Berseni
Pancasila
Bandung Mawardi ; Kritikus
Sastra
|
KORAN SINDO, 18 Desember
2016
Pada masa 1950-an, Pancasila diajarkan di
sekolah, kursus, dan seminar. Penerbitan buku-buku bertema Pancasila semakin
bertambah. Politikus, intelektual, militer, sastrawan, guru, dan ulama mulai
memberi tafsiran beragam atas Pancasila. Soekarno tentu jadi pusat pengisahan
dan penjelasan Pancasila. Di pers dan partai politik, persaingan terjadi demi
Pancasila. Kubu-kubu berseberangan mengaku paling mengerti Pancasila. Arus
perkembangan sastra juga mengacu ke penerimaan atau penolakan Pancasila. Iwan
Simatupang (1953) turut berkomentar dimulai sejenis ragu: ”Pancasila sebagai
lebensanchauung , sebagai ekstraksi dari undang-undang dasar (sementara)
kita, harus membaui segala- galanya dari kita, ungkapan batin kita, dus juga
puisi kita?” Iwan Simatupang mengulas politik, moralitas, agama, filsafat,
ekonomi, dan seni mengacu ke pemahaman atas Pancasila.
Kalimat-kalimat sinis dan keras bermunculan
agar pembaca sadar atas perebutan makna Pancasila oleh pelbagai seniman,
politikus, dan moralis. Orang gampang fanatik dan silau pada Pancasila.
Pengajuan pemikiran dan argumentasi malah membuat Pancasila berada di
persengketaan. Pancasila dijadikan dalih revolusi belum selesai, berdagang
demi untung melimpah, menghancurkan partai politik, mengantar orang ke
penjara, atau menghindarkan negara dari perang. Para seniman pun turut dalam
kancah perdebatan melalui sajian seni.
Iwan Simatupang berpendapat: ”Pancasila datang
membawa batas-batas, dan memberikan luasan kecil yang dimensi-dimensinya
lekas-lekas berikan kesan arrive pada kita. Sedang kita ingin puisi kita,
puisi Indonesia, subur, tak punyai ambisi jadi puisi keluaran kulturkammer .
Kita ingin puisi, sedemikian banyaknya hingga bikin tipolog-tipolog dan
mereka tukang cari-cari sesuatu isme dalam setiap ciptaan seni, ciptaan
puisi-geleng kepala!” Kita mulai agak mengerti berseni atau berpuisi
Pancasila setelah membaca kalimat-kalimat rumit dan dipaksakan filosofis.
Pada tahun-tahun sebelum keruntuhan kekuasaan Soekarno, sengketa Pancasila
dalam seni semakin gawat.
Di majalah Sastra , Nomor 9-10, Tahun III,
1963, para seniman mengumumkan Manifes Kebudayaan, bertanggal 17 Agustus
1963. Kalimat terakhir: ”Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.”
Pancasila memang jadi idaman semua pihak. Pembela Pancasila merasa berhak
menghancurkan atau menistakan para musuh Pancasila. Pancasila gampang rancu
dipahami sebagai dasar negara, pandangan hidup, cap, atau pemanis. Sengketa
politikdan seni bersumber dari persaingan paling memiliki Pancasila. Sejak
kemunculan Soeharto sebagai tokoh besar, Indonesia masuk ke masa subur
berseni Pancasila.
Soeharto memberi petunjuk agar seniseni
tradisional dan modern mengumumkan Pancasila. Publik mulai ”dipatuhkan”
sebagai konsumen atau apresiator Pancasila melalui wayang kulit, ketoprak,
macapat, l u d r u k , lagu, novel, puisi, film, dan teater. Berseni
Pancasila menjadi kerja kolosal dan paling sukses selama masa Orde Baru. Seni
tanpa Pancasila bisa menghasilkan pembakaran buku, pelarangan pentas teater,
sensor film, dan pemenjaraan. Berseni Pancasila malah mulai disajikan ke
bocah-bocah. Pembuatan inpres pengadaan buku bacaan anak pada masa 1970-an
menjadikan sastra anak semakin berbobot dan bercap Pancasila. Berseni harus
Pancasila.
Perwujudan berseni Pancasila juga berpengaruh
besar melalui gubahan lagu-lagu bertema Pancasila. Pada 1991, Amris Cipta
Sarana menerbitkan buku berjudul Irama dan Lagu sebagai Upaya Melestarikan
Pancasila . Propaganda penerbit: ”Diharapkan melalui keikutsertaan
masyarakat, khususnya kalangan generasi muda, secara aktif turut
mendendangkan lagu-lagu bernafaskan P-4 ini, maka usaha pemasyarakatan P-4
dapat lebih ditingkatkan penyebarluasannya.” Buku memuat 25 lagu.
Sekian judul lagu terasa gamblang mengumumkan
Pancasila: ”Mengamalkan Pancasila” oleh AT Mahmud, ”Negara Pancasila” oleh A
Simanjuntak, ”Lestarikan Pancasila” oleh Janner Sinaga, ”Bahana Pancasila”
oleh Budiman BJ, dan ”Insan Pancasila” oleh AR Pakaja. Berseni Pancasila
berlanjut setelah keruntuhan rezim Orde Baru, 1998. Kisruh politik dan krisis
mengingatkan publik untuk semakin memahami dan mengamalkan Pancasila. Para
seniman tampil dengan pelbagai ekspresi seni. Kegandrungan berseni Pancasila
turut menentukan corak pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla meski ada
”pemaksaan” tafsir.
Pementasan teater tentang Tan Malaka dan
pemutaran film tentang Pula Buru dilarang oleh ormas-ormas berdalih
membangkitkan PKI. Mereka memusuhi seni jika mengandung ajaran komunis.
Tuduhan tanpa penelitian dan argumentasi. Seni-seni untuk kesadaran sejarah
dan perwujudan nilainilai kemanusiaan justru dilarang berdalih Pancasila dan
agama. Seni perlahan ada di jalan rawan saat pengecapan Pancasila berlaku
dengan pemaksaan. Sekarang, jalinan seni dan Pancasila masih berlanjut dengan
pelbagai ironi dan kegagalan memahami sejarah. Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar