Ancaman
Harmoni di Asia Tenggara
René L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 19 Desember
2016
Perkembangan pesat di Laut Tiongkok Selatan
membawa persoalan mengarah pada militerisasi "pulau-pulau palsu"
setelah RRT mempersenjatai pulau-pulau itu dengan meriam. Insiden robot kapal
selam milik Angkatan Laut AS, 50-100 mil laut dari Teluk Subic, pekan lalu,
memicu ketegangan baru di kawasan ini.
Ironisnya, Indonesia, negara besar di kawasan
Asia Tenggara, tidak mampu mengantisipasi berbagai perubahan ini. Mantan
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa ketika menerima penghargaan doktor
honoris causa dari Universitas Nasional Australia (ANU), pekan lalu,
mengatakan, organisasi ASEAN sekarang menghadapi ancaman pecah belah menghadapi
dinamika perubahan strategis di kawasan LTS, yang menjadikan RRT sebagai
sekutu bagi beberapa negara ASEAN.
Selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko
Widodo, kebijakan luar negeri Indonesia hanya mampu menangani
persoalan-persoalan taktis tanpa kemampuan bertindak strategis menghadapi
perubahan dinamika di berbagai front luar negeri sekaligus. Menghadapi
persoalan di LTS atau masalah Rohingya di Myanmar, Indonesia bekerja terlalu
lama sehingga bisa dibayangkan persoalan besar seperti di Aleppo, Suriah,
pasti kita tidak memiliki suara sama sekali.
Perilaku RRT di LTS melalui berbagai gelar
kekuatan militer mencemaskan banyak pihak. Kementerian Luar Negeri RI dinilai
tidak mengeluarkan pernyataan atau upaya komprehensif mengantisipasi
perubahan-yang disebut majalah The Economist bergerak dari Pax Americana ke
Pax Trumpiana-menghadirkan indikasi kebijakan transaksional pada era
pemerintahan presiden terpilih AS, Donald Trump.
Indonesia, misalnya, tidak paham apa yang
dimaksud Trump ketika menyatakan Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO)
adalah organisasi usang dan hanya akan membantu anggota organisasi ini kalau
mereka memenuhi kewajibannya. Kebijakan luar negeri RI juga tidak memahami
makna strategis yang terkandung dalam pembicaraan Perdana Menteri Jepang
Shinzo Abe dan Presiden Rusia Vladimir Putin belum lama ini mengenai
persoalan Kepulauan Kuril di utara Jepang.
Dalam konteks LTS, seperti sudah diantisipasi
akan menjadi wilayah tidak tersentuh dan menjadi dominasi hegemoni RRT yang
secara pasti memperlihatkan keunggulan perangkat militernya di kawasan
tersebut. Berbagai indikasi menunjukkan Malaysia, Brunei, Kamboja, Laos, dan
Filipina berpihak pada pola penyelesaian yang diajukan Beijing ketimbang
bergerak mencari solusi melalui ASEAN.
Tidak ada upaya de-eskalasi dilakukan ASEAN
menghadapi perubahan upaya militerisasi kawasan LTS ini. Pertanyaannya, untuk
apa kita berbicara mengenai tata perilaku (code of conduct) sebagai protokol
ASEAN untuk membentuk kerangka kerja sesuai aturan dan nilai hukum
internasional, mempromosikan kepercayaan dan mencegah insiden?
Sejak awal dipahami, Beijing pada posisi
ambiguitas dalam memahami serta menjunjung norma dan nilai hukum
internasional dengan berbagai cara. Mulai dari perlindungan awal klaim kedaulatan
yang tumpang tindih di LTS melalui kehadiran undang-undang maritim domestik
atau memaksa negosiasi secara bilateral. Upaya RRT jelas diarahkan pada
pengecilan dan menafikan peran ASEAN sebagai pihak dalam mencari solusi
komprehensif penyelesaian konflik di LTS.
Kalau Kemlu RI tidak segera mencari solusi
perubahan dinamika LTS, termasuk persuasi insentif ekonomi serta ancaman dan
pelecehan diplomatik untuk tunduk kepada Beijing, ASEAN sebagai organisasi
politik dan keamanan akan mati. Memiliki peradaban tua dan panjang tidak
berarti Beijing memiliki kewenangan menjalankan kebijakan luar negeri yang
mengganggu peradaban Indonesia dalam menjaga stabilitas dan keamanan bagi
keharmonisan Asia Tenggara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar