Minggu, 10 Juli 2016

Budaya Mudik Lebaran

Budaya Mudik Lebaran

Komaruddin Hidayat ;  Guru Besar Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
                                               MEDIA INDONESIA, 02 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RASULULLAH mengingatkan umatnya, ibarat memacu kuda maka mendekati garis finis hendaknya larinya semakin kencang agar menjadi pemenang. Begitu pun dalam ibadah puasa Ramadan, di 10 hari terakhir hendaknya diperbanyak ibadah karena hari-hari itu justru akan menentukan kualitas dan keutuhan ibadah Ramadan. Namun, rupanya yang lebih heboh ialah agenda pulang mudik. Semoga saja mudik Lebaran pun akan tercatat sebagai ibadah.

Fenomena Lebaran telah berakar kuat dalam masyarakat dan ini akan tetap bertahan terus terlebih ketika urbanisasi juga semakin meningkat.
Pengamat asing mengatakan orang Indonesia, khususnya Jawa, they are very much attached to their lands. Masyarakat kita sangat terikat kuat dengan tanah air dan kampung halaman.

Itu terbukti, ketika keluarga yang mengalami rumah hancur terkena tanah longsor ditawari pindah tempat oleh pemerintah, mereka menolak pindah. Jadi, masyarakat Indonesia bukan bangsa yang senang berdiaspora. Mangan ora mangan asal ngumpul.

Tentu saja di kalangan generasi muda sudah mulai kendur ikatan etnik dan kedaerahan, mereka berkarier dan hidup di rantau. Namun, sangat jauh jika dibandingkan dengan masyarakat Tionghoa, Turki, India, dan Yahudi, yang tinggal dan membangun komunitas di luar negeri.

Dugaan saya, kata lebaran berasal dari bahasa Jawa, yang berarti seseorang sudah selesai menyelenggarakan sebuah hajatan. Itulah hajatan melaksanakan perintah puasa selama Ramadan. Dengan hadirnya Hari Lebaran, seseorang diajarkan untuk lebur, yaitu menyatu kembali dengan sesama hamba Tuhan, apa pun status sosialnya, setelah kembali ke fitrahnya.

Itu ditandai dengan diselenggarakannya acara halalbihalal di lingkungan perkantoran dan masyarakat, sebuah forum untuk saling memaafkan dan memperkukuh rajutan sosial.

Lebaran juga mendorong munculnya sikap luber, yaitu sikap filantropis, senang berbagi rezeki, mensyukuri anugerah Tuhan yang diterimanya selama ini. Karena itu, banyak keluarga muslim yang mengeluarkan zakat tahunan serta sedekah sehabis Ramadan, di luar zakat fitrah. Tradisi mudik pulang kampung juga menjadi medium untuk mengekspresikan rasa syukur setelah puasa sebulan yang di dalamnya terkandung semangat lebur dan luber.

Kreasi masyarakat

Tradisi yang memiliki dimensi keagamaan sulit hilang atau dihilangkan dari masyarakat, seperti di Bali tempat agama dan budaya telah menyatu. Di Indonesia, budaya Lebaran justru semakin meriah dan menguat karena dampak ekonomi dan sosialnya sangat positif bagi masyarakat dan negara.

Budaya Lebaran secara signifikan ikut memperkukuh kohesi sosial dan mendukung pemerataan ekonomi. Mobilitas warga yang sedemikian masif telah mendorong pembangunan infrastruktur dan menghidupkan bisnis transportasi nasional dengan segala turunannya. Tradisi pulang mudik yang awalnya hanya populer di kalangan masyarakat Jawa sekarang juga menular ke luar Jawa.

Festival yang telah mentradisi yang diciptakan negara ialah peringatan kemerdekaan 17 Agustus. Namun, dampak sosial ekonominya tidak sebesar dan seheboh Lebaran. Begitu pun pesta tahun baru. Gebyarnya hanya sesaat dan miskin aura keagamaannya. Namun, suasana Ramadan yang ditutup dengan Idul Fitri sangat kental aura religiositasnya.

Banyak orang yang mengeluarkan zakat dan sedekah pada bulan Ramadan sehingga ketika tiba Hari Lebaran suasana batin terasa lega. Masing-masing merasa saling memaafkan dan dimaafkan.

Suasana yang demikian ini bukan hasil rekayasa politik, melainkan benar-benar tumbuh dari bawah, keluar dari hati yang selalu ingin memperbaiki kualitas hidup dan merasakan nikmatnya kebersamaan, toleransi, dan kedamaian yang muncul dari penghayatan iman.

Konon sejarahnya, di Eropa hari libur Sabtu dan Minggu disebut holiday karena diinspirasi Bibel bahwa Tuhan istirahat mengurus dunia pada Sabtu. Karena itu, manusia juga istirahat dari kerja mengejar duniawi lalu diganti dengan acara ritual memuja Tuhan sehingga pada holy-day, hari suci, orang pergi ke gereja atau kuil untuk memuja Tuhan.

Namun, sekarang telah terjadi proses sekularisasi, nilai-nilai keagamaan justru hilang pada holiday, yang menonjol ialah pesta duniawi yang penuh hura-hura. Ketika saya jalan-jalan ke Eropa Timur masih terdapat sisa-sisa tradisi Kristen kuno. Ketika datang Sabtu dan Minggu, toko-toko tutup sekalipun banyak turis. Itu pengaruh metafora Bibel, bahwa Sabtu Tuhan pun istirahat sehingga manusia juga mesti istirahat lalu diganti dengan memperbanyak berdoa dan bekerja bakti, tidak mencari uang.

Dari sekian banyak tradisi, jika di dalamnya ada unsur keagamaan, biasanya itu akan mampu bertahan lama. Contoh yang fenomenal ialah masyarakat Hindu Bali, antara ritual keagamaan dan budaya telah menyatu, bahkan menjadi daya tarik turis yang mendatangkan devisa.

Bagi masyarakat Islam Indonesia, selama Ramadan juga berkembang tradisi berbuka bersama. ak Jusuf Kalla, wakil presiden, pernah berujar kepada saya, puasa itu hanya sebulan, tapi acara berbuka puasa bisa 50 kali, karena mesti menghadiri undangan acara buka bersama di berbagai tempat.

Ketika Lebaran tiba, yang paling utama dari segi agama ialah mendirikan salat Idul Fitri di lapangan atau masjid agung. Namun, yang membuat heboh ialah acara pulang mudik kumpul keluarga, dilanjutkan dengan silaturahim saling memaafkan dan menikmati hidangan Lebaran bersama tetangga dan sanak saudara.

Silaturahim itu juga diselenggarakan di perkantoran, biasanya pada minggu pertama masuk kerja, diikuti semua karyawan lintas agama.

Mengingat animo pulang mudik tetap tinggi, syukurlah pemerintah selalu berusaha meningkatkan kenyamanan dan keamanan acara mudik berupa perbaikan infrastruktur sehingga budaya Lebaran semakin terasa ramah dan menggembirakan. Orang bilang, kalau tidak mudik, Lebarannya serasa hanya separuh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar