Kamis, 21 Mei 2015

Keadilan Restoratif untuk Pecandu Narkotika Anak

Keadilan Restoratif untuk Pecandu Narkotika Anak

Asrorun Ni'am Sholeh  ;   Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
MEDIA INDONESIA, 21 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SALAH satu isu perlindungan anak kontemporer ialah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, termasuk rokok. Dalam catatan yang dihimpun sejauh ini, anak yang menjadi korban kejahatan narkoba masih menjadi penghuni penjara yang menempati posisi teratas. Berdasarkan data empiris, total anak binaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang pada April 2015 mencapai 184 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 84 anak terlibat narkotika, 50 anak terlibat kasus asusila, dan sisanya kasus kejahatan lain.

Regulasi telah menempatkan anak yang terlibat penyalahgunaan narkotika masuk perlindungan khusus. UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengategorikan anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif dalam penanganan khusus. Makna khusus di sini meliputi pengawasan, pencegahan, perawatan, dan juga rehabilitasi. 
Pendekatan penanganannya mengedepankan prinsip ke adilan restoratif, yaitu pendekatan untuk kepentingan memulihkan. Salah satunya melalui proses rehabilitasi.

Paradigma itu tentu sesuai dengan semangat untuk merehabilitasi anak dari penyalahgunaan zat-zat terlarang. Dalam pasal 67 disebutkan perlindungan khusus ini dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

Kita harus memupuk cara pandang bahwa anak yang terlibat penyalahgunaan narkotika sebagai korban. Oleh sebab itu, perlakuan terhadap mereka ialah penegakan hukum yang tujuannya merehabilitasi dan memulihkan kondisi mereka seperti semula. Pada dasarnya kejahatan narkotika yang melibatkan anak tidak sepenuhnya kesalahan ada pada mereka.Banyak faktor yang bisa menjelaskan apa penyebab anak bisa terlibat dalam kasus kejahatan ini.

Penegakan hukum terhadap anak yang terlibat kasus narkotika ialah keadilan restoratif. Premis dasarnya, kejahatan jenis itu dilakukan oleh orang lain, dalam hal ini bandar narkoba, yang kemudian menimbulkan stigma buruk seperti sebutan pecandu atau narapidana narkoba pada anak. Stigma itu tentu akan memberi dampak buruk bagi kehidupan anak di masa depan.

Dalam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus brownies yang ternyata mengandung ganja adalah bukti dari kejamnya peredaran narkotika di tengah masyarakat. Bahkan, temuan terakhir membuktikan ada permen yang dijual di sekolah ternyata juga mengandung nikotin. Anak-anak yang terlibat narkoba tidak layak diperlakukan sebagai pelaku kejahatan, melainkan korban dari sebuah sindikat kejahatan.

Tindakan yang tepat untuk menangani kasus narkoba pada anak ialah memperbaiki mereka dengan cara merehabilitasi. Dengan ditegakkannya keadilan restoratif, anak akan mendapat ruang dari sebuah sistem peradilan yang keterlibatannya karena pengaruh dari sindikat kejahatan yang lebih luas.

Keadilan restoratif ini membuat anak terhindar dari dampak buruk penjara. Bisa dibayangkan bagaimana perkembangan masa depan anak jika mereka satu sel dengan orang-orang dewasa yang terlibat kasus yang sama. Mereka akan semakin terjerembap dalam kubangan kejahatan narkotika.

Sebaliknya, untuk kepentingan perlindungan anak, regulasi kita memberikan hukuman yang keras terhadap bandar, pengedar, dan produsen narkoba, hingga hukuman mati. Kejahatan mereka sering kali menyasar dan menjadikan anak sebagai korbannya. Dukungan regulasi Semangat untuk menegakkan keadilan restoratif terkait dengan penyalahgunaan narkotika ini didukung oleh tiga UU sekaligus, yakni UU Narkotika, UU Perlindungan Anak, dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam hal kejahatan narkotika, setidaknya perjalanan panjang untuk melawan narkotika ini telah melalui tiga fase. Fase tersebut diawali dengan lahirnya UU No 8 Tahun 1976, UU No 22 Tahun 1997, dan terakhir UU No 35 Tahun 2009.

Regulasi ini mengalami perbaikan seiring dengan semakin kompleksnya penanganan kejahatan narkotika. Pasal 128 dalam UU Narkotika menyebutkan pecandu narkotika yang masih berusia anak-anak tidak dituntut pidana. Bahkan di pasal 55, pecandu narkotika anak-anak diwajibkan menjalani rehabilitasi di tempat-tempat yang telah ditentukan oleh pemerintah. Ini menjadi pemicu lahirnya cara pandang baru terhadap kejahatan narkotika. Semangat untuk melindungi anak-anak yang telah terpapar untuk dipulihkan dan direhabilitasi seperti sedia kala.

Penguatan terhadap rehabilitas anak yang terpapar narkotika juga ada dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Rehabilitasi menjadi langkah terakhir setelah pengawasan, pencegahan, dan perawatan terhadap anak korban kejahatan narkotika.

Problem kemudian muncul karena implementasi di lapangan kadang tidak sesuai dengan regulasi yang ada. Penanganan anak yang terpapar narkotika sering kali tidak sesuai dengan semangat keadilan restoratif. Alasan yang sering kali diungkapkan ialah infrastruktur yang tidak memadai.

Aparat penegak hukum sering kali kesulitan memisahkan penjara anak dengan orang dewasa dalam kasus kejahatan narkotika. Minimnya pemahaman hukum aparat dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dan terus meningkatnya jumlah anak yang terpapar narkotika merupakan problem besar bagi penegakan keadilan restoratif. Tentu itu menjadi tugas penting pemerintah untuk serius melihat anak sebagai korban, bukan pelaku kejahatan narkotika.

Masyarakat pun harus dilibatkan untuk menangani anak-anak yang terpapar narkotika. Tugas mengawasi, mencegah, dan merawat bisa dilakukan oleh elemen masyarakat untuk menutup pintu masuk narkotika pada anak. Salah satunya ialah dengan mengampanye kan perlawanan terhadap penyalahgunaan tembakau dan rokok.

Mengapa rokok? Karena dia ialah zat adiktif yang membuka peluang anak untuk mencoba narkotika. Ibaratnya narkotika ialah level empat, sementara rokok ialah level satu. Pergaulan dan lingkungan yang tidak sehat akan melahirkan generasi yang tidak sehat pula.

Selain menitikberatkan pada penegakan hukum formal, perlawanan terhadap kejahatan narkotika bisa pula melalui gerakan moral. Mengembalikan anak pada nilai-nilai agama dan keharmonisan keluarga menjadi kunci penting mereka agar terhindar dari kejahatan ini.

Data yang masuk ke KPAI menunjukkan kasus kejahatan narkotika pada anak berawal dari keluarga yang rusak. Perceraian orangtua melahirkan psikologi anak yang buruk. Pelarian mereka pun ke komunitas yang abai terhadap nilai-nilai moralitas dan mengarah pada tindakan kejahatan. Anak akan mudah terjebak dalam sindikat narkotika dan pada akhirnya terlibat pula kasus kekerasan, baik seksual maupun nonseksual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar