Rabu, 13 Mei 2015

Pancaroba Demokrat

Pancaroba Demokrat

Gun Gun Heryanto  ;  Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
KOMPAS, 13 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pergantian musim kerap kali diikuti musim pancaroba. Transisi dari musim hujan ke musim kemarau biasanya ditandai perubahan cuaca cukup ekstrem dan meningkatnya frekuensi orang sakit, terutama mereka yang tak memiliki daya tahan atas perubahan yang berlangsung.

Hal seperti ini bisa juga terjadi dalam lingkup perubahan politik. Setiap perubahan konstelasi politik berdampak pada eksistensi dan pola relasi aktor politisi ataupun partai politik di tengah fragmentasi kekuatan yang ada saat ini.

Partai Demokrat 10 tahun menjadi partai penguasa dan menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai orang nomor satu di republik ini selama dua periode. Kini, SBY tak lagi menjabat presiden, dan partainya pun melorot ke urutan keempat di antara partai pemenang Pemilu Legislatif 2014. Akankah Demokrat mampu melewati fase transisi dari partai penguasa ke partai penyeimbang di luar kekuasaan? Salah satu ujian awalnya tentu saat Demokrat menggelar kongres ketiga di Surabaya, 11-13 Mei.

Formula SBY?

Hal menarik dianalisis lebih awal jelang kongres Partai Demokrat adalah formula SBY dalam meracik strategi yang akan dipakainya  guna mengembalikan kepercayaan publik kepada Demokrat. Selain itu, SBY juga dihadapkan pada tantangan nyata untuk memilih mekanisme demokratisasi internal seperti apa yang akan dipakai di kongres nanti. Di hadapan SBY kini tersaji beragam opsi, seluruhnya memosisikan SBY sebagai aktor utama permainan.

Pertama, opsi pragmatis pemain tunggal (single player), yakni menempatkan SBY semakin kokoh di puncak hierarki otoritas partai tanpa mengharapkan lawan di gelanggang permainan. Artinya, seluruh instrumen kongres akan diarahkan pada upaya penahbisan ulang SBY sebagai nakhoda Demokrat. Jika opsi ini yang diambil, tentu akan ada upaya mengondisikan seluruh pengurus di basis struktur partai yang memiliki hak suara untuk aklamasi memilih SBY.

Logika yang disuguhkan kemungkinan tak akan jauh-jauh dari kepentingan strategis partai yang memerlukan figur kuat dan pemersatu serta menghindari perpecahan internal dan argumen lain yang sejenis. Intinya, opsi ini memosisikan SBY sebagai "obat mujarab" sepanjang hayat untuk mencari titik keseimbangan politik Demokrat. Kongres akan diskenariokan menjadi proses sirkulasi elite yang seolah-olah tanpa gejolak akibat rivalitas dan perburuan kursi orang nomor satu di partai berlambang Mercy ini.

Merujuk Vilpredo Pareto, The Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elite biasanya digambarkan sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence (ketergantungan bersama). Perubahan bukan berada dalam respons institusional yang dramatis, tetapi dalam tindakan dan reaksi sistem yang menunjukkan proses pengelolaan keteraturan. Dalam rangka pengelolaan titik keseimbangan ala SBY dan para pengikutnya, sirkulasi elite melalui kongres tak akan menghadirkan kejutan apa pun, persis seperti yang dilakukan PDI Perjuangan, Hanura, dan Gerindra.

Kedua, opsi dramaturgi politik dengan cara membuka peluang adanya sosok penantang di luar SBY, tetapi di belakang layar sesungguhnya semua aktor petarung dikendalikan SBY sendiri. Kandidat yang muncul bisa lebih dari satu dan mendeklariskan diri sebagai calon dengan argumen yang tampak idealis, yakni memperkuat pelembagaan politik dengan menghadirkan demokrasi internal partai melalui persaingan sehat di kongres. Kandidat di luar SBY dijadikan petarung bayangan yang bergerak dalam plot yang diskenariokan.

Dalam cara pandang teori lawas dramaturgi, Erving Goffman di bukunya, Presentation of Self in Everyday Life (1959), dramaturgi semacam ini berorientasi pada manajemen kesan. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor dituntut mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini, antara lain, memperhitungkan setting, kostum, serta penggunaan kata (dialog) dan tindakan nonverbal lain dengan tujuan meninggalkan kesan baik  di penonton dan memuluskan jalan pencapaian tujuan. Dalam dramaturgi, tujuan hakiki presentasi diri adalah penerimaan penonton saat dimanipulasi.

Ketiga, opsi permainan semi terbuka dengan membiarkan adanya figur lain di luar arus utama untuk bergerak tampil ke muka, tetapi di saat bersamaan ada pengendalian terencana lewat aturan main ataupun rentang kendali organisasi guna membonsai dan membatasi ruang gerak kekuatan potensial di luar faksi SBY. Pengendalian biasanya dilakukan melalui teknik icing device yang menitikberatkan pada sentuhan-sentuhan emosional dan teknik fear erousener yang menekankan pada ancaman, sanksi, ataupun tekanan mental. Dalam konteks Demokrat, misalnya, kini ada Marzuki Alie, I Wayan Gede Pasek Suardika , ataupun sosok lain yang belum tentu bisa dikendalikan sepenuhnya oleh faksi SBY. Dalam konstelasi ini pun, sesungguhnya SBY  masih menjadi figur dominan.

Keempat, model demokratik-partisipan. Caranya dengan membuka keran demokratisasi internal partai secara fair dan terbuka. SBY bisa menjadi pelopor penguatan modernisasi partai politik di tengah memburuknya kualitas partai akibat kuatnya gejala groupthink, feodalisasi, dan personalisasi politik di partai-partai lain. Sekalipun terbuka dan demokratis, peluang SBY menang sesungguhnya tetap lebih besar dari kandidat-kandidat lain mengingat sosoknya masih sangat berpengaruh. Jika opsi ini yang dipilih, tentu SBY akan dianggap mewariskan legacy, baik bagi Demokrat maupun sejarah pengelolaan partai politik di Indonesia.

Kekuatan dominan

Kita tak bisa menutup mata bahwa buruknya kualitas partai politik bermula saat kongres dan pembentukan kepengurusan. Faktor hegemoni kekuatan dominan menjadikan sistem sebagai subordinat dari figur. Kondisi ini melahirkan batas afiliatif yang luar biasa. Dampaknya, oligarki di tubuh parpol seolah-olah menjadi realitas apa adanya.

Pengurus dan warga partai di luar figur utama dan kroninya menjadi kelompok bungkam yang tak berani mengeluarkan wacana ataupun tindakan di luar arus utama yang dikehendaki. Wajar, jika banyak politisi pintar, idealis, dan mumpuni saat masuk dan berinteraksi di dalam sistem partai hanya menambah deretan kader instrumental yang secara sadar larut dalam fantasi kekuasaan figur utamanya.

Logika berdemokrasi melalui pendekatan instrumentalisik menjadikan partai hanya semata-mata instrumen pencapaian kepentingan segelintir elite saja dan abai pada prinsip bonum commune atau mengedepankan kepentingan umum.

SBY memiliki momentum untuk memperbaiki kualitas dan kapasitas kelembagaan Partai Demokrat. Akankah SBY bersedia menjadi pelopor perbaikan ataukah turut serta dalam arus besar hegemoni kekuatan figur?

Ada dua peran signifikan yang bisa dilakukan SBY. Pertama, memastikan Demokrat bukan fans club dan bukan pula dinasti politik. Kedua, mendorong terjadinya penstrukturan adaptif. Dalam terminologi Anthony Giddens, penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial seperti partai diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang berfungsi sebagai perilaku anggotanya. Sistem harus lebih kuat dibandingkan dengan satu atau dua orang figur sehingga organisasi memiliki daya tahan kuat meski pada musim pancaroba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar