Pesona
Pelukan Keindonesiaan
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
13 September
2018
Daya pukau dan romansa
sukses Asian Games 2018 tidak hanya terbatas kekaguman publik internasional
terhadap kemampuan Indonesia menyelenggarakan perhelatan akbar itu, tetapi
peristiwa tersebut menjadi kisah kepahlawanan, kebanggaan, kehebatan, serta
gelegak romantisisme dan rasa rindu-dendam warga melampiaskan cintanya kepada
tanah air, bangsa, dan negara. Rasa kangen publik terhadap persatuan bangsa
yang lama terpendam tersalurkan oleh naluri tulus dan otentik dari anak muda
peraih medali emas dari cabang silat, Hanifan Yudani Kusumah, yang secara
instingtual dan spontan memeluk Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Pemberitaan luas berkaitan
dengan kisah tersebut seakan tidak pernah kering, seperti penyambutan para
peraih medali di daerah, cerita human interest, pahit getir, suka duka para
atlet yang menimbulkan rasa bangga juga mengharukan. Gema tersebut semakin
membahana karena kegiatan olahraga di daerah juga semakin menggeliat, baik
oleh kalangan swasta maupun pemerintahan di daerah.
Romansa cinta tanah air
dan bangsa harus dijaga dan dikelola untuk menyusun agenda kebijakan publik
yang menyejahterakan masyarakat. Oleh sebab itu, Asian Para Games yang
digelar pada 6-13 Oktober 2018 dan akan diikuti sekitar 40 negara serta
ribuan atlet perlu dijadikan momentum untuk semakin memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa.
Secara empiris, hasil survei
Kompas yang menegaskan kebanggaan terhadap prestasi atlet Indonesia hampir
menyentuh angka absolut (97,9 persen). Sementara itu, momen pelukan Jokowi-
Prabowo menunjukkan rasa persatuan harus dijaga, keyakinan Jokowi-Prabowo
mampu menjaga persatuan bangsa selama pilpres, dan energi positif prestasi RI
dalam Asian Games menjadi energi positif Pemilu 2019 serta kemampuan elite
politik dewasa dalam berpolitik juga cukup tinggi: masing-masing 87,4 persen,
77,5 persen, 80,2 persen, dan 65,0 persen (Kompas, 10/9).
Selain itu, di dunia maya,
media sosial, tidak sedikit viral yang menggelorakan ungkapan yang
memanifestasikan rasa bangga dan kehebatan bangsa Indonesia. Proporsi narasi
ihwal kompetisi Pemilu dan Pilpres 2019 yang menyegarkan dirasakan semakin signifikan.
Kisah romansa Asian Games 2018 wajib dirawat, bukan hanya untuk kepentingan
pemilu dan pilpres tahun depan, melainkan juga untuk menyusun agenda politik
ke depan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menguatnya rasa
keindonesiaan memberikan peluang kampanye diisi dengan wacana rasional yang
dapat mengendalikan dominasi semangat perdebatan asal menang serta
menyediakan peluang publik mendalami dan menikmati substansi perdebatan.
Upaya itu memerlukan perjuangan keras karena ”mazhab” komunikasi dewasa ini,
akibat revolusi teknologi, menjadi serba kilat, dangkal, serta semakin
impersonal.
Kebebasan berpendapat dan
berbicara lebih didominasi debat retorika yang egoistis, tujuannya sekadar
mengalahkan lawan bicara. Dalam tataran yang lebih eksesif, retorika disertai
kekuasaan akan mempunyai daya paksa terhadap warga. Alternatifnya, dialektika
yang dialogis sehingga perspektif kebenaran mitra bicara berkontribusi
terhadap substansi isu yang dibicarakan. Berbekal modal sosial itu, banyak
kalangan yakin Pemilu dan Pilpres 2019 akan lebih bermartabat dari Pilpres
2014 dan Pilkada DKI 2017. Salah satu simtom yang menggembirakan, pergeseran
isu yang semula bernuansa emosional sektarian secara gradual menuju ke arah
perdebatan ekonomi yang lebih rasional.
Terpilihnya Erick Thohir
menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin yang
merupakan sohib lama Sandiaga Uno, kandidat wakil presiden pasangan Prabowo,
akan ikut menyejukkan kompetisi politik sehingga kualitas wacana publik
semakin sehat. Kritik tajam dan terukur serta kebijakan alternatif terhadap
kebijakan ekonomi pemerintah dewasa ini sangat diperlukan. Sintesa dialektika
dari dua kubu dapat menjadi modal awal bagi pemerintahan yang akan datang.
Siapa pun pemenangnya.
Agenda urgensi yang sangat
mendesak adalah menyiapkan pemikiran yang komprehensif menyusun sistem
pemerintahan presidensial yang efektif, kuat, dan kontrol publik yang
proporsional. Isu ini amat kompleks dan rumit karena berkaitan dengan
kepentingan politik. Oleh sebab itu, memerlukan kompetensi, dedikasi,
konsistensi, kecermatan, kesungguhan, serta kemauan keras pemangku
kepentingan, terutama para elite politik, akademisi, pegiat masyarakat, dan
kalangan masyarakat sipil.
Kompleksitas agenda
tersebut antara lain menyinkronkan beberapa paradigma berbangsa dan bernegara
dalam kebijakan regulasi yang dapat dilaksanakan. Misalnya, skema yang dapat
memadukan prinsip negara kesatuan dengan kenyataan masyarakat yang sangat
majemuk dalam tata pemerintahan.
Skedul lain adalah
pendidikan, intinya kebijakan negara mengasah sensibilitas, rasa-merasakan
generasi muda terhadap nilai-nilai utama dalam kehidupan bersama. Salah
satunya opsi pendidikan olahraga. Edukasi ini menanamkan sportivitas, taat
aturan, memupuk harga diri dan martabat, serta rasa kebersamaan. Konon,
pelajaran gimnastik pada zaman Yunani kuno bukan hanya untuk menghasilkan
juara olahraga, melainkan juga mengasah sensibilitas generasi muda terhadap
nilai-nilai luhur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar