Jumat, 15 Mei 2015

Jaminan Pensiun

Jaminan Pensiun

Timboel Siregar  ;  Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia; Koordinator Advokasi BPJS Watch
KOMPAS, 15 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Disahkannya UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, melegitimasi kehadiran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian, sementara BPJS Kesehatan hanya mengelola Jaminan Kesehatan.

Kehadiran JP sebagai program wajib bagi semua pekerja diharapkan menjadi instrumen perlindungan riil bagi pekerja ketika memasuki masa pensiun, sesuai amanat Pasal 39 Ayat (2) UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menyatakan, "Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap".

JP yang diselenggarakan berdasarkan Manfaat Pasti ini (menerima upah pensiun bulanan) tentunya akan mendukung daya beli pekerja dan keluarganya pasca pensiun. Selama ini pensiun merupakan program sukarela sehingga baru sekitar 200 perusahaan saja yang sudah mengikutsertakan pekerjanya pada program pensiun. Namun, per 1 Juli 2015 JP sudah menjadi program wajib bagi pekerja di Indonesia, sesuai amanat Pasal 64 UU BPJS.

Menunggu peraturan pemerintah

Tentunya implementasi amanat Pasal 64 UU BPJS sangat bergantung pada kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) JP. Tenggat 1 Juli 2015 tinggal satu setengah bulan, tetapi hingga saat ini PP JP belum kunjung ditandatangani Presiden Joko Widodo. Mengacu pada Pasal 70 UU BPJS, PP JP seharusnya sudah hadir November 2013.

Mengapa hingga saat ini PP JP belum kunjung ada? Belum selesainya PP JP tidak lepas dari perdebatan ketiga aktor hubungan industrial, yaitu pemerintah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) mengenai iuran dan manfaat JP. Kalangan SP/SB berargumen, untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pensiun nanti, maka iuran awal JP adalah 15 persen (pemberi kerja 10 persen dan pekerja 5 persen), sementara Apindo mengusulkan 3 persen (pemberi kerja 2 persen dan pekerja 1 persen) karena iuran JP meningkatkan ongkos buruh (labor cost). Sementara pemerintah mengusulkan 8 persen (pemberi kerja 5 persen dan pekerja 3 persen).

Penulis berpendapat, iuran 8 persen sebagai iuran awal sebaiknya diterima semua pihak. Angka 8 persen bukanlah penentuan sepihak dari Kementerian Tenaga Kerja seperti dituduhkan Juliaman W Saragih dalam tulisan opini yang berjudul "Perburuan Rente BPJS Naker" (Kompas, 6/5/2015). Angka 8 persen merupakan rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) setelah dikaji.

Merujuk pada Pasal 7 Ayat (3a) UU SJSN, institusi DJSN diberi tugas mengkaji dan meneliti penyelenggaraan JP, termasuk mengkaji manfaat dan iuran JP. Penulis meyakini, rekomendasi DJSN itu juga telah disetujui dua orang perwakilan Apindo dan dua orang perwakilan SP/SB yang duduk menjadi anggota DJSN, sehingga keberatan Apindo dan SP/SB terhadap 8 persen seharusnya tidak perlu terjadi. Iuran awal 8 persen sudah rasional dengan kondisi ekonomi saat ini. Negara Trinidad-Tobago saja, yang tidak masuk G-20, besaran iuran JP-nya sudah 8,4 persen (pemberi kerja 5,6 persen dan pekerja 2,8 persen).

Menurut kajian DJSN, Manfaat Pasti yang akan diterima pekerja pada saat pensiun dengan masa iur 15 tahun dan iuran 8 persen adalah 22,5 persen dari rata-rata upah, dan apabila masa iur 20 tahun, Manfaat Pasti yang akan diterima adalah 34 persen dari rata-rata upah. Jika iuran JP dimulai dengan 3 persen, maka akan sangat sulit bagi pekerja yang memasuki masa pensiun untuk hidup layak nantinya.

Kalangan SP/SB seharusnya tidak perlu khawatir dengan angka 8 persen tersebut karena Pasal 39 Draf RPP Jaminan Pensiun (draf terakhir) menyatakan bahwa besarnya iuran, baik iuran peserta maupun iuran pemberi kerja, ditinjau secara periodik paling lama lima tahun berdasarkan antara lain demografi, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan usia harapan hidup. Ini artinya, iuran akan ditingkatkan secara periodik dan peningkatan iuran ini akan menambah manfaat pada saat pensiun nanti.

Manfaat Jaminan Pensiun

Kehadiran JP bukan hanya bermanfaat bagi pekerja, melainkan juga bermanfaat untuk pemerintah dan pemberi kerja. JP akan mampu memperbaiki hubungan industrial di tempat kerja, produktivitas  dan ketenangan berusaha, serta iklim investasi di Indonesia. Dari sisi anggaran tahunan perusahaan, pemberi kerja tidak perlu lagi khawatir mengeluarkan biaya yang besar untuk memenuhi Pasal 167 UU Ketenagakerjaan ketika pekerja pensiun karena pekerja sudah ditanggung pensiunnya oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ini artinya, JP bisa menurunkan-baik kualitas maupun kuantitas-perselisihan hubungan industrial di tempat kerja.

Bagi pemerintah, kehadiran JP merupakan peluang bangsa ini untuk mempunyai institusi dengan kemampuan mengakumulasi dana besar. Iuran JP dan JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan dapat digunakan untuk membantu pembiayaan pembangunan negeri ini.

Jika Employees' Provident Fund  (EPF) di Malaysia dan Central Provident Fund  (CPF) di Singapura mampu menopang kemandirian pembangunan di negaranya, sudah seharusnya BPJS Ketenagakerjaan juga dapat melakukan hal serupa sehingga Indonesia mampu mandiri dalam membangun. Pendapatan bulanan yang diterima peserta JP ketika memasuki masa pensiun berpotensi membantu pemerintah mengurangi angka kemiskinan bagi usia lanjut dan tentunya membantu pemerintah mencapai MDG. 

Dalam mengelola dana jaminan sosial, tentunya BPJS Ketenagakerjaan yang berbadan hukum publik harus mematuhi prinsip-prinsip jaminan sosial, yaitu kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta (Pasal 4 UU BPJS). Hasil pengembangan dana jaminan sosial tersebut harus dikembalikan kepada pekerja. Program pembangunan rumah buruh, program Return to Work, dan pemberian beasiswa bagi anak pekerja merupakan beberapa contoh pelaksanaan prinsip terakhir di atas. Jadi, jika ada tuduhan terhadap BPJS Ketenagakerjaan melakukan perburuan rente, hal tersebut tidak mendasar.

Memang kehadiran JP akan membingungkan pemberi kerja yang sudah mengikutsertakan pekerjanya di Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Tentunya pemberi kerja tidak mau membayar dua kali untuk program yang sama. Pemerintah harus memberikan pengecualian bagi pemberi kerja tersebut dalam PP JP, dengan catatan program di DPPK atau DPLK sudah lebih baik dari sisi iuran maupun manfaat (harus Manfaat Pasti) dibandingkan dengan JP yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Aturan pengecualian ini juga memastikan perusahaan-perusahaan DPPK dan DPLK tidak akan gulung tikar.

Jaminan Pensiun adalah hak semua pekerja, termasuk pekerja informal dan pekerja migran. Memang pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah untuk mengakomodasi pekerja informal dan pekerja migran dalam program JP ini. Penulis mendesak pemerintah membuka peluang bagi pekerja informal untuk menjadi peserta JP di PP JP.

Untuk pekerja migran, revisi UU No 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI merupakan pintu masuk bagi pekerja migran untuk mendapatkan JP. Semoga DPR dan pemerintah mau mensyaratkan JP bagi buruh migran dalam revisi UU No 39 Tahun 2004, yang saat ini sedang dibahas di DPR.

Impian masa depan pekerja Indonesia tentang JP masih ada di tangan Presiden Joko Widodo saat ini. Semoga Presiden Joko Widodo segera menandatangani PP JP pada Mei ini dengan iuran awal 8 persen, sehingga pemerintah mempunyai waktu cukup untuk menyosialisasikan PP JP tersebut kepada semua pemberi kerja dan pekerja, dan tentunya  Presiden tetap memperhatikan pekerja informal dan pekerja migran untuk bisa menjadi peserta JP di BPJS Ketenagakerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar