Pancasila
dan Agama
Asep Salahudin ; Staf Ahli Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila;
Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM
Suryalaya, Tasikmalaya
|
KOMPAS,
03 September
2018
Tentu saja Pancasila itu
bukan agama dan dilahirkan tidak berpretensi menggeser apalagi mengganti
posisi wujud formalisme agama. Pancasila adalah ideologi negara yang lahir,
salah satunya, untuk menjadi payung bagi seluruh umat beragama. Dengan
begitu, mereka bisa mengamalkan keyakinannya
sesuai agama masing-masing dengan tenang dan penuh penghayatan.
Kata Bung Karno, ”Bukan
saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia
hendaknya ber-Tuhan. Tuhan-nya sendiri…. Hendaknya negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-nya dengan cara yang
leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada ’egoisme agama’.”
Maka, kalau diperhatikan
secara saksama, dari lima silanya tidak ada satu pun yang bertentangan dengan
agama. Semua agama memiliki basis legitimasi teologis untuk mengokohkan visi
metafisis dan sosiologis setiap sila.
Semua sila malah
melambangkan upaya pembumian nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara
secara koheren dan simultan. Satu sila
dengan lainnya saling menguatkan dan berkelindan, tidak bisa dipisahkan
secara parsial-pragmentaris. Kalau kita memiliki cita-cita, menerapkan ajaran
Islam misalnya, maka bumikanlah Pancasila secara kafah.
Nilai
universal
Nilai-nilai Pancasila
itulah yang bersifat universal. Melintasi batas-batas agama formal dan bahkan
menampung seluruh kearifan yang terbentang sepanjang garis khatulistiwa
sehingga kehadirannya diterima semua kalangan. Pancasila mampu tampil
memberikan jawaban memuaskan baik bagi kelompok sekuler maupun religius, bagi
kalangan sosialis ataupun nasionalis.
Kalau menating diksi
mukjizat, harus saya katakan Pancasila merupakan mukjizat ideologis terbesar
yang Allah turunkan untuk bangsa Indonesia sebagai hadiah kemerdekaan. Hanya
Pancasila yang memiliki kemampuan daya rekat keragaman etnik, budaya, dan
agama, sekaligus yang paling berpeluang membuktikan klaim rahmatan lil alamin
dan damai kasih yang menjadi modus utama kelahiran setiap agama.
Pancasila jalan tengah
dari pancawarna ideologi yang dicari
sejak awal abad ke-20 oleh manusia pergerakan. Dan, ideologi seperti inilah—
diakui atau tidak—yang tidak dimiliki masyarakat Muslim Timur Tengah sehingga
nyaris setiap saat selalu terjadi bentrok berdarah, baik antarnegara maupun
di dalam negara itu sendiri: antara masyarakat dan penguasanya. Mereka
bersengketa di samping alasan disparitas ekonomi juga dikeruhkan persoalan
ideologi negara yang masih terus mencari bentuk—belum lagi tafsir agama yang
seolah tak menemukan titik temunya—yang belum selesai mendapatkan format
ideal hubungan agama dan negara. Satu sama lain melakukan pendakuan dan
beranggapan di luar dirinya sebagai keliru, kafir, dan menyesatkan.
Pancasila-lah yang memberi
kepastian tampil ke depan mengingatkan kelirunya kelompok radikal kanan dan
ekstrem kiri yang hendak memaksakan pendiriannya, yang sesungguhnya tak
mengakar di jantung kultural masyarakat Indonesia. Baik Islamisme (Darul
Islam/NII) maupun komunisme (Partai Komunis Indonesia) gagal total bukan karena
gerakannya menggunakan jalur kekerasan saja, melainkan juga ideologi yang
ditawarkannya sama sekali tidak mengakar dan tidak bisa menawarkan penjelasan memadai tentang konsep bernegara
relasinya dengan masyarakat multikultural. Yang satu membayangkan fantasi
arkaik-utopis Islam Abad Pertengahan yang hidup di dataran gurun Timur
Tengah, satunya lagi merujuk kepada negara Uni Soviet ciptaan Stalin-Lenin
tanpa penafsiran kreatif. Hari ini Uni Soviet malah bubar mengalami
balkanisasi, dan Timur Tengah juga tak henti didera konflik ”musim semi”
berkepanjangan.
Mengaktifkan
ingatan
Tentu saja Pancasila tidak
lahir dari ruang hampa kebudayaan. Ia bukan turun dari langit secara
tiba-tiba sebagaimana ketika Nabi menerima wahyu Tuhan. Justru kelebihan
Pancasila karena digali dari lipatan sejarah bangsanya, dari sumur kultural
masyarakatnya. Dalam istilah ”digali”, seperti diperkenalkan Bung Karno
sendiri, tersembul sebuah fakta betapa nilai-nilai Pancasila itu telah
tumbuh-hidup dalam laku dan alam pikiran serta kesadaran warga Nusantara jauh
sebelum Indonesia diproklamasikan.
Dalam frasa ”digali” ada
sebuah pengakuan jujur sekaligus penghormatan luhur terhadap para leluhur.
Ada upaya penahbisan bahwa bangsa Indonesia punya riwayat yang panjang,
memiliki ladang kearifan perenial, baik diturunkan dari ajaran Tuhan maupun
dari tradisi lokal yang hidup di tengah masyarakat. Kata Soekarno, Pancasila
diambil dari proses akulturasi budaya India (Hindu-Buddha), Barat (Kristen),
dan Arab (Islam). Apalagi dalam usulan Bung Karno pada 1 Juni 1945
tersebutlah kata, ”Ketuhanan yang berkebudayaan”. Tuhan itu ketika dibahasakan dalam bumi kemanusiaan maka akan berwujud gerakan kebudayaan. Semacam kebudayaan yang
diacukan pada roh ketuhanan dan ketuhanan yang menjadi pandu kebudayaan. Antara yang mistik dan
teknik—meminjam istilah Van Peursen—dipersatukan. Transformasi dari pemahaman
kebudayaan dan agama ”abu” menjadi ”api”.
Perdebatan alot di Gedung
Konstituante pada rentang 1 Juni-18 Agustus 1945 tentang bentuk dasar negara
sesungguhnya adalah jalan mengaktifkan ingatan tentang semua itu. Setelah
ingatan itu diaktifkan, kemudian oleh para pendiri bangsa dirumuskan dalam lima sila. Tersebutlah
Pancasila yang dikatakannya sebagai philosophische grondslag (dasar filsafat)
dan weltsanchauung (pandangan dunia), pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di
atasnya didirikan gedung ”Indonesia Merdeka yang Kekal dan Abadi”. Muhammad
Yamin dalam Proklamasi dan Konstitusi (1951) mengatakan, ”Pancasila itu
sebagai benda rohani yang tetap dan tidak berubah sejak Piagam Jakarta sampai
pada hari ini.”
Hari
ini
Kalau hari ini di tengah
warga negara Indonesia ada yang menolak Pancasila dan atau diam-diam
menggerogoti ideologi negara, sesungguhnya mereka tak hanya buta terhadap
perjalanan bangsanya, juga tidak
pernah mau belajar dari bangsa-bangsa lain yang tak pernah berhenti
bersengketa. Tidak ada keraguan, la raiba fih: mereka rabun baik dalam
beragama maupun bernegara. Belum mendapatkan hidayah kultural, religius,
ataupun fitrah kebangsaan. Mereka masih tersaruk-saruk di jalan menyimpang
sambil tak henti mewiridkan sistem khilafah yang tak jelas dan ahistoris.
Kita tidak menutup mata
bahwa Pancasila dalam langgam sejarah bangsa pernah dibelokkan hanya untuk
mengabdi kepentingan penguasa, penafsirannya dimonopoli sekadar
melayani rezim sebuah orde. Namun, pengalaman getir ini tidak kemudian menjadi alasan untuk
bersama-sama menguburkan Pancasila, justru ia menjadi tantangan tersendiri
bagaimana penguasa hari ini dan
seterusnya dalam sistem demokrasi mampu membuktikan bahwa Pancasila itu
”sakti” benar adanya dan setiap silanya adalah rajah mujarab untuk
menyembuhkan problem keindonesiaan. Pancasila menjadi sebuah kebenaran tidak
saja secara verbal, tetapi memberikan inspirasi bagi penguasa untuk
selekasnya membuktikan tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara.
Institusi semacam Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila bukan sekadar mengkhotbahkan Pancasila dan
memperbanyak kegiatan seremonial saja,
tetapi bisa menanamkan nilai-nilai Pancasila menjadi oksigen kehidupan. Ia
menjadi hemoglobin yang mengalirkan
sel darah merah yang menyebar ke segenap warga. Melahirkan para
pemimpin Pancasilais yang layak diteladani dalam segenap hal, sehingga ketika
seseorang meminta contoh siapa sesungguhnya yang Pancasilais itu, kita dengan
mudah menunjuk orang-orangnya. Dan, bukankah pendidikan lewat keteladanan
adalah cara paling ampuh? Memimpin lewat keteladanan adalah jalan mulia
kenabian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar