Kamis, 07 Mei 2015

Jokowi di Antara Dua Arus Sejarah

Jokowi di Antara Dua Arus Sejarah

Abdul Malik Gismar  ;  Associate Director Paramadina Graduate School
JAWA POS, 05 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

APA yang membedakan bangsa yang berhasil dari yang gagal dalam membangun dan menyejahterakan diri? Daron Acemoglu dan James A. Robinson menjawab pertanyaan besar itu melalui studi komparatif-historis mengenai bangsa-bangsa di dunia. Dalam buku Why Nations Fail, mereka mengurai jawabannya, yang intinya adalah institusi, institusi, institusi –suatu bangsa berhasil atau gagal bukan karena letak geografis ataupun budayanya, melainkan institusi politik dan ekonomi yang mereka bangun.

Bangsa-bangsa yang berhasil ditandai oleh adanya institusi politik yang inklusif; yang mendistribusikan kekuasaan secara luas (tidak pada segelintir elite atau oligarki) dan membatasi kemungkinan kekuasaan tersebut digunakan secara semena-mena. Mereka berhasil membangun rule of law yang sesungguhnya, bukan sekadar rule by law –di mana hukum bisa diinterpretasikan dan digunakan semaunya oleh pemegang kuasa.

Bermula dari institusi politik yang inklusif, muncul virtuous circle yang mengantar suatu bangsa menuju kesejahteraan. Institusi politik yang inklusif mendukung tumbuhnya institusi ekonomi yang inklusif pula –di mana kesempatan berusaha terbuka lebar dan talenta-talenta bangsa dapat berkembang optimal. Hal itu membawa ke distribusi pendapatan yang lebih merata, memberdayakan segmen populasi yang semakin luas, dan –oleh karenanya– membuat arena kontestasi politik semakin rata.

Sebaliknya, bangsa-bangsa yang terpuruk dan gagal didominasi oleh institusi politik ekstraktif yang mendistribusikan kekuasaan politik hanya di tangan segelintir elite dan tak membatasi penggunaan kekuasaan tersebut secara berarti. Dari sinilah, bermula vicious circle yang meluluhlantakkan bangsa-bangsa tersebut. Segelintir elite politik mendiktekan bangunan institusi ekonomi yang ekstraktif tanpa menemui banyak tentangan. Pada gilirannya, institusi ekonomi yang ekstraktif memperkaya elite tersebut. Juga, dengan kekuatan ekonomi itu, mereka semakin mengonsolidasikan dominasi politik. Di tengah lingkaran setan itu, kepentingan rakyat menjadi korban dan bangsa pun terpuruk.

Dua Arus Sejarah

Bagaimana Indonesia kini? Reformasi 1998 melahirkan semangat etis untuk membangun institusi politik yang inklusif, akuntabel, dan efektif. Namun, praktik dan kebiasaan Orde Baru yang ekstraktif dan tidak akuntabel masih tersisa. Sampai hari ini, Indonesia berada dalam benturan antara semangat etis untuk membangun institusi inklusif versus upaya mempertahankan institusi ekstraktif. Dua kekuatan yang berlawanan itu hadir di semua cabang kekuasaan negara, partai politik, serta pusat-pusat konsentrasi kekuasaan lainnya. Realitas sosial, politik, legal, dan tata pemerintahan Indonesia hari ini merupakan produk dari benturan dua kekuatan itu di seluruh lini institusi demokrasi. Itulah dua arus sejarah yang sedang berbenturan untuk menentukan ke mana Indonesia akan menuju: sebagai bangsa yang berhasil atau bangsa yang terpuruk.

Maka, kita saksikanlah kontradiksi-kontradiksi antara legislasi dan kebijakan politik, antara kebijakan politik dan implementasinya, antara satu institusi dan institusi lain, antara interpretasi hukum yang satu dan yang lain, antara presiden dan partai pendukungnya, juga seterusnya. Perseteruan antara KPK dan Polri hanyalah salah satu rangkaian dari benturan arus besar. ”Mafia” di berbagai sektor ekonomi, karut-marut perencanaan pembangunan daerah, dan fenomena shadow state (pembuatan kebijakan oleh kubu oligarki di luar koridor-koridor resmi negara) adalah indikasi lain dari betapa ekonomi dibangun di atas dasar politik yang ekstraktif.

Dalam kehidupan sehari-hari, akibat dari persoalan institusional tersebut sangat nyata, sebagaimana terindikasi dari fakta-fakta berikut. Bank Dunia menempatkan Indonesia pada urutan ke-16 dunia dalam besaran ekonomi, namun pendapatan per kapita berada pada peringkat ke-106. Rilis-rilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan bahwa persoalan ketidakmerataan semakin serius. Indeks koefisien Gini (yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan) pada 2013 adalah 0,41 (tertinggi sejak krisis ekonomi 1998). Di Indonesia, masih banyak orang miskin, namun laju pengurangan kemiskinan sejak 2010 melambat. Sebanyak 40 persen penduduk Indonesia rentan terhadap kejutan-kejutan ekonomi yang setiap saat dapat menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan. Talenta-talenta bangsa juga masih berguguran dan, secara harfiah, berserakan di jalan. Sebab, di tingkat pendidikan menengah sistem pendidikan nasional, kita masih menjadi pabrik putus sekolah yang sangat produktif. Fakta-fakta itu jelas bukan indikasi dari bangsa yang sedang menyongsong keberhasilan.

Posisi Presiden Jokowi

Bukan kebetulan bahwa benturan dua arus itu muncul di permukaan secara sangat terbuka segera setelah Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden. Jokowi lahir dari semangat etis reformasi. Bahkan, lebih dari itu, bagi banyak orang, dia adalah personifikasi dari semangat tersebut. Karena itu, pendukung Jokowi bukan pendukung partisan, melainkan pendukung berprinsip (principled voters) yang memilihnya karena pertimbangan etis dan percaya bahwa Jokowi dapat merealisasikan institusi yang inklusif, akuntabel, serta efektif. Selain bukan ”orang dalam” partai, karir pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa dirinya seorang reformis.

Hal-hal tersebut membuat Jokowi secara diametral berhadap-hadapan dengan arus counter-reform di relung-relung kekuasaan yang mengelilinginya. Dalam berbagai kontradiksi institusional yang berkembang, sesungguhnya tidak ada posisi netral bagi Presiden Jokowi. Sebab, persoalannya bukan sekadar prosedur, komunikasi, koordinasi, atau sinergi antarinstitusi trias politika, melainkan pertentangan fundamental antara dua arus; antara reform dan counter-reform. Di mata rakyat yang memilihnya, Presiden Jokowi seyogianya berada di posisi terdepan barisan reformis dalam membangun institusi yang inklusif, akuntabel, dan efektif. Itulah alasan keberadaannya (raison d’etre) sebagai presiden Republik Indonesia; dan inilah harapan rakyat hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar