Jumat, 01 Mei 2015

Hijrah Politik Warisan H.O.S. Tjokroaminoto

Hijrah Politik Warisan H.O.S. Tjokroaminoto

Anna Luthfie  ;  Ketua DPP Partai Perindo
JAWA POS, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Setinggi-tingginya ilmu, sepandai-pandainya siasat, dan semurni-murninya tauhid.”

Kalimat yang diungkapkan H.O.S. Tjokroaminoto di atas rasanya cukup relevan untuk menjadi refleksi bagi upaya membangun peradaban politik di negeri ini yang kian hari cenderung rapuh, layu, dan miskin gagasan serta cita-cita besar. Gagasan besar Tjokro soal hijrah yang dimaknai sebagai semangat untuk berubah –dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik– layak menjadi refleksi seberapa jauh bangsa ini diletakkan dan dibangun.

Tjokro berjuang dengan membangun organisasi Sarekat Islam pada awal 1900-an, organisasi bumiputra pertama yang terbesar, sehingga bisa mencapai 2 juta anggota. Organisasi itu dibentuk untuk menyamakan hak dan martabat warga bumiputra yang terkooptasi oleh imperialisme. Perjuangan tersebut menjadi embrio perjuangan bagi tokoh-tokoh pergerakan bangsa lainnya (Soekarno, Agus Salim, Semaun, Kartosuwiryo, dan lain-lain).

Tjokro adalah seorang intelektual, pandai bersiasat, penulis surat kabar yang kritis, serta orator ulung yang mampu menyihir ribuan orang dari mimbar pidato. Soekarno pun mengakui, Tjokro adalah inspirasinya dalam hal berorasi dan membakar semangat rakyat. Orasi-orasi Tjokro meresahkan pemerintah Hindia Belanda dan membuat mereka bertindak untuk menghambat laju gerak Sarekat Islam yang pesat. Tjokro berjuang lewat organisasi Sarekat Islam untuk memberikan penyadaran masyarakat dan mengangkat harkat serta martabat secara bersamaan. Meskipun dalam perjalanan waktu kemudian mengalami perpecahan di internal organisasi terkait perbedaan cara pandang dan strategi gerakan.

Banyak hal yang bisa kita petik dari gagasan-gagasan Tjokro yang begitu sangat relevan untuk menguatkan modal sosial bangsa ini. Pertama, Tjokro mewariskan kepada bangsa ini ideologi perubahan. Semangatnya untuk membawa bangsanya ke arah yang lebih baik, dari kondisi imperialisme menuju kebebasan untuk menikmati kekayaan negeri sendiri, adalah gagasan relevan bagi bangsa ini yang tengah dilanda krisis kemandirian.

Kenegarawanan

Pelajaran kedua yang bisa kita petik dari gagasan-gagasan besar Tjokro adalah sikap kenegarawanannya. Tjokro lebih mementingkan kepentingan bangsanya, rakyatnya, daripada kepentingan pribadi dan keluarganya. Tjokro juga menjadi figur yang menempatkan bagaimana keutamaan dan kemaslahatan bangsa ini berdiri di atas segala-galanya. Melebihi apa yang dia sendiri inginkan sebagai seorang aktivis, pejuang, dan tentu saja sebagai elite Jawa pertama yang mengenyam pendidikan Eropa. Sebagai seorang tokoh pertama yang mampu membangun sebuah organisasi kemasyarakatan dengan jumlah anggota melebihi 2 juta lebih, tentu di atas kertas Tjokro sudah memiliki investasi politik tersendiri bagi dirinya untuk memetik buah kenikmatan di panggung kekuasaan. Namun, Tjokro tidak melakukan itu.

Gagasan-gagasan besarnya dilandasi kegelisahan dirinya untuk mengangkat harkat dan martabat bangsanya yang direndahkan imperialisme. Semangatnya ini mengalahkan ambisi politiknya. Jangan dibayangkan kemudian Tjokro merengkuh semua keuntungan politik atas apa yang dia bangun melalui Sarekat Islam yang turut membesarkan namanya seantero Nusantara. Tjokro justru berbagi, melakukan diseminasi gagasan kepada semuanya, termasuk kepada tokoh-tokoh yang kemudian menghiasi jagat sejarah bangsa ini. Seperti Soekarno, Semaun, Muso, dan Agus Salim.

Kenegarawanan Tjokro juga diuji dengan pertentangannya dengan anak didiknya atas gagasan-gagasan yang dibangunnya. Sejumlah anak didiknya seperti Semaun dan Muso memilih strategi politik yang berbeda dengan dirinya. Namun, Tjokro tidak memandangnya sebagai sebuah bencana. Tjokro sadar itu tidak lepas dari buah didikannya agar setiap orang merdeka, bebas, dan dengan tanpa tekanan memiliki pikiran serta pemahaman yang berbeda. Perbedaan adalah rahmat, bukan azab.

Loyalitas Tjokro pada gagasannyalah yang membuat dirinya harus menepi, sunyi, namun tetap dalam derajat gagasan yang tinggi meskipun jauh dari panggung kekuasaan di akhir hayatnya. Sosok itu pun kemudian dikenal sebagai raja tanpa mahkota. Pemimpin tanpa kekuasaan. Sifat kenegarawanan itulah yang layak menjadi benih yang disebarkan di bumi Nusantara sebagai sinyal penanda bahwa kekuasaan bukanlah tujuan, kekuasaan politik hanyalah sarana dan alat untuk mencapai tujuan, yakni kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat.

Semangat tersebut perlu dinyalakan kembali ketika kita melihat mulai padamnya kecintaan kita kepada rakyat kecil, perhatian kita pada kepentingan publik, dan penghormatan kita pada jejak sejarah bagaimana pendahulu dan pemimpin republik ini berjuang hanya untuk kemaslahatan bersama. Bukan untuk dirinya maupun kelompok.

Hijrah Politik

Dua pelajaran penting dari Tjokroaminoto, yakni tentang ideologi perubahan dan kenegarawanan, menjadi catatan penting sebagai modal bangsa ini untuk melakukan hijrah politik. Hal itu tidak lepas dari sepanjang 15 tahun terakhir agenda reformasi berjalan, yang tanpa diduga terjadi adalah lahirnya liberalisasi politik sekaligus liberalisasi ekonomi. Ini menjadi potret bahwa gerakan perubahan 1998 masih belum tuntas untuk mendekatkan kembali jarak antara elite dan rakyat. Membuka mata hati elite untuk kepentingan rakyat sekaligus menguatkan kembali jalinan kebangsaan kita yang kadang mudah terkoyak karena kepentingan politik sesaat.

Demokrasi dibangun harus dengan ilmu, bukan semata semangat an sich. Bangsa juga harus berpedoman pada nilai, bukan semata pada jejak sejarahnya. Politik atau siasat juga menjadi instrumen untuk mengantarkan bangsa ini ke halaman perubahan. Maka menjadi penting bagi bangsa ini kembali merenungkan ungkapan Tjokro di atas, setinggi-tingginya ilmu, sepandai-pandainya siasat, dan semurni-murninya tauhid, sebagai nilai perubahan yang mampu menjadi modal bagi bangsa ini untuk berubah.

Itulah nilai-nilai hijrah yang ditanamkan Tjokro kepada kita. ”Gus, sudah sampai ke mana hijrah kita?” tanya Tjokro kepada Agus Salim, rekan seperjuangannya di Sarekat Islam. Pertanyaan Tjokro itulah yang semestinya kita jawab bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar