”Political
Recalling” Budiman
Tanuredjo : Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 26 November 2022
”This is not the rule of law, but the rule by
law. Hukum hanya dijadikan alat kekuasaan saja.” Hari Selasa, 22 November
2022, saya menerima pesan dari salah satu ahli konstitusi dan ahli hukum tata
negara serta desainer Mahkamah Konstitusi. Ia menanggapi pemberhentian
Aswanto oleh DPR dan diganti Sekjen Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah. Guru
besar itu melampirkan undangan pelantikan Guntur Hamzah, Rabu, 23 November
2022, di Istana Negara. Saya meresponsnya pendek: terus mau bagaimana. Ia merespons: ”Masukan sudah disampaikan. Daya rusaknya akan tercatat dalam
sejarah. Silakan,” tulisnya. Terasa ada nuansa kepasrahan terhadap
langkah politik DPR ”memecat” Aswanto. Aswanto,
Guru Besar Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia Universitas Hasanuddin,
dianggap ”berdosa” oleh DPR. Komisi III DPR menganggap Aswanto sebagai ”anak
nakal” yang kerap membatalkan undang-undang yang dibuat DPR dan pemerintah.
Komisi III DPR menganalogikan hakim konstitusi adalah direktur perusahaan dan
DPR adalah pemilik perusahaan. Ketika direktur tidak mengikuti kebijakan
pemilik, terjadilah pemberhentian itu. Aswanto resmi diberhentikan. Guntur Hamzah telah
mengucap sumpah sebagai hakim konstitusi, disaksikan Presiden Jokowi pada
Rabu, 23 November 2022. Pihak Istana mengatakan, Presiden tidak bisa
mengoreksi putusan DPR yang mengganti Aswanto. Presiden hanya menjalankan
fungsi administrasi menerbitkan keputusan presiden untuk melantik Guntur Hamzah. Enam jam setelah pelantikan Guntur,
MK mengeluarkan putusan uji materi. Di bagian pertimbangan, MK mengatakan,
”Pemberhentian hakim konstitusi di luar Pasal 23 UU MK tidak konstitusional.
Pemberhentian hakim konstitusi dalam masa jabatannya harus ada surat dari
Ketua MK.” Putusan MK itu bisa dipastikan
hanyalah kertas yang tak punya makna, selain menjadi catatan sejarah hitam
bagaimana kekuasaan politik bermain. Cerita itu hanya akan melengkapi sejarah
robohnya pilar kemandirian kekuasaan kehakiman yang dirancang MPR yang
mengubah konstitusi dan melahirkan Mahkamah Konstitusi. Eksistensi hakim konstitusi yang dikonstruksikan
sebagai negarawan yang menguasai konstitusi telah berubah menjadi sekadar
”petugas DPR”. Aswanto diberhentikan. Guntur Hamzah tetap
sebagai hakim konstitusi. Itu sesuai dengan prinsip hukum Presumptio iustae causa. Setiap
keputusan tata usaha negara harus dianggap sah sebelum dibuktikan sebaliknya.
Selamat bekerja Prof Guntur Hamzah. Rabu siang, 23 November 2022, saya
mengobrol dengan Aswanto di Youtube ”Backtobdm.” Pertemuan dengan Aswanto
sekaligus untuk menguji apakah ia memenuhi syarat diberhentikan dengan
hormat. Aswanto belum berusia 70 tahun. Aswanto tidak mengundurkan diri meski ia sempat
berpikir untuk mundur. Aswanto masih segar bugar tidak sakit dan tetap bisa
bekerja. Aswanto juga tidak melanggar etik atau melakukan pidana yang bisa
diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat. Artinya, pemberhentian
Aswanto tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 23 UU MK. Alasan DPR
kecewa karena Aswanto kerap membatalkan undang-undang tidak ditemukan dalam
persyaratan pemberhentian hakim konstitusi. Langkah
DPR semacam political recalling.
Sebuah langkah politik untuk menjinakkan kekuasaan kehakiman yang juga tidak
punya dasar konstitusional. Aswanto mengaku tidak pernah menerima
pemberitahuan resmi apa pun dari DPR soal pemberhentiannya. Aswanto juga
belum menerima keppres pemberhentiannya. ”Saya mendengar dari berita-berita,”
katanya. Aswanto tidak ingin mempersoalkan pemberhentiannya.
”Saya sedang mencari jalan bertemu dengan DPR untuk pamitan. Dua kali saya
menjalani fit and proper test
sebagai hakim konstitusi dan diberi kesempatan delapan tahun sebagai hakim
MK. Saya datang tampak muka, saya ingin pamitan tampak punggung,” ucap
Aswanto. Problem di MK, bukan problem Aswanto sebagai
pribadi. Masalah yang terjadi di MK adalah soal eksistensi negara hukum
Indonesia sesuai dengan teks UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum.
”Persyaratan negara hukum menuntut kemandirian kekuasaan kehakiman. Pilar
negara hukum sedang goyah. Boleh jadi, kini
bangsa ini sedang berada di simpang jalan: menjadi negara hukum atau negara
kekuasaan? Indonesia negara hukum punya makna mendalam bahwa
konstitusi dan undang-undang adalah kompas penyelenggaraan negara. Bagaimana
persyaratan anggota DPR dipilih dan diberhentikan, bagaimana presiden
dipilih, persyaratan gubernur dan bupati dipilih dan diberhentikan, hakim
agung dipilih dan diberhentikan, bagaimana hakim konstitusi dipilih dan
diberhentikan. Semua itu ada aturannya. Tak bisa semaunya. Aturan itu dibuat
DPR dan pemerintah. Jika semua aturan yang disepakati itu dilanggar, bisa
terjadi anarki. Demokrasi harus diimbangi dengan nomokrasi atau kedaulatan
hukum. MK dibangun oleh gerakan reformasi 1998. Gerakan
untuk menguatkan prinsip konstitusionalisme dalam negara demokratis
konstitusional. Sejarah MK
pasang surut Pernah menjadi penyelamat bangsa dari kebuntuan
konstitusi, pernah menjadi penentu kemenangan sengketa pemilu, pernah
mengamini keinginan DPR dan pemerintah menempatkan KPK sebagai cabang
kekuasaan eksekutif, pernah juga mengoreksi UU produk DPR dan pemerintah. Namun, pernah juga terpuruk ketika Ketua MK dan hakim
konstitusi masuk penjara karena korupsi. Mau ke mana MK sekarang? Berpulang
kepada hakim konstitusi sebagai ”negarawan yang menguasai konstitusi”
bagaimana mau menyikapinya. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/11/25/political-recalling |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar