Minggu, 10 Juli 2016

Transformasi Diri Idul Fitri

Transformasi Diri Idul Fitri

Asep Salahudin ;  Kolumnis; Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya Tasik;  Dosen LB Fakultas Seni dan Sastra Universitas Pasundan, Bandung
                                               MEDIA INDONESIA, 05 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TENTU saja bagi seorang muslim, hari Lebaran merupakan momen-momen menggetarkan, hari raya yang kedatangannya sangat ditunggu.
Tak ubahnya Natal bagi umat kristiani atau Nyepi bagi kalangan Hindu di Bali. Setelah satu bulan penuh berpuasa, kedatangan Idul Fitri seperti ulat yang keluar dari kepompong untuk menemukan suasana baru. Sang Nabi menyebut selepas puasa Ramadan itu seseorang menjadi suci.

Idul Fitri artinya kembali ke kesucian. Suci karena Ramadan telah membakar dosa dan kekhilafan. Lewat kuali Ramadan, kesalahan itu dihanguskan dan manusia dikembalikan ke titik nol, titik awal keberangkatan. Menginjak satu Syawal dengan keinsafan dan semangat baru yang kebaruan itu sepenuhnya diacukan pada jangkar kekuatan spiritual.

'Kebaruan' itu penting sebab suasana seperti ini biasanya yang dapat menyuntikkan harapan gemilang dalam meretas sejarah masa depan.
Kebaruan sebagai pandu untuk memutus sejarah kelam masa silam. Dalam konteks sosial kebangsaan, pemerintahan dan pejabat yang menawarkan sistem baru yang biasanya mendapatkan respons positif dari masyarakat. Sistem dan mentalitas lama biasanya diidentikkan dengan segala bentuk cela, cacat, dan kecurangan.

Maka kewajiban kita itu adalah merawat kesucian. Bagaimana spirit Ramadan terus-menerus mengawal kita agar tidak jatuh dan tersekap dalam tindakan yang dapat mengotori makna kesucian. Kesucian yang dapat menyelamatkan seseorang ketika kembali ke pangkuan Zat Yang Mahasuci, kepada Yang Kudus. Itu mengingatkan saya pada puisi Ajip Rosidi yang berjudul Hari Lebaran.

'Hari ini hari hati percaya/akan arti hidup dan mati yang cuma sempat/ Direnungkan setahun sekali. Sungguh besar maknanya/Jalan panjang menuju liang-lahat/Hari ini hari kesadaran akan tradisi/ Menyempatkan umat sejenak bersama-sama/Menghirup udara lega dalam kepungan derita/Sehari-hari yang bikin orang jauh-menjauhi/Hari ini hariku pertama 'kan menjalani/Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri/ Makin sepi terasing, lantaran mengerti/Kelengangan elang di langit tinggi'.

Menebarkan maaf

Di hari raya ini dengan lapang kita tebarkan maaf kepada sanak saudara dan handai tolan. Maka Idul Fitri sering juga disebut Lebaran, saling melubarakan, saling memaafkan. Sebab secara ontologis manusia ialah makhluk yang tidak lepas dari kesalahan, permaafan menjadi pintu masuk mengurai kesalahan itu. Manusia bukan malaikat yang tidak pernah keliru, juga bukan setan yang selamanya tersesat. Manusia berada dalam dua pendulum, antara tarikan kebenaran dan godaan kesalahan. Antara mendekat ke malaikat atau jatuh dalam pelukan setan-kebinatangan.
Antara dunia terang dan terseret gelombang arus kegelapan.

Faalhamaha fujuraha wa taqwaha. Dalam diri manusia mengalir potensi fujur (negatif) dan potensi takwa (positif). Mana di antara keduanya yang lebih dominan? Di titik ini sesungguhnya hakikat 'jihad' itu harus diletakkan.
Jihad yang paling besar kata Sang Nabi bukan militansi mengacungkan pentungan dengan pekik Allahu Akbar sambil menganggap kafir mereka yang tak sama haluan pemahaman dan kepercayaannya, melainkan pertempuran dalam jiwa di antara kedua potensi itu. Ketika fujur yang menjadi kiblat, manusia bisa lebih setan ketimbang setan, bisa lebih nestapa daripada satwa. Sebaliknya, saat takwa yang menjadi landasan, manusia harkatnya dapat melampaui malaikat, naik ke takhta spiritual yang paling puncak.

Dengan air muka cerah penuh bahagia kita ulurkan tangan untuk bersalaman sambil mengucapkan permaafan lewat ungkapan minal aidin wal faizin taqabbalallahu minna waminkum. Tidak saja keluarga yang masih hidup yang dikunjungi untuk bersilaturahim, malah leluhur yang telah lama meninggal pun kita ziarahi dan doakan untuk keselamatannya di alam baka.

Dalam konteks budaya keindonesiaan, kunjungan demi silaturahim itu bisa jadi harus menempuh jarah ratusan kilometer dengan kemacetan yang sudah rutin, atau apa yang kita sebut dengan tradisi mudik itu. Ribuan pemudik bahkan lebih pada saat bersamaan rela berjejalan dan terpanggang di jalanan demi menuntaskan kerinduan purba ke kampung halaman, menyelesaikan kerinduan terhadap asal usul kulturalnya. 'Kampung halaman' sebagai tempat yang dituju interaksi simbolisnya tidak saja merujuk kepada makna geografis, tapi juga spiritual.

Di tangan kaum pemudik, seolah jarak itu dilipat. Bagi mereka tidak ada yang abadi kecuali kenangan terhadap 'kampung halaman'. Kenangan yang dalam fakta mentalnya tidak bisa dikuburkan walaupun telah lama mengembara menjadi bagian dari masyarakat urban. Sejauh apa pun mengembara, ujungnya tak lebih hanya proses kultural-psikologis menanam kenangan itu untuk minimal satu tahun sekali diekspresikan dalam katup wujud mudik yang heroik itu.

Mungkin secara sosiologis hanya di kepulauan Nusantara orang pulang kampung secara serentak bahkan negara harus ikut terlibat, ambil bagian menertibkan dengan sandi yang bertemali dengan makanan khas Lebaran; Operasi Ketupat! Mengapa ketupat? Bisa jadi ada benarnya apa yang dibilang Claude Levi Strauss, seorang antropolog berkebangsaan Prancis, bahwa 'makanan' itu tidak hanya berurusan dengan perut tapi dapat menjadi indeks kebudayaan yang lebih luas. Saya tidak tahu apakah atas kesadaran ini jajaran kepolisian mengambil ketupat sebagai simbol dalam mengelola lalu lintas di hari raya.

Dalam praktiknya, ternyata bukan sekadar pulang kampung, melainkan juga narasi yang diriwayatkannya kepada kaum kerabat dan para tetangga tentang kota yang ditumpanginya, sering kali menebarkan daya pikat kepada masyarakat yang masih berada di desa itu untuk ikut merantau mempertaruhkan nasibnya ke kota. Akhirnya lewat Lebaran kota mengepung desa dan selepas Lebaran desa mengepung kota.

Atmosfer religiositas

Harus diakui bahwa selama Ramadan biasanya indeks kesalehan seseorang meningkat. Tidak saja puasa yang dilakukan, tetapi juga segenap kebaikan ditunaikan dengan penuh keikhlasan. Zakat, sedekah, bangun malam, dan tadarusan menjadi bagian tidak terpisahkan dari hari-hari di Ramadan.

Bahkan selama bulan puasa, semua stasiun televisi pun menu acaranya menyesaikan dengan spirit Ramadan. Bukan saja kita 'dikepung' ceramah sebelum buka dan saat sahur, malah pembawa acara dan segenap artis pun yang biasanaya mengumbar aurat dan memanggungkan gaya hidup hedonistis, selama Ramadan mendadak menampilkan dirinya tak ubahnya 'santri' dan bahkan 'ustaz'. Lomba dai dan tahfidz Alquran dalam sepuluh tahun terakhir seolah menjadi menu wajib selama Ramadan.

Di beberapa tempat saking semangatnya berpuasa, Satpol PP pun merasa perlu menyisir warung-warung yang dipandang dapat mengganggu orang-orang yang berpuasa dengan berlindung di balik perda syariah. Negara tiba-tiba merasa memiliki kewajiban untuk mengurus ibadah seseorang yang sesungguhnya bersifat personal.

Namun, harus juga lekas dicatat, ritual yang dilakukan sering kali berhenti sebatas upacara. Selesai ritual ditunaikan, selesai pula urusannya. Di persimpangan inilah fenomena paradoksal itu mencuat. Satu Syawal seolah menjadi katup orang kembali ke habitat aslinya yang negatif. Nyaris Ramadan itu tak berdampak baik secara personal, kultural, terlebih sosial. Akhirnya, selamat berlebaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar