Menghidupi
Pluralisme
John de Santo ; Dosen
ASMI Santa Maria Yogyakarta
|
SUARA MERDEKA, 19
Desember 2016
DALAM sambutannya pada
pembukaan Bali Democracy Forum (BDF) IX/2016 di Nusa Dua, Bali, pekan lalu,
Presiden Joko Widodo menyatakan pentingnya sikap toleran mengingat semua
warga dunia hidup dalam kemajemukan. Dalam urusan kemajemukan, Indonesia
dapat diandalkan karena memiliki pengalaman hidup panjang dalam
keanekaragaman suku, agama, ras, golongan, dan daerah.
Persoalannya,
bagaimana merawat kemajemukan itu, agar setiap warga negara dapat merasakan
semakin luasnya zona nyaman untuk hidup sebagai anak bangsa. Di Indonesia,
pluralisme pernah menjadi polemik karena istilah itu diliputi semangat
religius, dicurigai sebagai niat terhadap pencampuran ajaran agama, atau
bahkan digunakan sebagai alasan untuk mengubah suatu ajaran agama dengan
ajaran agama lain.
Akibat
pertentangan yang semakin membingungkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah
mengeluarkan fatwa melarang pluralisme agama pada 28 Juli 2005. Larangan
tersebut menyangkut objek persoalan, terutama ketika pluralisme memberi
peluang bagi kemunculan relativisme kebenaran agama. Sebenarnya kebingungan
itu terjadi akibat kerancuan bahasa.
Dalam
bahasa Inggris, kata pluralism berarti suatu kerangka interaksi, di mana
setiap orang atau kelompok menampilkan rasa hormat yang tulus kepada orang
atau kelompok lain, bersikap toleran, dan berinteraksi tanpa konflik. Konsep
pluralisme sejatinya bisa digunakan menurut cara yang berbeda dan mencakup
persoalan yang lebih luas. Di dalam politik misalnya, pluralisme artinya
mengafirmasi keberagaman kepentingan dan kebutuhan dari setiap warga negara.
Pluralisme
bahkan dianggap sebagai ciri utama dari sebuah kehidupan demokrasi. Dalam
dunia sains, pluralisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa beberapa
metode, teori, atau sudut pandang secara sah dan masuk akal untuk digunakan
dalam upaya mencari kebenaran. Bahkan bidang sains, pluralisme dianggap
sebagai faktor terpenting bagi kemajuan ilmiah.
Adapun
dalam sistem politik demokrasi, pluralisme adalah sebuah prinsip pengarah
yang memungkinkan koeksistensi damai dari berbagai kepentingan, sikap, dan
gaya hidup. Tidak seperti totalitarianisme, pluralisme mengakui keberagaman
kepentingan dan mendorong setiap warga negara untuk berusaha merealisasikan
kepentingan yang berbeda itu.
Indonesia
sebagai negara agraris yang melimpah sumber daya alamnya, terbentang dari
Sabang sampai Merauke, dilintasi tiga zona waktu, dan terbentuk dari berbagai
macam suku, ras, dan agama itu, secara alami lahir di atas prinsip-prinsip
pluralisme. Harus diakui, perbedaan yang terjadi akibat kemajemukan telah
memicu terjadinya ketegangan sosial, diskriminasi ras, dan benturan
kepentingan terutama di sektor ekonomi politik.
Transformasi
sosial, yang terjadi selama ini memang tidak berlangsung merata sehingga
menimbulkan gesekangesekan yang seolah menegaskan adanya krisis
berkepanjangan sejak penghujung tahun 1997. Problematika kehidupan masyarakat
Indonesia yang plural ini semakin bertambah rumit dengan diberlakukannya
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan berbagai tantangan lain akibat globalisasi.
Dinamika
sosial, budaya, ekonomi dan politik di negeri ini, menyisakan pertanyaan
besar tentang kesiapan Indonesia dalam mengikuti roda zaman yang cenderung
menghilangkan jati diri dari ideologi Pancasila yang selama ini mengukuhkan
eksistensi sebagai bangsa.
Rangkaian
catatan panjang mengenai konflik etnis, agama, sektarian, dan menguatnya
radikalisme agama, dan sikap intoleran, seyogianya meningkatkan kesadaran
terhadap realitas majemuk dan bagaimana mengelolanya sebagai kekuatan yang
menyatukan, bukan sebaliknya menceraiberaikan.
Meski
kita hidup atas dasar prinsip-prinsip pluralistik, kesadaran terhadap
realitas kemajemukan perlu semakin dipertajam melalui sistem pendidikan
berdasarkan petimbangan berikut. Pertama, sistem pendidikan sekolah wajib
mengajarkan anak-anak untuk bersikap toleran terhadap perbedaan.
Hal
ini akan menjadikan mereka sebagai orang dewasa yang kelak bersikap toleran
terhadap kemajemukan. Sikap toleran itu tidak hanya diajarkan dalam bentuk
modul, tetapi menjadi praktik keseharian.
Kekerasan
dalam bentuk fisik dan verbal seperti ujaran kebencian, penghinaan, tidak
boleh dibiarkan terjadi di sekolah.
Kedua,
membunuh prasangka. Sebagian besar persoalan muncul karena prasangka.
Prasangka terjadi karena orang dengan latar belakang berbeda belum saling
memahami. Berbagai streotip negatif dan kebencian lahir dari ketidaktahuan. Di
sekolah, prasangka bisa dikurangi melalui berbagai kegiatan kelompok minat,
bakat, dan hobi.
Ketiga,
sekolah sebagai kawah candradimuka (tungku peggodokan) yang menampung para
murid dengan berbagai latar belakang kemampuan, keluarga, strata sosial,
bahkan agama dan budaya, merupakan tempat ideal bagi penanaman kesadaran akan
kebhinekaan.
Anak-anak
remaja akan lebih mudah belajar saling menerima dan memahami karena belum
terbiasa dengan bias dan prasangka. Kesadaran awal yang baik ini merupakan
dasar bagi apresiasi terhadap perbedaan yang menjadi alasan untuk membangun
persatuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar