Benang
Kusut Parpol
Agnes Theodora ; Litbang
KOMPAS
|
KOMPAS, 20 Desember
2016
Awal 2016 menandai episode baru dalam
perpolitikan Tanah Air. Drama di antara dua koalisi besar partai politik pada
Pemilihan Presiden 2014 sudah berakhir. Namun, pragmatisme yang minim etika
semakin menjadi-jadi.
Dengan bergabungnya Partai Golkar, Partai
Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan di pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla, kekuatan pendukung pemerintah di parlemen mencapai 386
kursi atau 68 persen dari total 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Koalisi
Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang terbentuk saat pemilihan
presiden, praktis sudah berakhir.
Presiden Joko Widodo beberapa kali juga telah
bertemu dengan mantan rivalnya di Pilpres 2014, yaitu Ketua Umum Partai
Gerindra Prabowo Subianto.
"Sekarang, kalau pemerintah ada maunya,
sudah tidak sulit. DPR ini sudah menjadi miliknya pemerintah," demikian
seloroh sejumlah politisi di DPR ketika bicara tentang pemetaan politik terkini
di parlemen.
Charles E Merriam dalam Political Power: Its Composition and Incidence menuliskan, esensi
politik adalah kekuasaan. Mengejar kekuasaan bukan hal yang tabu dalam
politik. Kekuasaan itu idealnya diarahkan untuk mewujudkan kebijakan publik
berdasarkan kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Apakah praktik politik di Indonesia sudah ada
di garis itu?
Pragmatisme
Perjalanan politik selama satu tahun terakhir
ini menunjukkan, alih-alih menjadi penyalur aspirasi rakyat, parpol gagal
mereformasi diri dan tenggelam dalam pragmatisme. Akhirnya, hakikat politik
terdegradasi, serupa dengan pandangan ilmuwan politik asal Amerika Serikat,
Harold D Lasswell; politik memang hanya urusan siapa yang mendapat apa,
kapan, dan dengan cara bagaimana.
Jalan menuju Musyawarah Nasional Luar Biasa
Partai Golkar pada Mei 2016 menunjukkan, uang ditengarai masih berperan
penting dalam politik.
Dua bakal calon ketua umum yang saat itu
bersaing ketat, Ade Komarudin dan Setya Novanto, sama-sama dilaporkan ke
Komite Etik Munaslub Golkar karena diduga membagi-bagi uang kepada peserta
munaslub. Kepengurusan inti Golkar periode 2016-2019 yang dipimpin Novanto
sempat menjadi sorotan karena mengakomodasi tiga mantan terpidana.
Setelah menjadi Ketua Umum Golkar, Novanto
lalu kembali menjadi Ketua DPR. Padahal, pada Desember 2015, ia menyatakan
mundur dari posisi ketua DPR terkait munculnya kasus dugaan permintaan saham
PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla.
Setelah Novanto kembali menjadi Ketua DPR,
rencana revisi terbatas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (MD3) menguat. Tujuannya, memberikan satu kursi pimpinan DPR
dan MPR kepada PDI Perjuangan yang menjadi partai pemenang Pemilu 2014.
Revisi terbatas UU MD3 dengan tujuan sekadar untuk berbagi kursi kekuasaan
merupakan kali kedua di periode ini. Sebelumnya, UU yang sama pernah diubah
hanya dalam waktu tujuh jam pada Desember 2014. Revisi saat itu bertujuan
memberikan tambahan 16 kursi pimpinan alat kelengkapan Dewan untuk
partai-partai KIH.
Sementara itu, lagu lama terus dimainkan.
Sepanjang tahun, kader parpol berulang kali menjadi target operasi tangkap
tangan KPK. Kasus suap ijon program aspirasi DPR di Maluku dan Maluku Utara
dengan terdakwa Damayanti Wisnu Putranti (PDI-P) menggambarkan dengan
gamblang betapa jabatan publik beramai-ramai dimanfaatkan elite politik untuk
menguntungkan diri sendiri.
Pragmatisme yang semakin menjadi-jadi di
kalangan parpol itu menurunkan tingkat kepercayaan rakyat sehingga rakyat
mencari platform lain untuk menyalurkan suaranya. Di sisi lain, melemahnya
peran kekuatan oposisi membuat parpol dan DPR dipandang sebelah mata dalam
menjalankan fungsi check and balance terhadap pemerintah dan jajarannya.
Pembenahan
Dalam berbagai kesempatan, politisi
menyalahkan fondasi sistem politik yang berantakan sebagai akar masalah.
Salah satunya, sistem pemilihan umum legislatif proporsional terbuka yang
menghasilkan politik berbiaya tinggi. Sistem itu melahirkan anggota DPR yang
terpilih berdasarkan popularitas dan kemampuan kapital, tetapi minim
idealisme dan kompetensi.
Kendati demikian, melihat kondisi parpol saat
ini, sistem proporsional tertutup yang memberi mandat tertinggi pada parpol
pun belum tentu efektif. Sebab, pada dasarnya parpol belum maksimal
menjalankan fungsi perekrutan dan kaderisasi. Sebagian parpol minim
"stok" figur pemimpin.
Fenomena pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017
menjadi contoh ketika parpol tidak memiliki kader potensial. Dari enam calon
gubernur dan wakil gubernur, hanya dua calon yang berlatar belakang kader
parpol, yakni Djarot Saiful Hidayat (PDI-P) dan Sandiaga Uno (Partai
Gerindra). Sisanya merupakan comotan dari militer, akademisi, ataupun
birokrat.
Saat ini, pembenahan sistem kepemiluan sedang
dibahas di DPR bersama pemerintah. Panitia Khusus Rancangan Undang- Undang
Penyelenggaraan Pemilu dan pemerintah sebenarnya mengusulkan revisi semua UU
terkait kepemiluan guna membenahi secara komprehensif sistem politik
menjelang Pemilu 2019, termasuk UU MD3 dan UU Partai Politik.
Namun, lagi-lagi, pragmatisme dan kepentingan
jangka pendek lebih mendapat tempat. UU MD3 yang mengandung banyak kelemahan
belum bisa direvisi secara menyeluruh. Yang ada, revisi terbatas untuk
menambah kursi pimpinan legislatif untuk Fraksi PDI-P. Revisi itu tercantum
di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 dan dimasukkan kembali
dalam daftar prioritas Prolegnas 2017.
Dengan demikian, pada periode 2014-2019,
revisi UU MD3 dilakukan hingga tiga kali, yaitu pada 2014, 2016, dan 2017. UU
dijadikan alat politik yang bisa diubah kapan saja untuk melegitimasi
keinginan yang sedang berkuasa. Membenahi parpol memang ibarat mengurai
benang kusut. Tanpa komitmen kuat, benang itu tetap akan semrawut hingga
lama-kelamaan tidak lagi berfaedah untuk "menjahit" jubah
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar