Mudik, antara Kebutuhan dan Keinginan
Sumbo Tinarbuko ;
Pemerhati Budaya Visual;
Dosen Komunikasi Visual FSR ISI
Yogyakarta
|
KOMPAS, 30 Juni 2016
Kapan mudik? Mudik
naik apa? Itulah pertanyaan klasik yang muncul jelang Lebaran awal Juli. Pertanyaan
tahunan yang dimunculkan sesama
"mudiker" ini selalu dikumandangkan lewat media sosial atau
langsung diucapkan secara gethok tular. Mereka saling berkomunikasi untuk
agenda sakral bertajuk mudik bersama menuju kampung halaman tercinta.
Ritual mudik selalu
diawali dan diakhiri dengan bersusah payah. Untuk mewujudkannya pun harus
diperjuangkan dengan berdarah-darah. Bahkan, nyawa pun rela menjadi
taruhannya. Meski menanggung risiko besar, irama ritual mudik selalu berputar
kencang untuk menyedot para pengembara
dan perantau setia.
Kencangnya perputaran
itu dimaksudkan agar menyegarkan energi yang kerontang akibat digilas mesin
waktu kehidupan. Sebuah mesin raksasa yang menjadikan manusia perantau
sebagai roh industri kehidupan. Pada titik ini, industri kehidupan
diposisikan sebagai mesin kecil yang
berputar riuh guna "memproduksi" uang. Sebuah industri kehidupan
yang mensyaratkan produksi massal dengan target untung bergunung-gunung.
Kebutuhan mudik
Dalam konteks
kebutuhan mudik, perayaan Idul Fitri menjadi magnet besar. Ia dimitoskan
mampu membangunkan adrenalin rasa kangen manusia perantau pada orangtuanya,
sanak saudara, sahabat, dan kerabat di lingkungan asalnya.
Harus diakui, mudik
senantiasa menyembulkan getaran
romantisisme tiada tara. Getaran natural bersifat alamiah yang secara kodrati
harus dipenuhi dengan derajat kewajaran. Hal itu diekspresikan dalam wujud
silaturahim bernuansa kehangatan. Cirinya, lelaku saling bermaafan. Ritual
klasik yang direpresentasikan lewat prosesi menggenggam tangan merupakan obat
penawar rindu. Ia hadir sebagai medium mencari jejak sang fitri. Bersumber
dari tanah leluhur ibu pertiwi. Ritual mudik dalam konteks kebutuhan mudik
mensyaratkan pertemuan fisik antara sang pemudik dan orang udik. Transfer
energi positif antara pemudik dan sang
udik, yang menjadi penjuru inti hidup dan kehidupannya, tidak dapat
tergantikan oleh apa pun.
Nafsu keinginan
Semua sepakat,
fenomena mudik nan fitri sulit ditemukan di jagat perantauan. Tetapi, ketika ritual mudik nan fitri diformat
dalam konteks keinginan, maka para "mudiker" otomatis masuk dalam
perangkap "jebakan batman".
Mereka terjebak gaya hidup budaya konsumtif yang tampil secara
artifisial. Semuanya ditimbang lewat takaran uang yang ada di genggamannya.
Dengan demikian,
ritual mudik semula mengusung gerbong silaturahim hakiki, sekarang
terkontaminasi nafsu keinginan. Dahsyatnya, mereka rela menjadi pemuja gurita
kapitalisme global berbentuk budaya
konsumtif. Secara halus dan rapi, nafsu keinginan tersebut dengan cerdas
dikelola serta diejawantahkan sang gurita kapitalisme global. Lewat rayuannya
yang gurih, mereka mampu menelikung
para "mudiker" untuk memformat dirinya menjadi bangsa
konsumen. Bangsa yang patuh membeli
apa pun yang diperintahkan sang gurita kapitalisme global tersebut.
Salahkah mereka? Atas
nama hak asasi manusia, tentu pilihan mengedepankan nafsu keinginan 1.000
persen tak salah. Sebab, secara psikologis, seseorang yang pamit merantau
untuk mengubah garis hidupnya dituntut mempertanggungjawabkan niatan dan
cita-citanya tersebut. Ketika para "mudiker" pulang ke kampung
halamannya, pada saat itulah mereka sedang melaporkan status sosialnya
sebagai perantau yang "berhasil". Karena sebagian besar
"mudiker" bekerja di rantau, wujud pembuktiannya dalam konteks
nafsu keinginan adalah laporan dalam bentuk pameran harta benda yang diperolehnya saat banting
tulang di perantauan.
Semua itu dilakukan
untuk menunjukkan jati dirinya sebagai manusia bergaya hidup modern yang berhasil menguasai dunia. Demi
melengkapi pertunjukan sebagai perantau yang "berhasil", mereka
senantiasa membeli apa pun yang ditawarkan produsen jaringan kapitalisme
global. Semua itu dilakukan demi memuaskan nafsu keinginan untuk dilaporkan
kepada orangtua dan sanak kerabat mereka di udik.
Semua itu dilakukan
demi sebuah pengakuan diri. Sang "mudiker" terlihat sangat puas
ketika orangtua, sanak saudara, dan tetangga di udik memberikan predikat pada
dirinya sebagai orang yang sukses. Atas predikat dan pengakuan tersebut, sang
"mudiker" secara tidak langsung menjadi tolok ukur kesuksesan
seseorang. Di balik itu, dalam konteks mengejar nafsu keinginan bergaya hidup
modern, sang "mudiker" sekaligus berperan sebagai agen kapitalisme
global yang bersifat permisif, artifisial, dan konsumtif.
Hidup sederhana
Perlahan tetapi pasti,
para "mudiker" agen kapitalisme global akan mengubah desa menjadi
kota. Kearifan lokal menghilang. Lokalitas keberagaman melayang. Semuanya
tampil seragam di bawah kuasa trendsetter. Yang diakui hebat harus berbau
modern. Bercita rasa kota. Sementara yang udik dianggap ndesa. Harus digempur dan didekonstruksi oleh
nafsu keinginan beraroma kota.
Haruskah demikian?
Yang jelas harus dihindari adalah upaya untuk mengarahkan seluruh energi
kemanusiaan demi memberhalakan materi. Momentum mudik sejatinya mengingatkan
akan ajaran nenek moyang. Mengisi hidup dan kehidupan ini ibaratnya mampir
ngombe. Durasi hidup di jagat raya ini hanya sesaat. Untuk itu, agar
diperoleh keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, kita harus
senantiasa belajar menjalani hidup dan kehidupan ini dengan penuh
kesederhanaan. Berlaku bijaksana dalam kondisi apa pun dan untuk siapa pun. Semua itu
dilakukan dengan belajar tanpa henti untuk menyelaraskan akal pikiran dan
nalar perasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar