Senin, 04 Juli 2016

Istanbul 2016

Istanbul 2016

Trias Kuncahyono ;   Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas Minggu
                                                         KOMPAS, 03 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Istanbul adalah satu-satunya kota di dunia yang berada di dua benua: Eropa dan Asia. Kota ini dibelah oleh Selat Bosporus. Selat Bosporus tidak hanya membelah Istanbul, tetapi celah dalam ini memisahkan dua benua di sudut barat laut Turki.

Cendekiawan Perancis, Petrus Gyllius atau Pierre Gilles (1489-1555), menyebut Selat Bosporus sebagai "selat yang mengungguli semua selat; dengan satu kunci membuka dan menutup dua dunia, dua lautan". Dua dunia adalah Eropa dan Asia, sedangkan dua lautan adalah Laut Aegea dan Laut Euxine (Laut Hitam).

Mula-mula kota ini, Istanbul, dikenal sebagai Byzantium. Menurut cerita tradisional, Byzantium didirikan oleh Byzas, orang Megara. Dalam salah satu versi mitos, Byzas disebut sebagai putra Poseidon dan Keroessa, putri Zeus dan Io. Ketika Konstantinus Agung menjadikan Byzantium sebagai ibu kota Kekaisaran Romawi Timur pada tahun 330, kota itu disebut-sebut sudah berusia 1.000 tahun.

Sejak Konstantinus menjadikan kota itu pusat kekuasaannya, nama Byzantium kemudian diganti menjadi Konstantinopel atau kota Konstantinus. Orang Yunani menyebutnya Constantinopolis. Yang artinya sama, yakni kota Konstantinus. Sejak itulah lahir Roma Baru; sementara Roma Lama, Kekaisaran Roma di Barat ambruk pada tahun 476. Roma Baru masih bertahan hingga lebih dari 1.000 tahun kemudian.

Baru pada tahun 1453, di bawah kepemimpinan Sultan Mehmet II (1451-1481), perjalanan Konstantinopel terhenti. Sultan Mehmet II dengan tentaranya menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur di bawah kekuasaan Konstantinus XI; dan menjadikannya sebagai ibu kota Kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah), sejak saat itu. Nama Konstantinopel pun diubah menjadi Istanbul, orang sering menyebutnya sebagai Stamboul.

Sisa-sisa kejayaan masa lalu-masa Konstantinopel dan Ottoman-masih bisa dilihat dan dinikmati. Lihatlah betapa megahnya Masjid Biru yang berdiri anggun berhadapan dengan Museum Hagia Sophia. Masjid Biru yang juga disebut Masjid Sultan Ahmed berdiri megah dengan enam menara menjulang tegas ke langit. Masjid yang dibangun di zaman Sultan Ahmed I, tahun 1609-1616, ini dirancang oleh arsitek Mehmet Aga.

Di seberang Masjid Biru berdiri tak kalah megahnya bangunan yang lebih tua, Hagia Sophia. Bangunan pertama didirikan oleh Kaisar Konstantinus pada tahun 360. Mula pertama diberi nama Megale Ekklesia (Gereja Besar), tetapi kemudian diberi nama Hagia Sophia (Kebijaksanaan Suci). Setelah Kekhalifahan Ottoman berkuasa, selama hampir 500 tahun, Hagia Sophia dijadikan sebagai masjid besar Istanbul. Hagia Sophia kemudian dijadikan sebagai museum hingga sekarang ini atas perintah Mustafa Kemal Ataturk, 1935.

Andaikan Hagia Sophia bisa bicara, maka ia bisa bercerita banyak tentang manusia pada masa lalu; tentang budaya masa lalu; tentang agama di masa lalu; tentang bagaimana agama dipraktikkan dalam hidup sehari-hari, dan menjiwai para pemeluknya. Hagia Sophia melintasi zaman, dari gereja, masjid, menjadi museum. Banyak simbol, lambang, gambar, dan lukisan serta tulisan yang menjadi bukti kesemua itu. Sama seperti Masjid Biru, yang pada 30 November 2006 dikunjungi Paus Benediktus XVI. Didampingi Mufti Istanbul Mustafa Cagrici dan Imam Besar Masjid Biru Emrullah Hatipoglu, Paus selama beberapa menit berdoa di tempat itu.

Hal yang sama dilakukan Paus Fransiskus pada 29 November 2014. Didampingi Imam Besar Masjid Biru Rahmi Yaran, Paus Fransiskus masuk ke dalam masjid dan berdoa menghadap ke Mekkah. Itulah "momen adorasi pada Tuhan dalam keheningan", demikian pernyataan Vatikan ketika itu.

Istanbul sekarang ini, tahun 2016, tentu beda dengan Istanbul di zaman Hagia Sophia atau di zaman Masjid Biru. Bahkan, beda dengan Istanbul di zaman Ataturk. Salah satu warisan Atatürk adalah prinsip "negara sekuler". Prinsip ini dikenalkannya ketika ia membentuk Republik Turki yang sekuler dan pro Barat pada tahun 1923 setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman). Prinsip dasar "negara sekuler" adalah pemisahan antara agama dan negara.

Agama diakui, tetapi harus dipisahkan dari negara agar tidak dimanipulasi untuk kepentingan politik. Demikian sebaliknya, untuk menghindarkan terjadinya manipulasi politik untuk kepentingan agama. Yang lebih mendapat tekanan dalam prinsip "negara sekuler" ini adalah dunia, pembangunan dunia. Tetapi, sama sekali tidak mengabaikan agama. Ini sangat berbeda dengan sekularisme. Sekularisme hanya mementingkan dunia (saeculum) yang transendental tak ada, tak mendapat tempat.

Dan Istanbul di zaman Presiden Recep Tayyip Erdogan sekarang ini terasa lain. Paling tidak di tahun ini saja empat kali terjadi serangan teroris. Ada apa dengan Erdogan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar