Orang-orang
Kaya
yang
Mengaku Hidupnya Makin Sulit
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
31 Agustus
2018
Sambil senyum-senyum saya
membaca keluh kesah kawan-kawan saya. Meski hidupnya enak, rumah besar, ada
mobil, pesta pernikahan anaknya wah, bahkan ada yang memelihara hewan-hewan
mahal, tetapi tak semua merasa makin kaya. Perhatian saya justru pada teman-teman
yang “merasa makin miskin.”
Well, tak ada yang
mengatakan kini kehidupan jauh lebih enak. Namun, ada konsekuensi dari
keinginan kita yang menuntut perubahan, apalagi ini era disrupsi.
Di sisi lain, saat tatanan
ekonomi dunia chaos, selalu ada energi besar yang memicu kreativitas, bahkan
mencuri kemenangan. Persis seperti tim Indonesia dalam Asian Games 2018 ini.
Sometimes you win and sometimes you learn.
Kembali ke kawan-kawan
tadi. Dalam WA grup. Sama seperti Anda, kami juga membahas segala “kesulitan."
Tapi belakangan saya sering bertanya, orang kaya, kok merasa hidupnya susah?
Suka
Mengatasnamakan Rakyat
Akhirnya saya mulai
sungguhan melakukan riset. Persis seperti waktu kuliah S-3. Saya kelompokkan
mereka berdasarkan tempat tinggal dan simbol-simbol kekayaan yang mereka
pamerkan.
Saya juga menelisik apakah
mereka punya "calling" sosial atau tidak, semisal kontribusi dalam
pendidikan, kesehatan, atau pembinaan anak-anak muda yang motifnya bukan
kekuasaan atau kelompok identitas, melainkan yang altruistik, dengan
ketulusan.
Saya lakukan analytics
kata-kata kunci yang sering sekali mereka ucapkan. Memakai semacam big data.
Ternyata kata-kata
negatif, benci pada keadaan, justru banyak dikeluarkan oleh mereka yang
hidupnya, maaf, kering-kerontang atau yang terbiasa mengedepankan identitas
kelompok. Padahal, sekali lagi, mereka tidak miskin.
Sayangnya, mereka juga
mudah dihasut kebencian, padahal Tuhan sudah pernah memberi kesempatan
sebagian mereka untuk berkuasa menjadi pejabat atau pemimpin.
Dan yang lebih menarik
lagi, mereka yang merasa hidupnya tambah susah itu, selalu terkait dengan
kata “rakyat.”
Maksud saya, mereka sering
sekali mengatasnamakan rakyat. “Rakyat hidup semakin sulit,” “harga-harga
yang harus dibayar rakyat terus melambung,” “daya beli turun.” Dan akhirnya
“Rakyat di desa hidup merana, pekerjaan sulit.”
Mereka membuat rakyat
merasa lebih susah, padahal rakyat yang dimaksud itu harus diajarkan keluar
dari perangkap kepindahan (the great shifting), supaya usahanya kembali pulih
dan ekonomi tumbuh lebih tinggi lagi.
Setiap kali melihat
"rakyat susah" mereka ikut susah, tetapi hatinya tak tergerak sama
sekali untuk mengulurkan bantuan, selain kata-kata.
Sementara teman-teman saya
yang justru berjiwa sosial, tidak sekalipun mengatasnamakan rakyat.
Hartanya
Naik
Pergunjingan pun beralih
ke soal harta. Sebab sewaktu nilai rupiah terdesak, kawan-kawan saya yang
merasa susah itu menawarkan asetnya untuk dijual. Ya rumah, apartemen, tanah,
bahkan barang-barang tertentu.
Sama seperti Anda, saya
berpikir mereka sedang butuh uang (BU), "pasti harganya turun."
Ternyata mereka berkata lain. “Tidak dong. dollar naik, harga tanah dan
bangunan juga naik dong.” Ternyata mereka tidak sedang BU, tetapi mencari
keuntungan juga.
Saya semakin
terkesima saat membaca Twitter yang dikirim seorang anak muda tentang
besarnya kekayaan calon-calon presiden dan wakil presiden. Ternyata sama
saja. Besar harta mereka setahun terakhir ini naik fantastis. Tetapi dalam
pernyataannya, mereka selalu mengatasnamakan rakyat dan merasa hidup di sini
semakin susah.
"Rada ngga
nyambung," sergah anak muda yang menulis itu di Twiter.
The
Empty Raincoat
Hampir 20 tahun lalu, saat
dunia mulai mengenal internet, Prof Charles Handy mengajak kita “making sense
of the future.” Ya, mengendus masa depan. Ia menyebut fenomena ini sebagai
the empty raincoat. Sebuah perasaan yang berbeda dengan realitas yang ada.
Wajar bahwa orang-orang
bingung, selalu membuat kebingungan. Kalau mereka tak kontrol mulutnya dan
kebijaksanaan tak datang menemui hari tuanya, maka kesusahan akan menjadi
sahabat teman-teman dan bangsanya. Sesungguhnya, orang yang banyak mengeluh
adalah orang yang dikeluhkan teman-temannya.
Ini disindir Handy dalam
Paradox of Riches. Tentu orang yang semakin kaya (secara ekonomi) merasa
lebih punya kontrol dan maunya lebih dan lebih banyak lagi. Tetapi celakanya,
ada semakin banyak harta yang tak bisa dimiliki orang berada pada harga
berapa pun.
Ekonom menyebut hal itu
sebagai public goods, dan untuk menikmatinya kita harus berbagi tempat
(sharing space) dengan orang lain. Anda bisa membeli mobil, tapi jalanannya
harus berbagi dengan orang lain.
Ketika perekonomian
membaik dan daya beli naik, semua orang bisa memilikinya. Kini Anda harus
berbagi kemacetan, bahkan ada kalanya tak bisa dipakai karena aturan
ganjil-genap. Anda tak bisa membeli kelancaran lalu lintas berapa pun
besarnya uang Anda selain berbagi hari dan mau diatur.
Udara dan air bersih,
lingkungan yang aman, politik yang menenteramkan, masyarakat yang tidak
pemarah, dan seterusnya juga sama saja.
Paradox
of Poverty
Kini teknologi semakin
memudahkan. Bekerja dari rumah misalnya. Dulu keduanya dibentangkan oleh
jarak dan waktu. Jadi banyak yang bisa diselesaikan dengan waktu yang lebih
sedikit (working less time). Tetapi, kini ada tuntutan untuk bekerja serba
cepat. Bekerja dari rumah berarti tak punya waktu juga karena begitu banyak
yang harus dan bisa dikerjakan. Pusing, bukan?
Tetapi, masih ada yang
lebih paradox. Ini soal bagaimana kaum superkaya memaknai arti kemiskinan?
Maksud saya, kalau tak pernah hidup melarat lalu
ujug-ujug bisa menjadi presiden atau wakilnya, benarkah mampu membuat program
yang meaningful untuk memberantas kemiskinan?
Saya beri contoh saja
Donald Trump yang superkaya itu. Sama seperti politisi-politisi kaya
Indonesia yang menjual kemelaratan (poverty) dan “penderitaan rakyat” sewaktu
kampanye, Trump membekukan Obama Care yang pro poor. Tetapi di lain pihak,
Trump justru mengusir para imigran miskin dan menurunkan pajak perusahaan-perusahaan
besar dari 35 persen menjadi 21 persen.
Saya semakin tertegun
ketika membaca buku Homo Deus yang ditulis profesor Yuval Noah Harari: A Brief History of Tomorrow. Ia
mengingatkan:
“Saat
negara-negara terfokus mengentaskan kemiskinan, kita menemukan pembunuh
terbesar umat manusia. Bukan lagi kurang gizi, penyakit menular atau
terorisme, melainkan gula.”
Ada paradoks antara eating too little (yang mengakibatkan
kurang gizi) vs eating too much
(yang mengakibatkan diabetes dan obesitas).
Science telah turut
mengatasi banyak masalah kaum papa. Di Indonesia, dengan program dana desa
yang generous kita menyaksikan telah ada lebih dari 100.000 km jalan desa.
Penyakit-penyakit menular pun cepat diberantas.
Tetapi, tiga pembunuh
terbesar manusia Indonesia menurut survei yang dilakukan oleh Balitbangkes
(Sample Registration Survey) adalah diabetes, stroke, dan penyakit jantung.
Ketiganya, konon banyak diderita kelompok kaya. Bukan kaum miskin.
Di sisi lain, ditemukan
realitas bahwa komplain besar terhadap layanan BPJS Kesehatan, ternyata bukan
dari kaum miskin, melainkan kelas menengah yang malas bayar iuran. Mereka
lebih mengedepankan hak ketimbang kewajibannya. Bisa dibayangkan, masa depan
layanan yang generous ini kalau kelak negara dipimpin orang kaya seperti
Trump.
Begitulah kita menyaksikan
sebagian orang-orang kaya yang merasa hidupnya semakin sulit. Mereka komplain
apa saja, mulai dari ganjil-genap, jalan yang jauh di bandara, parkir yang
padat, demo yang dilarang, sampai tadi itu: kok hidup jadi lebih susah? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar