Senin, 04 Juli 2016

Kabar dari Bangkok

Kabar dari Bangkok

Bre Redana ;   Penulis Kolom UDAR RASA Kompas Minggu
                                                         KOMPAS, 03 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada kabar apa dari Jakarta, ini pertanyaan teman-teman Indonesia yang bekerja di Bangkok, setiap kali saya mengunjungi kota itu. Terdiri dari para profesional, ada yang bekerja di hotel, perusahaan asing, bergerak di dunia properti dan lain-lain, mereka mengakrabi tempat-tempat santai di Bangkok, klub-klub eksklusif, restoran-restoran dan kafe-kafe yang tengah populer. Pendeknya, mereka sangat "gaul".

Apa yang harus saya ceritakan pada kalian, kata saya. Di tengah derasnya arus informasi media sosial, terlebih bagi kalian yang teknologi dan aplikasi-aplikasinya untuk urusan informasi selalu gres, apa yang tidak kalian ketahui? Dalam beberapa hal saya lebih katrok dibanding sebagian besar orang.

Penjual makanan yang nangis-nangis terkena razia; alat pendeteksi gempa yang dicuri penduduk; pasangan saleh pembikin vaksin palsu; oknum DPR yang meminta konsulat jenderal di luar negeri memfasilitasi anaknya; soal PKI yang tiada habis-habis; tak ada yang mereka tidak ikuti. Semua kabar dari Tanah Air mereka tangkap-dan terbawa sifat media di zaman ini-segera semua terlupakan.

Begitulah sifat informasi pada era digital. Ingatan manusia kian pendek, sependek dan sesumir informasi yang beredar di dunia maya.

Begitu pun cara orang beropini dan mengekspresikan diri. Dulu orang menulis babad, buku dari Odyssey sampai La Galigo dan Mahabharata, melakukan penelitian, membeberkan dalam jurnal ilmiah, terus kian pendek sesuai perkembangan media menjadi artikel ilmiah populer. Lahir para intelektual empat halaman.

Lalu masuk dunia digital. Perkembangan media digital membawa konsekuensi lain lagi. Dia bukan hanya memampatkan tulisan, tapi juga mengubah sistem respons saraf. Tulisan berupa huruf yang tercetak di kertas bermigrasi ke piksel. Linearitas dunia buku diganti pola pembacaan hiper-teks. Yang terbongkar dan ambrol kemudian bukan hanya linearitas itu, tetapi juga kebiasaan kita dalam membaca buku seperti ketenangan, konsentrasi, perhatian terhadap koherensi, serta aktivasi logika dan rasionalitas. Yang masih hidup dalam pola itu dianggap lelet, tidak catch up dengan perubahan zaman.

Di luar keunggulannya dalam kecepatan, media digital sejatinya juga mengakibatkan distraksi pada otak dalam hal kecakapan otak untuk menginterpretasi teks maupun informasi. Orang menjadi cenderung menelan apa saja. Yang lebih disentuh oleh media tersebut adalah emosi, motivasi, kepercayaan, dan sejenisnya. Itu sebabnya kicauan di Twitter lebih banyak berisi anjuran moral, petuah, nasihat-semua merasa paling bijaksana sedunia. Berkhotbah sepanjang hari. Koyo bener-benero dewe, kata teman saya Mas Pujo. Prek, lanjutnya.

Kisah manusia selalu menarik. Itu yang melahirkan cerita maupun tayangan-tayangan human interest. Dengan media digital cerita human interest menemukan kemasan baru: orang menangis-nangis, melolong-lolong, lahir berita. Semua bahagia, baik yang nangis, yang memberitakan, yang nonton.

Tentang duduk perkara tidak semua orang peduli. Percaya pada apa yang didengar, bukan apa yang dilihat, tanpa kehadiran dan verifikasi, semua ditelan mentah-mentah. Maka kalau pada ilmu komunikasi dulu dikenal istilah readers, listeners, viewers, kini muncul kosakata baru, haters. Kaum pembenci, penuh prasangka, subo sito, gede roso.

Teman-teman dari Bangkok mengajak saya melewatkan sore di lounge The Siam. Mereka semua puasa, tetapi mereka justru memesankan untuk saya mojito. Itu minuman favorit di sini, harus coba, katanya. Mereka terbiasa menjalani kekhusyukan puasa di tengah ingar-bingar dan hedonisme Bangkok. Lolos dari rekayasa politik dan agama.

Kalau harus menulis cerita human interest, manusia seperti mereka inilah yang menggerakkan saya. Cerita manusia biasa, dengan segala kebaikannya. Natural goodness of human beings, kebaikan alami manusia, begitu istilah Rousseau. Bersama mereka, tampak kian indah pemandangan matahari tenggelam di balik jembatan Krung Thon di dekat situ. Selamat merayakan Lebaran. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar