Reformasi,
Pilkada Serentak dan Politik Biaya Tinggi
Muhammadun ; Analis
Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA, 21 Mei 2015
REFORMASI 21 Mei 1998 dalam perjalanannya
hari ini menghadirkan alam demokrasi modern di Indonesia dengan ragam
paradoks. Salah satunya ialah politik biaya tinggi. Setiap calon wakil
rakyat, calon kepala daerah, dan apalagi calon presiden bukanlah menghitung
besarnya jalan perjuangan yang akan diberikan kepada rakyat, melainkan menghitung
seberapa besar biaya yang akan dikeluarkan dan seberapa besar uang yang akan
dikorupsi untuk mengembalikan biaya politik yang sudah digunakan. Fenomena
itu sungguh telah merusak tatanan demokrasi modern yang dibaru dibangun era
reformasi ini, terbukti dengan banyaknya wakil rakyat dan kepala daerah yang
masuk bui.
Donny Tjahja Rimbawan (2013)
mengalkulasi, dalam pengelolaan partai politik saja selama lima tahun biaya
yang harus dikeluarkan oleh parpol berkisar Rp188,700 miliar untuk keberadaan
kantor parpol di kabupaten/kota dan ibu kota provinsi. Biaya lebih besar juga
dikeluarkan oleh para caleg yang akan duduk di DPR RI dan DPRD; setidaknya
jika diakumulasi akan mengeluarkan dana berkisar Rp160,120 triliun. Untuk
pemilihan kepala daerah setidaknya dana yang gelontorkan di seluruh Indonesia
mencapai Rp23,180 triliun, dengan perhitungan seorang calon gubernur
mengeluarkan dana rata-rata Rp25 miliar dan pengeluaran seorang calon
bupati/wali kota berkisar Rp10 miliar.
Ajang lima tahunan pemilihan
presiden juga tidak kalah hebatnya dengan dana yang dibutuhkan oleh para
capres. Seorang capres setidaknya membutuhkan dana berkisar Rp7 triliun untuk
bisa menggaet 70 juta suara rakyat Indonesia. Dengan demikian, total dana
yang keluarkan sebagai biaya politik selama lima tahun mencapai Rp190,488
triliun.
Semua dana yang dikeluarkan para
politikus tersebut tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima selama
lima tahun berkuasa. Dana tersebut juga tidak sebanding dengan nilai
demokrasi yang seharusnya menyejahterahkan rakyat Indonesia. Demokrasi
akhirnya hanya digadaikan para penguasa untuk kepentingan sesaat, sementara
kepentingan rakyat terus terpinggirkan, tak pernah dipikirkan. Kalaupun
dikaji dan diseminarkan, hanya selesai dalam ruang seminar.
Pilkada dan politik plutokrasi
Pilkada serentak yang akan
digelar pada 2015 ini sangat berbahaya. Politik biaya tinggi hanya akan
melahirkan politik plutokrasi, yakni sistem politik yang hanya menempatkan
orang-orang dengan kekuatan finansial yang besar yang akan terpilih. Kriteria
parpol dalam menetapkan calon terpilih ialah seseorang yang memiliki kekuatan
logistik yang besar, sementara calon yang miskin kekuatan logistik hanya akan
menjadi penghibur dalam pentas politik. Walaupun memiliki integritas dan
kemampuan yang mumpuni, tetapi miskin logistik, tetap saja akan tersinggirkan
dalam peta politik.
Politik plutokrasi pada akhirnya
mendorong lahirnya perburuan rente dalam jebakan birokrasi negara dan
pemerintahan. Politik perburuan rente ini akan sangat kentara menjelang
detik-detik menegangkan dalam pilkada serentak. Perburuan rente bukan saja
dilakukan oleh individu, melainkan juga parpol. Lihat saja berbagai kasus
yang dita ngani KPK, di sana terlihat sekali individu dan partainya terlibat
langsung dalam perburuan rente. Kasus-kasus lain juga tidak jauh berbeda
karena parpol juga sangat berkepentingan mengamankan logistik dalam pilkada.
Sementara itu, sebagian rakyat
sendiri juga terlibat dalam politik transaksional. Sekarang mendukung partai
A, besoknya bisa berpindah mendukung partai B, C, dan seterusnya. Politik
transaksional yang dilakukan sebagian rakyat ini sangat terkandung dengan
kekuatan logistik calon dan partai. Kalau logistik tinggi, dukungan akan
mengalir. Adapun kalau logistik rendah, dukungan akan beralih kepada yang
lain. Transaksi politik ini sudah terjadi sampai masyarakat tingkat paling
bawah. Jelas, ini sangat berbahaya, karena parpol dan rakyat sedang melakukan
`bunuh diri' terhadap masa depan demokrasi.
Politik biaya tinggi juga
melahirkan politisi yang miskin karakter. Tidak sedikit wakil rakyat yang
justru tidur ketika memikirkan persoalan rakyat. Memikirkan saja sudah tidur,
apalagi di tingkat perjuangan di lapangan, pasti tidak ada bekasnya. Politisi
miskin karakter sedang tumbuh subur karena mereka terus memanfaatkan sindrom
politik biaya tinggi untuk menumpuk kekayaaan dan melanggengkan kekuasaan.
Meminimalkan
Politik biaya tinggi merupakan
fenomena politik yang tidak bisa dibiar kan berjalan merusak demokrasi kita.
Semua harus bersama-sama mengakhiri praktik politik biaya tinggi ini.Baik
individu maupun parpol harus melakukan siasat cerdas sehingga politik biaya
tinggi bisa diminimalkan dan diakhiri.
Menurut Pramono Anung (2012), ada lima
stra tegi dalam mengakhiri politik biaya tinggi. Pertama, membuat aturan yang
memperbolehkan partai mempunyai badan usaha. Melalui badan usaha itu, partai
bisa mempunyai income yang jelas
dalam menghidupi kegiatan dan biaya pemilu.
Kedua, kampanye dibiayai oleh
negara. Sistem pembiayaan kampanye oleh negara sudah lazim di negara-negara
Barat. Ketiga, mengganti sistem proporsional terbuka menjadi proporsional
gabungan. Keempat, agar pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui UU
dan peraturan KPU membuat regulasi pembatasan dana kampanye yang dapat
dikeluarkan calon kepala daerah/caleg/capres. Pembatasan dana kampanye hingga
kini hanya mengatur parpol dan capres. Jadi, nanti tidak ada lagi pandangan
mengenai pertarungan antara orang kaya dan orang miskin. Yang ada pertarungan
kualitas.
Ide Pramono Anung ini menarik,
tetapi yang lebih penting ialah komitmen parpol dalam membangun demokrasi
yang bersih dan martabat di Indonesia. Komitmen partai kemudian menjadi aturan
main partai yang digunakan gerak para politikus, kemudian para politikus
berkomitmen untuk membangun tata aturan penyelenggaraan kampanye dan pilkada
serentak yang demokratis.
Komitmen partai ini harus segera
dimulai sehingga demokrasi lokal di Indonesia masih bisa segera diselamatkan
dari arogansi politik plutokrasi yang bisa menjadi bom waktu dalam pilkada
serentak 2015 ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar