Jalan
Buntu 15 Tahun Pemberantasan Korupsi
Bambang Soesatyo ; Ketua
Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN SINDO, 19 Desember
2016
Naiknya kecenderungan perilaku koruptif banyak
oknum pegawai negara mengindikasikan bahwa pemberantasan korupsi yang telah
dilaksanakan selama ini nyaris berada di jalan buntu. Kecenderungannya akan terus meningkat jika
eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak segera merumuskan strategi baru
pemberantasan korupsi. Pemerintah, DPR, dan semua institusi dalam lingkup
yudikatif harus mau mengakui bahwa gerakan pemberantasan korupsi belum
mencatat progres yang signifikan. Karena itu, pengalaman tidak mengenakan
selama belasan tahun ini harus dipelajari dan dikaji ulang.
Pandangan atau penilaian ini sama sekai tidak
bertujuan melecehkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini.
Sebaliknya, apresiasi setinggi-tingginya harus diberikan kepada KPK karena
konsisten di tengah keterbatasan jelajah operasi. Jika mengacu pada Undang-
Undang No.30/2002 tentang KPK, berarti sudah 15 tahun Indonesia memerangi
korupsi. Namun, publik tetap dihadapkan pada fakta yang belum menggembirakan.
Pertanyaannya, dari semua aksi penyergapan
atau OTT (operasi tangkap tangan) pelaku korupsi oleh KPK selama ini, apakah
tren atau kecenderungan oknum pegawai negara/daerah melakukan korupsi sudah
menurun? Jawabannya tegas; tidak! Sebab, dari waktu ke waktu, KPK dan Polri
masih terus mengungkap kasus-kasus baru, baik untuk kasus korupsi skala besar
maupun skala kecil.
Pengungkapan kasus demi kasus yang beruntun
itu jelas mengindikasikan naiknya tren perilaku koruptif, baik yang
melibatkan oknum pegawai negara/ daerah, maupun kasus korupsi yang dirancang
oleh kerja sama oknum pegawai negara dengan oknum swasta. Asumsi yang
demikian itu bukan isapan jempol. Pada 2015, Laboratorium Ilmu Ekonomi, Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada
memublikasikan hasil penelitiannya.
Hasil penelitian ini layak dijadikan indikator
untuk melihat dan membacakecenderungan. Penelitian itu menemukan bahwa jumlah
kasus korupsi justru terus meningkat. Kasus korupsi yang telah diputus oleh
Mahkamah Agung (MA) dari 2014-2015 sebanyak 803 kasus. Jumlah ini meningkat
jauh dibanding tahun sebelumnya. Dari totalkasus itu, KPK menjerat 967
terdakwa korupsi. Tren meningkatnya kasus korupsi menjelaskan
bahwamasihbanyakoknum yang belum takut untuk memanipulasi anggaran
pembangunan.
Berarti, selama 15 tahun KPK berkiprah, efek
jera melakukan korupsi belum tumbuh. Mengapa sulit sekali menumbuhkan efek
jera? Inilah yang seharusnya menjadi fokus kajian bersama. Selama tidak ada
upaya bersama merumuskan strategi menumbuhkan efek jera, strategi
pemberantasan korupsi sekarang ini akan menemui jalan buntu. Dan, kebuntuan
itu sesungguhnya sudah dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Indikasinya
adalah naiknya tren perilaku koruptif tadi.
KPK atau Polri boleh saja mengungkap
kasuskasus baru. Namun, semua pengungkapan itu tidak akan menyelesaikan pokok
persoalan, yaitu keengganan atau ketakutan oknum untuk melakukan korupsi.
Akhirnya, sampailah pada pertanyaan; mau sampai kapan kondisi atau pengalaman
tidak mengenakan ini akan dipertahankan? Negara, yang diwakili oleh rakyat,
sesungguhnya tidak bahagia, kendati banyak kasus baru tentang korupsi terus
diungkap.
Soalnya, sanksi hukum yang dibebankan kepada terdakwa
kasus korupsi tidak sebanding dengan kerugian yang harus ditanggung rakyat
dan negara. Jelas bahwa negara dan rakyat terus menanggung rugi yang sangat
besar akibat maraknya korupsi. Maka menjadi tugas pemerintah, DPR, dan semua
institusi yudikatif untuk menghentikan kenaikan tren perilaku koruptif itu.
Pemerintah, DPR dan yudikatif harus menerobos
kebuntuan pemberantasan korupsi sekarang ini dengan rumusan strategi baru.
Sudah terbukti bahwa taring tajam KPK tidak menumbuhkan efek jera. Belum tentu
juga taring tajam Satgas Saber Pungli (Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan
liar) akan menumbuhkan efek jera bagi para petugas di pos-pos layanan publik
untuk menghentikan kebiasaan mereka melakukan pungli.
Seragamkan Persepsi
Argumentasi tentang ringannya sanksi hukum
bagi koruptor sebagai penyebab tidak tumbuhnya efek jera sudah berulang kali
dikemukakan. Selama ini, sanksi hukum terhadap koruptor tidak sederajat
dengan persepsi bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa terhadap negara dan
rakyat, sebab sanksi kepada koruptor dinilai tidak luar biasa. Menurut
Indonesia Corruption Watch (ICW), vonis bagi terdakwa kasus tindak pidana
korupsi periode Januari hingga Juni 2016 tercatat sebagai yang paling ringan
dalam lima tahun terakhir.
Rata-rata hukuman penjara bagi koruptor
sepanjang enam bulan pertama 2016 hanya dua tahun satu bulan. Untuk banyak
kasus korupsi, sebagian besar vonis majelis hakim hanya berpatokan pada Pasal
2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu minimal di bawah
empat tahun. Sangat memprihatinkan karena ada kecenderungan meningkatnya
jumlah vonis ringan terhadap terdakwa koruptor.
Tahun 2015, 163 terdakwa mendapatkan vonis
ringan dan pada semester pertama2014, ada193terdakwajuga mendapat vonis
ringan. Gambaran kerugian negara tercermin dari hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Menurut
BPK dan BPKP, dalam periode 2008- 2011, jaksa yang menangani perkara korupsi
rata-rata hanya menuntut 44% kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Persentase nilai tuntutan itu akan menyusut
hingga hanya 7% ketika perkara diputus di persidangan dan berkekuatan hukum
tetap atau inkrah. Dengan perlakuan hukum yang begitu minimalis, tidak
mengherankan jika tren perilaku koruptif sangat sulit ditekan, bahkan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Dan, dengan sanksi hukum yang sangat minimal
itu, tidak mungkin akan tumbuh efek jera. Publik menilai para hakim
pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tidak cukup militan dalam arus
pemberantasan korupsi.
Kesimpulannya, belum ada keseragaman persepsi
pada semua institusi negara untuk memaknai korupsi sebagai kejahatan luar biasa
terhadap negara dan rakyat. Selain terindikasi dari minimnya militansi para
hakim tipikor, juga terlihat pada upaya tiada henti untuk menyediakan
instrumen hukum yang mempermudah terpidana kasus korupsi mendapatkan remisi
atau pengurangan hukuman.
Untungnya, upaya terbaru untuk menyediakan
instrumen hukum yang memudahkan narapidana koruptor mendapatkan remisi sudah
digagalkan presiden. Tetapi upaya presiden itu belum cukup. Presiden masih
harus mendorong penyeragamanpersepsitentangkorupsisebagai kejahatan luar
biasa pada semua kementerian dan lembaga negara. Semua institusi negara harus
all out memberantas korupsi.
Tidak boleh satu pun institusi yang berperan
minimalis Karena itu, presiden selaku pimpinan eksekutif perlu mengambil
inisiatif menyelenggarakan forum bersama dengan legislatif dan yudikatif. Di
forum itulah disepakati penyeragaman persepsi bahwa korupsi adalah kejahatan
luar biasa terhadap negara dan rakyat.
Penyeragaman persepsi itu harus juga sampai di
pengadilan dan para hakim Tipikor. Lalu, karena pemberantasan korupsi
sekarang ini nyaris menemui jalan buntu, forum bersama eksekutif, legislatif,
dan yudikatif itu juga harus menyepakati pula strategi baru pemberantasan
korupsi di Indonesia. Strategi baru itu hendaknya juga memotivasi para hakim
tipikor untuk lebih militan ketika mengganjar atau memvonis para terdakwa
kasus korupsi.
Penegak hukum di China sangat militan sehingga
berani menjatuhkan sanksi hukuman mati terhadap terpidana koruptor. Para
hakim di Pengadilan Tipikor Indonesia memang tidak perlu meng-copy paste sanksi hukum ala China itu.
Akan tetapi, tidak berarti bahwa majelis hakim pengadilan tipikor tidak
berwenang menjatuhkan sanksi ekstra keras kepada terdakwa koruptor.
Selain hukuman badan yang lebih lama,
terpidana koruptor seharusnya diwajibkanmengembalikan semua hasil korupsi
atau kerugian negara. Pasal 18 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sudah mengatur masalah pengembalian kerugian negara akibat
tindak pidana. Kalau fungsi pasal ini bisa dimaksimalkan, penerapannya
diyakini bisa menumbuhkan efek jera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar