diperlukan. Sintesa dialektika dari dua kubu dapat menjadi modal awal bagi pemerintahan yang akan datang. Siapa pun pemenangnya.

Agenda urgensi yang sangat mendesak adalah menyiapkan pemikiran yang komprehensif menyusun sistem pemerintahan presidensial yang efektif, kuat, dan kontrol publik yang proporsional. Isu ini amat kompleks dan rumit karena berkaitan dengan kepentingan politik. Oleh sebab itu, memerlukan kompetensi, dedikasi, konsistensi, kecermatan, kesungguhan, serta kemauan keras pemangku kepentingan, terutama para elite politik, akademisi, pegiat masyarakat, dan kalangan masyarakat sipil.

Kompleksitas agenda tersebut antara lain menyinkronkan beberapa paradigma berbangsa dan bernegara dalam kebijakan regulasi yang dapat dilaksanakan. Misalnya, skema yang dapat memadukan prinsip negara kesatuan dengan kenyataan masyarakat yang sangat majemuk dalam tata pemerintahan.

Skedul lain adalah pendidikan, intinya kebijakan negara mengasah sensibilitas, rasa-merasakan generasi muda terhadap nilai-nilai utama dalam kehidupan bersama. Salah satunya opsi pendidikan olahraga. Edukasi ini menanamkan sportivitas, taat aturan, memupuk harga diri dan martabat, serta rasa kebersamaan. Konon, pelajaran gimnastik pada zaman Yunani kuno bukan hanya untuk menghasilkan juara olahraga, melainkan juga mengasah sensibilitas generasi muda terhadap nilai-nilai luhur. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar