Apakah
Kita Makin Miskin?
Agustono Effendy ; Praktisi Bisnis; Alumnus Jurusan
Matematika IPB dan MM Prasetiya Mulya
|
KOMPAS,
07 September
2018
Belakangan ini kita
disuguhi perdebatan mengenai angka kemiskinan. Versi Badan Pusat Statistik
(BPS) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin sudah turun menjadi satu digit,
yaitu 9,82 persen atau 25,95 juta orang pada Maret 2018. Itu angka terendah
sejak 1999 (Kompas.com, 16/7/2018).
Tak lama berselang, mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut ada sekitar 100 juta orang yang
masuk kategori miskin meskipun dijelaskan yang dimaksud adalah ”the bottom
40” atau 40 persen kalangan bawah yang jumlahnya sekitar 100 juta orang.
Sandiaga Uno, sang
cawapres, juga meragukan data BPS dan menuding pemerintah mengontrol data BPS
serta lebih percaya dengan data yang dimilikinya karena berdasarkan keluhan
langsung dari masyarakat saat ia dan timnya berkunjung ke daerah.
Terlepas dari motivasi di
balik pernyataan-pernyataan para politisi itu, tebersit pertanyaan apakah
makin banyak orang miskin di negara kita atau makin sedikit? Dalam buku Hans
Rosling et al, Factfulness, Ten Reasons We’re Wrong About the World-and Why
Things Are Better Than We Think, Flatiron Books, 2018, diungkapkan bahwa
kebanyakan kita cenderung menerka bahwa dunia atau negara kita makin buruk.
Dia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sederhana
mengenai tren global, seperti
persentase orang miskin dunia, persentase populasi yang mempunyai
akses listrik, anak perempuan yang lulus sekolah dasar, dan lain-lain. Yang
mengejutkan adalah kebanyakan jawaban responden salah, sedemikian salahnya
sehingga jawaban acak simpanse secara konsisten lebih baik dari jawaban para
guru, wartawan, bahkan para pemenang hadiah Nobel yang seharusnya memiliki
pengetahuan umum yang lebih baik dibandingkan dengan orang kebanyakan.
Salah satu contoh dari 13
pertanyaan yang diajukan adalah: dalam 20 tahun terakhir, proporsi penduduk
dunia yang hidup dalam kemiskinan ekstrem (penghasilan di bawah 2 dollar AS
per hari) adalah A) dua kali lipat; B) kurang lebih sama; C) hampir
setengahnya.
Yang menjawab benar hanya
7 persen dari ribuan orang yang disurvei, masih kalah dengan simpanse yang
secara acak mempunyai kemungkinan 33 persen benar. Jika kita menjawab
asal-asalan saja seperti diumpakan seekor simpanse, maka ada kemungkinan
sepertiga jawaban benar atau 33 persen. Bagi yang penasaran, jawaban yang
benar adalah C. Ini sangat mengejutkan bahwa perkembangan paling penting dan
luar biasa ini, yaitu jumlah penduduk miskin ekstrem berkurang setengahnya
dalam dua dekade terakhir, tetapi kita tidak mengetahuinya.
Dia mengungkapkan bahwa
kita cenderung percaya kebanyakan aspek dalam hidup kita semakin buruk seperti
contoh soal kemiskinan ekstrem di atas. Kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu
dan dugaan kita sangat dipengaruhi bias yang cenderung negatif. Padahal,
secara faktual banyak aspek hidup kita yang berkembang menjadi lebih baik.
Lalu bagaimana dengan angka
kemiskinan di Indonesia. Setelah membaca Hans Rosling, tentu kita harus
mengacu kembali ke fakta yang ada. Untungnya Bank Dunia sangat rajin mencatat
statistik penting ini, dengan menggunakan acuan garis kemiskinan
internasional di mana ternyata jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu, angka
kemiskinan kita turun 87,5 persen dari 137 juta pada tahun 1999 menjadi 16,9
juta tahun 2016 (tahun 2017-2018 belum ada data,
http://povertydata.worldbank.org/poverty/country/IDN).
Kalau dunia dalam 20 tahun
bisa menurunkan angka kemiskinan menjadi setengahnya, ini sudah prestasi
hebat. Kita lebih hebat lagi, proporsi penduduk miskin hanya tinggal 12,5
persen! Inilah Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar