Balada
Jambi, Pelaku sekaligus Korban
Seto Mulyadi ; Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI);
Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
|
MEDIA
INDONESIA, 20 September 2018
SEJUMLAH
lembaga negara mempertanyakan sikap jaksa dalam perkara anak korban perkosaan
yang melakukan aborsi di Provinsi Jambi. Di tingkat Pengadilan Negeri,
majelis hakim memvonis anak tersebut bersalah. Banyak kalangan langsung naik
pitam. Hakim disebut tidak memiliki kepekaan.
Saat
pengadilan tinggi menganulir vonis tersebut, kelegaan mengalir. Namun, begitu
mengetahui bahwa jaksa mengajukan kasasi, protes bahkan kecaman pun
berhamburan ke arah jaksa dari sekian banyak pihak. Intinya, kalangan
tersebut memandang jaksa pada perkara tersebut seharusnya berhenti pada vonis
bebas.
Andaikan
harus dilakukan koreksi atas proses hukum kasus anak korban perkosaan yang
mengaborsi janinnya itu, menurut saya, pada tataran dasar langkah pelurusan
yang seharusnya diambil bukanlah pada kerja Kejaksaan (bahkan PN Jambi dan
kepolisian). Masyarakat dan lembaga negara, semacam KPAI dan DPR sepatutnya
fokus pada peraturan pemerintah terkait dengan dijadikan sebagai acuan kerja
lembaga penegakan hukum untuk menangani kasus di Jambi tersebut.
Di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61/2014 tertera bahwa tindakan aborsi bagi
korban perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama
berusia empat puluh hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Dengan
demikian, kurang tepat apabila DPR dan KPAI mengarahkan kritik serta akan
berkirim surat hanya kepada Kejaksaan. Yang lebih tepat, DPR dan KPAI,
berlandaskan pada fungsi pengawasan yang keduanya miliki, sewajarnya
mengevaluasi isi peraturan pemerintah dimaksud.
Baru
nantinya, apabila dibutuhkan, mendorong pemerintah untuk melakukan revisi
terhadap PP tersebut. Terutama pada bagian yang mengatur ihwal empat puluh
hari sebagai batas waktu diperbolehkannya aborsi oleh korban perkosaan.
Berbeda
dengan merevisi undang-undang yang prosesnya pelik karena mengharuskan adanya
titik temu antara Pemerintah dan DPR, mengoreksi Peraturan Pemerintah kiranya
lebih sederhana. Tinggal lagi bagaimana KPAI dan DPR meyakinkan pemerintah
akan pentingnya perubahan atas PP dimaksud.
Terkait
dengan revisi PP tersebut, apabila ditanya kepada saya tentang berapa batasan
hari yang ideal bagi pembenaran aborsi, selaku pegiat anak, sudah pasti saya
menolak tegas dilakukannya aborsi. Aborsi ialah pembunuhan terhadap anak, baik
anak yang sudah dilahirkan maupun anak yang belum dilahirkan. Keduanya
semestinya diperlakukan sama: tidak boleh dibunuh. Itu prinsip yang harus
ditegakkan secara universal terhadap seluruh anak. Mohon tidak ada
diskriminasi.
Jadi,
dengan nalar sedemikian rupa, aborsi bahkan yang dilakukan korban perkosaan
sekali pun tetap harus dilarang. Apalagi mengacu temuan riset Holmes dkk
(1996), saya melihat ada angka persentase yang cukup prospektif bagi peluang
keberhasilan upaya untuk mencegah korban perkosaan--terutama yang masih
berusia anak mengaborsi janin mereka.
Menurut
Holmes, 32,2% korban perkosaan ingin merawat bayi mereka, 50% menjalani
aborsi, 5,9% menyerahkan bayi mereka untuk diadopsi, dan 11,8% mengalami
aborsi spontan. Tanpa menutup telinga terhadap kalangan feminis yang gencar
menyuarakan kepiluan para korban perkosaan, penguatan bagi para penyintas
agar menjaga kehamilan mereka justru jauh lebih penting untuk didorong.
Status ganda
Ingar
bingar di Jambi sebagaimana tertulis di atas, bermula dari situasi ketika
seorang abang (sebut saja: Abang) memerkosa adik kandungnya (sebut saja:
Adik). Abang, sesuai bunyi putusan majelis hakim, melakukan perkosaan
terhadap Adik setelah sebelumnya menonton tayangan pornografi. Naik syahwat
si Abang, lalu ia tumpahkan ke orang dekat.
Jadi,
dakwaan atas diri Abang sesungguhnya berawal dari situasi ketika ia sebagai
korban pornografi. Selaku terdakwa, ia telah divonis bersalah. Namun, sebagai
korban, hak-haknya tidak bisa dinihilkan. Undang-Undang Perlindungan Anak
mencantumkan ketentuan bahwa anak korban pornografi berhak akan perlindungan
khusus.
Perlindungan
khusus diberikan kepada Abang dalam kedudukannya selaku korban agar ia
memperoleh jaminan rasa aman dari ancaman yang berpotensi mengganggu proses
tumbuh kembangnya. UU Perlindungan Anak menentukan bahwa perlindungan khusus
bagi anak korban pornografi diselenggarakan melalui pembinaan, pendampingan,
kesehatan fisik dan mental, serta pemulihan sosial.
Perlakuan
serupa semestinya juga berlaku bagi si Adik. Adik divonis bersalah karena
menggugurkan bayi yang dikandungnya. Situasi pendahulunya ialah ia mengalami
viktimisasi seksual. Anak korban kejahatan seksual, seperti yang Adik derita,
juga berhak atas perlindungan khusus.
Perlindungan
khusus bagi korban kanak-kanak dalam situasi traumatis tersebut diberikan
dalam bentuk edukasi, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial selama
pengobatan dan pemulihan, serta perlindungan dan pendampingan selama
berlangsungnya proses hukum.
Jadi,
perlu untuk dievaluasi, seberapa jauh perlindungan khusus telah diberikan
kepada si Abang dan si Adik selaku korban? Negara siap menghukum, selayaknya
juga siap untuk melindungi. Semoga. ●
|
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
BalasHapusPromo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^