Sabtu, 23 Mei 2015

Kota Pintar Bukan Sekadar Tombol dan Teknologi Tinggi

Kota Pintar

Bukan Sekadar Tombol dan Teknologi Tinggi

Handi Sapta Mukti  ;   Praktisi Manajemen Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
KORAN SINDO, 22 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Smart city atau kota pintar banyak dibahas akhir-akhir ini. Beberapa media dan akademisi berupaya merumuskan kriteria kota pintar dan indeks kota pintar.
Beberapa kota bahkan sudah melaksanakan program kota pintar, sebut saja Bandung dan Bogor di Jawa Barat. Melalui wali kotanya, mereka mencanangkan program kota pintar. Tentu ini hal yang sangat positif dan menggembirakan, khususnya bagi dua warga kota tersebut. Harapan utama masyarakat warga kota saat mereka tinggal di suatu kota adalah rasa bahagia.

Bahagia tentu dalam arti luas yaitu bahagia lahir maupun batin. Bahagia bagi warga kota adalah kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas dan bertempat tinggal. Kenyamanan dalam beraktivitas bisa berupa kemudahan dalam bekerja, belajar, berkomunikasi, bepergian, bermain, berolahraga, dan sebagainya. Kenyamanan dalam bertempat tinggal bersama keluarga bisa berupa waktu yang berkualitas, lingkungan yang bersih, aman dan kenyamanan dalam berinteraksi sosial.

Kota Pintar dan Kota di Indonesia

Jika kenyamanan dan keamanan adalah yang diharapkan oleh warga sebuah kota, apakah hal itu sudah sejalan dengan tujuan program kota pintar? Menurut Suhono Harso, guru besar STEI Institut Teknologi Bandung, tentang kota pintar, ”Teknologi broadband adalah salah satu yang dibutuhkan untuk mewujudkan kota cerdas selain transportasi umum, air, energi, dan lingkungan hidup.

Faktor lainnya adalah kepemimpinan, komitmen, dan peran serta masyarakat, swasta, dan universitas” (Jakarta: 2013). Secara fisik kota pintar didefinisikan sebagai kota yang bukan saja sudah mampu menyediakan, melainkan juga mencukupi kebutuhan warganya akan kebutuhan dasar untuk bertempat tinggal dan beraktivitas.

Mencukupi dalam hal ini tentu saja dalam kondisi di mana warga bisa dengan nyaman menggunakan semua fasilitas dan sarana pendukung sebuah kota, baik air, listrik, transportasi umum, sarana olahraga dan rekreasi, rumah sakit, pasar, perbankan, dan sebagainya. Warga tidak perlu membayar mahal, berebut, berdesakan, apalagi membahayakan untuk memperolehnya.

Lalu, bagaimana kondisi kota- kota besar di Indonesia, apakah sudah memberikan kenyamanan dan keamanan bagi warganya? Coba kita lihat apa yang terjadi di Jakarta sebagai ibu kota yang dapat menjadi barometer dan kiblat dari contoh kota ”modern” di Indonesia.

Di Jakarta, warga membutuhkan waktu dua hingga tiga jam untuk tiba di kantor, mereka berdesak-desakan di kendaraan umum, berjibaku dengan pencopet dan bagi yang menggunakan kendaraan sendiri harus bersiap-siap terjebak dalam kemacetan panjang dan menghadapi begal jalanan.

Pejalan kaki pun harus ekstrahati-hati karena banyak trotoar dipergunakan untuk berjualan, tempat parkir, bahkan menjadi ”jalan alternatif” bagi para pengendara sepeda motor. Setiap hari warga menghamburkan energi dengan sia-sia di jalan, membuang waktu produktif mereka, sehingga menyisakan sedikit energi untuk berkarya di tempat kerja dan stres saat kembali ke rumah.

Keadaan tersebut mengakibatkan berkurangnya produktivitas, kualitas interaksi dalam keluarga dan sosial, menumbuhkan sifat egois, dan merenggangnya hubungan anak dan orang tua. Belum lagi kita bicara fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Apakah sebuah kota dengan kondisi warganya yang demikian tersebut dapat dikatakan sebagai kota pintar?

Kalau bukan kota pintar, lalu apa namanya, bisa jadi kota tidak pintar, kurang pintar, atau kota bodoh. Jika sebuah kota dikatakan bodoh, apakah warganya juga bodoh? Mungkin saja tidak. Tetapi, paling tidak mereka hidup dalam kebodohan karena mereka hidup di kota bodoh dan memang demikianlah faktanya. Jika suatu kota bodoh, siapa yang membuat bodoh, warganya atau pemimpinnya?

Atau, kedua-duanya.? Yang jelas pemimpinlah yang paling bertanggung jawab karena di tangan pemimpin seharusnya kendali itu dipegang, bukan di tangan masyarakat atau warga. Pemimpin yang harus mampu mengendalikan program dan arah pembangunan sebuah kota menjadi kota pintar, yaitu kota yang mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi warganya serta siapa pun yang berkunjung ke kota tersebut.

Tertinggal 20 Tahun di Belakang

Pada sekitar 1990, saat saya untuk pertama kalinya berkunjung ke Singapura, saya sudah bisa merasakan kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas di kota itu. Saya bisa menggunakan transportasi umum yang mereka sebut mass rapid transit (MRT) untuk melakukan berbagai aktivitas di sana.

Petunjuknya sangat mudah dan jelas, demikian juga pengaturan arah dan rutenya yang mereka bagi dalam dua jalur, merah dan biru. Keretanya pun sangat bersih dan nyaman. Semua sangat memudahkan, bahkan bagi saya yang saat itu baru pertama kali berkunjung ke kota tersebut. Berjalan kaki di kota ini pun terasa sangat nyaman, trotoar untuk pejalan kaki selalu tersedia tanpa diganggu oleh kehadiran pedagang atau kendaraan yang parkir di sembarang tempat.

Berjalan kaki di malam hari pun terasa tidak menakutkan, penerangan jalan cukup tersedia di semua sudut kota. Keadaan tersebut tidak berubah dari tahun ke tahun dalam kunjungan saya berikutnya, malah semakin baik. Bangkok pada awal 2000-an juga sudah memiliki semacam MRT dan keadaan lalu lintas mereka yang sebelumnya termasuk parah di Asia sudah mengalami kemajuan yang nyata walaupun mereka masih belum bisa terbebas dari masalah banjir.

Demikian pula halnya dengan Kuala Lumpur. Walaupun tidak sebaik Singapura, kondisi di sana masih jauh lebih baik dari Jakarta. Jadi jika dibandingkan dengan kota-kota ASEAN terdekat, kondisi Kota Jakarta masih sangat jauh di bawah mereka dan itu sudah mereka capai pada era 10-20 tahun yang silam, sementara Jakarta hingga detik ini masih bergumul dengan berbagai masalah infrastruktur dasar perkotaan, kemacetan yang semakin parah, dan banjir yang tidak berkesudahan.

Program kota pintar memang sangat dibutuhkan, paling tidak gaung kota pintar menyadarkan kita bahwa selama ini kita hidup dalam kebodohan karena sebagian besar kota di Indonesia masih kurang pintar hingga menjerumuskan warganya hidup dalam kebodohan. Kita tentu sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Wali Kota Bandung dan Bogor dengan mencanangkan program kota pintar di wilayahnya.

Namun, yang perlu dicermati adalah kriteria kota pintar jangan sampai melupakan prinsip dasar dan tujuan dari sebuah kota bagi warganya. Ray M Northam (1979), ahli perkotaan dari Amerika Serikat (AS), menyampaikan ada tujuh hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam melakukan perencanaan sebuah kota yaitu: 1) populasi; 2) perumahan; 3) ekonomi; 4) penggunaan lahan; 5) transportasi; 6) ruang terbuka dan rekreasi; dan 7) fasilitas pemerintahan dan komunitas.

Kota pintar bukan sekadar menghadirkan teknologi tinggi ke kota seperti jaringan nirkabel (Wi-Fi ), teknologi pita lebar (broadband ), kamera dan alat pengamat jarak jauh (remote CCTV/ sensor kamera), itu hanyalah alat bantu dan fasilitas pendukung. Hal yang lebih fundamental untuk terbentuknya kota pintar adalah ketersediaan dan kecukupan infrastruktur, terutama infrastruktur dasar, seperti yang disampaikan Ray di atas.

Membangun kota pintar dengan hanya menghadirkan teknologi tinggi ibarat membangun sebuah bangunan bertingkat yang canggih, namun tidak memiliki fondasi yang kuat, akan sia-sia dan kurang bermanfaat. Kota pintar bukan sekadar menghadirkan layar monitor dan tombol-tombol di ruang pimpinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar