Sekolah
untuk para Juara
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
19 Desember 2016
KEGAGALAN tim nasional (timnas) sepak bola
Indonesia untuk menjadi juara dalam ajang AFF menimbulkan banyak komentar. Wapres
Jusuf Kalla berkomentar singkat, penyebab kegagalan ialah proses pembinaan
tidak didukung fasilitas lapangan sepak bola yang memadai.
Salah satu calon gubernur bahkan dengan lebih
jauh menilai kegagalan ini dengan kondisi masyarakat yang kurang sejahtera
secara umum.
Semua menilai kegagalan dengan menyalahkan
fasilitas dan kondisi sosial kemasyarakatan dan tak satu pun yang memiliki
komentar bernada edukatif, tentang bagaimana keterkaitan prestasi anak dengan
pengalaman belajar yang diperolehnya ketika bersekolah dulu.
Selain itu, cukupkah jumlah pendamping yang
mengerti aspek psikologi olahraga dalam sebuah tim? Saya tak tahu pasti
berapa banyak psikolog yang terlibat dalam timnas.
Hal ini untuk menggambarkan aspek-aspek di
luar teknis keolahragaan seperti rasa nyaman pada diri pemain dan kehendak
yang besar untuk bekerja sama sebagai sebuah tim terbangun sangat kuat.
Kalaupun dibutuhkan motivasi eksternal seperti
janji Presiden Jokowi yang akan memberikan Rp12 miliar kepada timnas, jelas
sekali rasa nyaman yang terbangun dengan baik dari segi psikologis serta
keinginan yang kuat untuk membuang ego pemain bintang sehingga tumbuh proses
kerja sama yang kuat jauh lebih penting daripada apa pun.
Saya melihat dua aspek ini tak digarap dengan
baik pada sistem pendidikan kita.
Bahkan yang lebih menyedihkan penonjolan ego
melalui kebijakan ujian nasional (UN), yaitu setiap anak harus lulus semakin
meneguhkan kita tak memiliki sekolah yang melihat kebersamaan jauh lebih
penting dari prestasi individual.
TIP dan kolaborasi
Banyak klub sepak bola di dunia dalam 20 tahun
terakhir ini memasukkan talent identification program (TIP) ke struktur
kurikulum pembinaan pemain.
Begitu pentingnya program ini sehingga setiap
calon pemain tidak bisa untuk menentukan sendiri keberbakatannya jika belum
diuji melalui penahapan teknis dan psikologis.
Tim yang dibentuk di dalam TIP kebanyakan
psikolog dan pendidik.
Jika dilihat dari tradisi yang berkembang pada
sepak bola di Eropa misalnya, TIP ternyata dalam realisasinya diadaptasi dari
setiap sekolah.
Saya membayangkan jika rata-rata sekolah di
Indonesia memiliki tim yang kuat dalam lembaga TIP, sekolah tersebut pasti
akan unggul karena hampir semua guru bergerak berdasarkan keberbakatan anak
yang genuine.
Di Sekolah Sukma Bangsa, Aceh, ada lembaga
yang disebut sebagai pusat konseling.
Ke depan saya kira harus dikembangkan menjadi
semacam TIP, yaitu strukturnya terdiri atas para konselor, guru, kepala
sekolah bahkan orangtua.
Membayangkan adanya TIP di Sekolah Sukma
Bangsa secara permanen adalah imperatif.
TIP bukan hanya bekerja menyelesaikan masalah
psikologis kesiswaan semata, melainkan juga lebih jauh dari itu,
mengembangkan sebuah instrumen yang dapat membantu guru dan orangtua untuk
memastikan zona nyaman anak dengan bakat dan kemampuannya.
Ada banyak hasil riset yang dikembangkan soal
TIP ini, tinggal bagaimana kemampuan manajemen sekolah memastikan TIP bisa
berjalan dan berkembang sesuai dengan perkembangan psikologis anak dan
orangtua.
Belum ada sekolah yang mengembangkan TIP
menjadi bagian dari struktur sekolah yang secara bertahap mampu menunjukkan
hasil-hasil riset pengembangan keberbakatan anak dalam rangka merealisasi
sekolah para juara, termasuk calon pemain timnas sepak bola.
Selain TIP, hal yang penting untuk
merealisasikan konsep sekolah bagi para juara ialah mengembangkan basis
hubungan antara sekolah secara berkeadilan, baik antara sekolah negeri dengan
negeri, negeri dengan swasta, maupun swasta dengan swasta.
Pemerintah perlu mengembangkan konsep
collaborative schooling. Terminologi collaborative schooling sebenarnya
merupakan kritik dari kondisi aktual kualitas pendidikan kita di Tanah Air
yang belum merata hingga saat ini.
Sekolah-sekolah yang dianggap baik oleh
masyarakat setidaknya dalam 25 tahun terakhir ini tak pernah berubah.
Dalam satu kota/kabupaten, biasanya sekolah
yang dianggap baik kualitas atau mutunya oleh masyarakat hanya satu atau dua
sekolah.
Ini artinya sekolah-sekolah unggulan itu tidak
pernah mempraktikkan collaborative schooling karena tak ingin dikalahkan
sekolah lain.
Sistem pendidikan kita lebih mengedepankan
kompetisi antarsiswa dan sekolah daripada mempraktikkan kolaborasi antarsiswa
dan sekolah.
Di sekolah, pendekatan pembelajaran lebih
banyak berorientasi pada aspek daya saing (competitive), sebuah budaya untuk
mengalahkan dan menyisihkan orang lain, sehingga menimbulkan banyak sekali
pelabelan seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus,
sekolah nasional dan sekolah internasional, serta atribut lain yang sungguh
menyiksa perasaan siswa dan orangtua karena tingginya diskriminasi.
Karena itu, wajar orang seperti Ivan Illich
dan Paulo Freire menganggap proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti
ladang tempat para guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan siswa-siswi
mereka.
Padahal menciptakan jejaring (networking) dan
kolaborasi antarsekolah sangat dibutuhkan dalam rangka menciptakan
partnership antara satu sekolah dan yang lainnya.
Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat
sumber belajar bersama (common learning resources center), misalnya, sebuah
sekolah harus menawarkan diri kepada sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja
sama dalam melakukan proses belajar mengajar.
Tujuan strategi ini ialah dalam rangka memberikan
ruang yang luas kepada sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka
inginkan dari lingkungan sekitar.
Hal itu akhirnya dapat menopang posisi sekolah
sebagai lembaga pendidikan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam
proses pendidikan.
Mari kita bersama-sama mengubah haluan, dari
halusinasi pendidikan yang selalu mengejar keberhasilan dengan cara kompetisi
menjadi kesadaran yang menghargai kolaborasi.
Pendidikan kita membutuhkan kesadaran
sekaligus kesediaan para guru dan orangtua untuk terlibat secara aktif dan
bertanggung jawab terhadap masa depan pendidikan anak-anak kita secara benar
dan bertanggung jawab.
Kesadaran dan kesediaan untuk bertahan dan
percaya bahwa pendidikan adalah proses investasi berjangka panjang yang
membutuhkan kerja sama, kesabaran, keuletan, dan kerja keras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar