Rabu, 26 September 2018

Balada Jambi, Pelaku sekaligus Korban

Balada Jambi, Pelaku sekaligus Korban
Seto Mulyadi ;  Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI);
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
                                          MEDIA INDONESIA, 20 September 2018



                                                           
SEJUMLAH lembaga negara mempertanyakan sikap jaksa dalam perkara anak korban perkosaan yang melakukan aborsi di Provinsi Jambi. Di tingkat Pengadilan Negeri, majelis hakim memvonis anak tersebut bersalah. Banyak kalangan langsung naik pitam. Hakim disebut tidak memiliki kepekaan.

Saat pengadilan tinggi menganulir vonis tersebut, kelegaan mengalir. Namun, begitu mengetahui bahwa jaksa mengajukan kasasi, protes bahkan kecaman pun berhamburan ke arah jaksa dari sekian banyak pihak. Intinya, kalangan tersebut memandang jaksa pada perkara tersebut seharusnya berhenti pada vonis bebas.

Andaikan harus dilakukan koreksi atas proses hukum kasus anak korban perkosaan yang mengaborsi janinnya itu, menurut saya, pada tataran dasar langkah pelurusan yang seharusnya diambil bukanlah pada kerja Kejaksaan (bahkan PN Jambi dan kepolisian). Masyarakat dan lembaga negara, semacam KPAI dan DPR sepatutnya fokus pada peraturan pemerintah terkait dengan dijadikan sebagai acuan kerja lembaga penegakan hukum untuk menangani kasus di Jambi tersebut.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61/2014 tertera bahwa tindakan aborsi bagi korban perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia empat puluh hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Dengan demikian, kurang tepat apabila DPR dan KPAI mengarahkan kritik serta akan berkirim surat hanya kepada Kejaksaan. Yang lebih tepat, DPR dan KPAI, berlandaskan pada fungsi pengawasan yang keduanya miliki, sewajarnya mengevaluasi isi peraturan pemerintah dimaksud.    

Baru nantinya, apabila dibutuhkan, mendorong pemerintah untuk melakukan revisi terhadap PP tersebut. Terutama pada bagian yang mengatur ihwal empat puluh hari sebagai batas waktu diperbolehkannya aborsi oleh korban perkosaan.

Berbeda dengan merevisi undang-undang yang prosesnya pelik karena mengharuskan adanya titik temu antara Pemerintah dan DPR, mengoreksi Peraturan Pemerintah kiranya lebih sederhana. Tinggal lagi bagaimana KPAI dan DPR meyakinkan pemerintah akan pentingnya perubahan atas PP dimaksud.

Terkait dengan revisi PP tersebut, apabila ditanya kepada saya tentang berapa batasan hari yang ideal bagi pembenaran aborsi, selaku pegiat anak, sudah pasti saya menolak tegas dilakukannya aborsi. Aborsi ialah pembunuhan terhadap anak, baik anak yang sudah dilahirkan maupun anak yang belum dilahirkan. Keduanya semestinya diperlakukan sama: tidak boleh dibunuh. Itu prinsip yang harus ditegakkan secara universal terhadap seluruh anak. Mohon tidak ada diskriminasi.

Jadi, dengan nalar sedemikian rupa, aborsi bahkan yang dilakukan korban perkosaan sekali pun tetap harus dilarang. Apalagi mengacu temuan riset Holmes dkk (1996), saya melihat ada angka persentase yang cukup prospektif bagi peluang keberhasilan upaya untuk mencegah korban perkosaan--terutama yang masih berusia anak mengaborsi janin mereka.

Menurut Holmes, 32,2% korban perkosaan ingin merawat bayi mereka, 50% menjalani aborsi, 5,9% menyerahkan bayi mereka untuk diadopsi, dan 11,8% mengalami aborsi spontan. Tanpa menutup telinga terhadap kalangan feminis yang gencar menyuarakan kepiluan para korban perkosaan, penguatan bagi para penyintas agar menjaga kehamilan mereka justru jauh lebih penting untuk didorong.

Status ganda

Ingar bingar di Jambi sebagaimana tertulis di atas, bermula dari situasi ketika seorang abang (sebut saja: Abang) memerkosa adik kandungnya (sebut saja: Adik). Abang, sesuai bunyi putusan majelis hakim, melakukan perkosaan terhadap Adik setelah sebelumnya menonton tayangan pornografi. Naik syahwat si Abang, lalu ia tumpahkan ke orang dekat.

Jadi, dakwaan atas diri Abang sesungguhnya berawal dari situasi ketika ia sebagai korban pornografi. Selaku terdakwa, ia telah divonis bersalah. Namun, sebagai korban, hak-haknya tidak bisa dinihilkan. Undang-Undang Perlindungan Anak mencantumkan ketentuan bahwa anak korban pornografi berhak akan perlindungan khusus.

Perlindungan khusus diberikan kepada Abang dalam kedudukannya selaku korban agar ia memperoleh jaminan rasa aman dari ancaman yang berpotensi mengganggu proses tumbuh kembangnya. UU Perlindungan Anak menentukan bahwa perlindungan khusus bagi anak korban pornografi diselenggarakan melalui pembinaan, pendampingan, kesehatan fisik dan mental, serta pemulihan sosial.

Perlakuan serupa semestinya juga berlaku bagi si Adik. Adik divonis bersalah karena menggugurkan bayi yang dikandungnya. Situasi pendahulunya ialah ia mengalami viktimisasi seksual. Anak korban kejahatan seksual, seperti yang Adik derita, juga berhak atas perlindungan khusus.

Perlindungan khusus bagi korban kanak-kanak dalam situasi traumatis tersebut diberikan dalam bentuk edukasi, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial selama pengobatan dan pemulihan, serta perlindungan dan pendampingan selama berlangsungnya proses hukum.

Jadi, perlu untuk dievaluasi, seberapa jauh perlindungan khusus telah diberikan kepada si Abang dan si Adik selaku korban? Negara siap menghukum, selayaknya juga siap untuk melindungi. Semoga.

1 komentar:

  1. ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
    Promo Fans**poker saat ini :
    - Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
    - Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
    - Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
    Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^

    BalasHapus