Media
Dalam Kontestasi Pilkada
Yuliandre Darwis ; Ketua
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat;
Dosen Komunikasi FISIP Unand
|
KORAN SINDO, 19 Desember
2016
Menjelang akhir tahun 2016, refleksi terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang tahun menjadi diskursus dalam
berbagai ruang untuk menghadapi tahun 2017. Peristiwa politik pilkada
serentak 2017 relasinya dengan peran media merupakan salah satu topik yang
mengundang perhatian berbagai kalangan. Irisan media dengan pilkada menjadi
tema dalam forum refleksi akhir tahun pada ruang diskusi kalangan
intelektual, pemerhati politik-media, apalagi di media massa televisi.
Seperti apa relasi media dengan hajatan lima tahunan baik secara teori maupun
dalam panggung realitas politik kontemporer.
Jika membaca logika publik akhir-akhir ini,
masyarakat sesungguhnya memberi perhatian pada penggunaan media massa dalam
menyampaikan pesan-pesan politik jelang awal tahun depan. Itu karena saluran
media digunakan sebagai sarana kampanye baik yang akan dilakukan pada masa
kampanye di media massa pada 29 Januari- 11 Februari 2017, maupun adanya
kalangan tertentu yang secara eksplisit maupun implisit telah melakukan pesan-
pesan politik melalui channel media massa.
Dalam konteks itu, pertanyaan penting diajukan
bagaimana posisi media dalam peta politik pilkada. Bagaimana jurnalis
menjalankan tugas profesinya sebagai wartawan yang objektif di tengah
lingkungan media yang memiliki afiliasi dengan kepentingan partai politik?
Dapatkah idealisme jurnalis terbebas dari kepentingan- kepentingan politik
praktis?
Posisi Media
Di era kebebasan pers, memang tak ada larangan
bagi jurnalis meliput kegiatan politik partai tertentu. Namun, posisi media
harus jelas dalam arus politik pilkada. Apakah media itu secara terbuka turut
menjadi sarana politik praktis karena kedekatan calon pemimpin daerah dengan
media. Atau media memainkan peran berada di balik layar teater politik
pilkada. Mungkinkah media bersikap netral atau justru berpihak kepada
kelompok tertentu.
Sekadar mengingatkan saja, sesungguhnya media
massa tidak boleh bersikap partisan, apalagi hanya mementingkan golongan
tertentu. Dengan kata lain, media harus independen meskipun mereka memiliki
kedekatan dengan pasangan calon pilkada. Mantan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pada Hari Pers Nasional 2013 di Manado sempat memberikan
sindiran agar pers tetap di rel ideal, yakni mampu menjaga independensi dan
memberi pencerahan kepada rakyat. Pers milik rakyat, bukan milik kepentingan
atau kelompok tertentu.
Oleh karena itu, dibutuhkan prinsip-prinsip
dasar yang perlu mendapat perhatian, yakni (1) kebebasan dan independensi.
(2) keterlibatan dan solidaritas. (3) Keanekaragaman dan akses. (4)
Objektivitas dan kualitas informasi. (McQuail, 1987: 125). Menjelang tahun
politik Pilkada, independensi media; radio, koran, TV, majalah, media online,
dan media sosial harusnya dapat dijaga dari pengaruh maupun bias-bias politik
praktis.
Terlebih lagi televisi yang mempunyai pengaruh
luas di masyarakat. Pers khususnya televisi menggunakan ranah publik (publik
domain) sehingga kepentingan individu dan golongan ditanggalkan dengan
mengutamakan kepentingan bersama. Secara normati-regulatif, independ en s i
Lembaga Penyiaran sesungguhnya diatur dengan jelas.
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) KPI khususnya
Pasal (2) Lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap
para peserta pemilihan umum dan/atau pemilihan umum kepala daerah. Ayat (3)
Lembaga penyiaran tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta
pemilihan umum dan/atau pemilihan umum kepala daerah.
Ayat (4) Lembaga penyiaran tidak boleh
menyiarkan program siaran yang dibiayai atau disponsori oleh peserta
pemilihan umum dan/atau pemilihan umum kepala daerah. Sementara itu dalam
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) terutama Pasal (1) Wartawan Indonesia bersikap
independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad
buruk.
Bill Kovach & Tom Rosenstiel dalam 9
Elemen Jurnalisme (2006) menjelaskan posisi jurnalis yang tetap harus dijaga,
yakni kewajiban utama jurnalisme adalah pencarian kebenaran; loyalitas utama
jurnalisme adalah pada warga negara; esensi jurnalisme adalah disiplin
verifikasi; jurnalis menjaga independensi dari objek liputannya; jurnalis
harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan; jurnalis
harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi;
jurnalis harus berusaha membuat hal yang penting menjadi menarik dan relevan;
jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional; dan
jurnalis harus diperbolehkan untuk mendengarkan hati nurani pribadinya.
Posisi media dan jurnalis tidak partisan dalam
konteks kontestasi politik. Jelas sekali, rambu-rambu regulatif-etis sebagai
pegangan teguh insan media. Inilah tantangan penyebaran informasi pilkada,
yakni bagaimana menjaga independensi, netralitas, proporsionalitas,
objektivitas, dan akurasi informasi politik.
Spirit Demokrasi
Secara ideal maupun praktis, posisi media pada
tahun-tahun politik sejatinya media tidak terjebak pada kepentingan pribadi
atau golongan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat dan bangsa. Sebagai
pilar demokrasi keempat, media dalam momen pilkada punya andil menjaga spirit
demokrasi. Apa makna media sebagai pilar demokrasi, media berperan sebagai penyeimbang
(checks and balances) agar pihak yang
berkontestasi dapat on the track.
Di sinilah media meminjam istilah Cater, media
sebagai The Fourth Branch of Government–menemukan momentumnya. Dengan
demikian, media turut memberi pendidikan politik serta mendewasakan
masyarakat ke arah demokrasi substansial melalui saluran pilkada. Media
mendorong praktik demokrasi yang tidak saja prosedural, namun juga membangun
kesadaran serta partisipasi publik akan arti penting pesta demokrasi:
pilkada. Catatannya, independensi media dikedepankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar