Rabu, 13 Mei 2015

Kenaikan Pohon Kebangsaan

Kenaikan Pohon Kebangsaan

Asep Salahudin  ;  Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya;
Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat
KOMPAS, 13 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Naik itu bahasa Arabnya "miraj". Pada Mei 2015, dua agama berbeda yang lahir dari bapak monoteisme yang sama (Ibrahim as) merayakan "Kenaikan Isa Almasih" (14/5) dan "Kenaikan Muhammad SAW" (16/5) menuju langit ketujuh untuk miraj, menembus Sidratul Muntaha.

Tentu dua peristiwa penting itu menjadi bagian dari palung keyakinan setiap umatnya. Lebih dari itu tanggal yang nyaris berdempetan semoga menjadi modal religius untuk satu sama lain saling merajut keakraban, mengintensifkan dialog antaragama bahkan antariman, menuju kohesivitas sosial yang solid dalam konteks kebangsaan yang heterogen.

Ada diksi menarik dalam miraj kenabian yang sangat relevan dengan persoalan kita, yakni "Sidratul Muntaha". Secara semantik Sidrah artinya pohon bidara dan al-Muntaha bermakna puncak. Sebuah kata tentang sosok yang telah mencapai puncak pengalaman spiritual. Hebatnya lagi spiritualisme itu diartikulasikan tidak dengan cara eskapisme berdiam diri di Langit (transendensi), tetapi justru turun ke Bumi manusia (humanisasi), menebar damai kasih kepada semesta. Kata Tuhan dalam sebuah hadis Kudsi-nya "Untuk membuktikan kebenaran miraj, justru engkau harus menyelesaikan sengkarut di Bumi". Atau, "Mereka yang bisa berdamai di Bumi, akan mudah berdamai dengan Langit."

Pohon bidara melambangkan capaian-capaian kearifan sebagai bekal untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Sejarah mencatat,  "pohon" menyimpan riwayat  jejak simbolik  keluhuran budi di berbagai tradisi, agama, dan kebudayaan.

Pohon bodhi

Di sebuah tempat ziarah di  jazirah Kapilavastu,  Nepal, dekat perbatasan India, di bawah pohon suci bodhi,  Sidharta Gautama menemukan pencerahan setelah sebelumnya menanggalkan seluruh nafsu primitif kebendaan dan melucuti kekuasaan yang digenggamnya. Menyingkir ke mihrab sunyi, Nabi Isa menerima wahyu. Musa menyendiri ke Thurisin bermeditasi menyambut  10 perintah Tuhan. Sementara   Muhammad SAW memilih goa Hira sebagai tempat merefleksikan banalitas kemanusiaan yang menimpa umatnya sebelum pada akhirnya diturunkan ayat pertama suruhan agar terampil membaca.

Nabi-nabi itulah kemudian mempromosikan nilai-nilai keutamaan. Disampaikannya risalah ihwal kedamaian agar kehidupan menemukan adabnya, digemakan suara politik yang dijangkarkan di atas haluan kemerdekaan rakyat, ekonomi diserukan supaya dikelola dengan cara-cara benar dan terhadap segenap budaya dungu jahiliah diteriakkan sekeras-kerasnya supaya lekas ditanggalkan agar kemanusiaan menempati harkat yang luhur, relasi sosial diingatkan agar diacukan di atas hamparan etos komunitarianisme.

Tentu tidak mudah mengampanyekan tatanan baru  kepada masyarakat, apalagi elite penguasa terbiasa hidup dalam arahan nafsu. Mereka para pembawa obor pencerahan itu harus berhadapan dengan kekerasan baik simbolik ataupun fisik.

Pada masanya, "suara kenabian" itu dipandang epifani kesesatan yang hanya bikin kacau keadaan. Para pembawa risalah itu dicap sebagai "si gila" kena tenung yang tengah meracuni otak segenap lapisan massa. Diserukan para tiran, agar para nabi ditangkap dengan hukuman yang sudah dipersiapkan: dikriminalisasikan, dibakar, disalib, dibunuh, dan atau diusir dari kampung halaman.

Pohon sukun

Dalam konteks kebangsaan abad ke-20, di Ende, di bawah pohon sukun  (Artocarpus communis)  bercabang lima yang menghadap ke laut, Bung Karno menemukan Pancasila yang digali rohnya dari keluhuran nilai budaya dan keagungan agama. Dari rahim sepenggal Ibu Pertiwi Ende, Pancasila dilahirkan.

Pada 80 tahun silam, di bawah pohon sukun itu pula  Bung Karno sering duduk sendirian. Alam pikirannya tidak pernah berhenti merenungkan  bagaimana bangsa Indonesia bisa lekas keluar dari sekapan penjajah yang telah merampas sumber kekayaan alam dan menistakan martabat kemanusiaan. Sambil tepekur, ia tafakur tentang seluruh gerakan perjuangan yang ditautkan kepada satu cita-cita luhur: rakyat merdeka.

Pancasila inilah yang ditahbiskannya sebagai weltanschauung, sebuah pandangan tentang dunia (world view) dan philosophische grondslag, landasan bernegara dan falsafah hidup berbangsa. Tempat semua anak bangsa menemukan payung bersama, memberikan jaminan bagi keragaman baik agama, etnik atau budaya sebagaimana keyakinan Bung Karno:

"Kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Bukan saja alat pemersatu untuk meletakkan negara RI, melainkan juga kepada hakikatnya satu alat pemersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu imperialisme. Perjuangan suatu bangsa mencapai kemerdekaan, membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara sendiri, mempunyai karakteristik sendiri."

Pancasila itulah yang kemudian diterima   kalangan  ormas Islam bermazhab moderat yang para pendirinya bahu membahu berjuang fisik menghadapi kaum kolonial. Nadlatul Ulama misalnya dengan bulat menerima Pancasila sebagai asas tunggal melalui muktamar 1984 di Situbondo. Muhamadiyah juga menerima Pancasila terutama setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dengan kata lain, keislaman dan keindonesiaan tidak harus diposisikan dalam sebuah hubungan dikotomik, tetapi satu tarikan. Pancasila bukan entitas bipolar dalam hubungannya dengan agama, tetapi satu helaan napas dalam bernegara. Pancasila adalah "titik temu" dari seluruh manusia Indonesia, dalam medan multikulturalisme kewargaan. 

Tentu saja kita tidak menutup mata, pada sebuah penggalan waktu  Pancasila pernah dibajak penguasa Orde Baru sebagai ideologi tertutup. Pancasila dikebiri: hanya berada pada level verbalistik.

Sebatas penataran

Pancasila yang semestinya memberikan pencerahan dilafalkan sebatas penataran, disampaikan lewat indoktrinasi dalam ritus kenegaraan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila berjam-jam, namun tak menghasilkan apa-apa bahkan hancur dihantam krisis ekonomi 1998.

Penyelewengan menjadi kunci kehancuran. Dalam ungkapan Bung Karno pada pidatonya berjudul "Res Publica" di depan Sidang Pleno Konstituante pada 22 April 1959, "Kita bertanya, mengapa kemerosotan, mengapa disintegras itu berjalan terus di semua lapangan di bidang politik, militer dan sosial ekonomi? Jawabnya tak lain ialah karena kita menyeleweng."

Ketika hari ini ada sebagian kalangan ormas Islam yang tidak lagi mempercayai Pancasila, negara harus bertindak tegas menyelesaikannya. Negara tidak boleh absen ketika menyangkut hal-hal yang berkait dengan fundamen berbangsa.  Pancasila yang mandul pada masa Orde Baru tidak boleh menjadi dalih menampiknya.

Pancasila tetap dibutuhkan karena, meminjam  Goenawan Mohamad, "Ia merupakan proses negosiasi terus menerus dari bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa eka, dan tak sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Mahabenar. Kita membutuhkan Pancasila kembali... kita hidup di zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia."

Memperingati kenaikan Isa Almasih dan merenungkan kenaikan Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha dalam konteks kebangsaan adalah mengingatkan kembali bagi setiap kita untuk merawat Pancasila dan memastikan  bahwa kehadirannya sebagai ideologi negara mampu  memupuk pohon kebangsaan semakin kokoh dan berbuah kesejahteraan.  Untuk kembali berbaiat kepada Bung Karno, berjabat tangan melanjutkan kembali cita-cita trisakti dan nawacita yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar