Memaknai
PHK, Sinyal Resesi, dan Optimisme Rhenald Kasali Nanda Fahriza Batubara : Kontributor
Tirto.id, Wartawan Multimedia |
TIRTO.ID, 20 November 2022
Lelaki itu seketika terdiam. Senyum yang biasa
melekat di wajahnya hilang. Dengan tatapan kosong, perlahan dia sandarkan
tubuhnya ke kursi yang sudah 15 tahun menemani. Cerahnya cuaca pagi di New York pada musim panas
Agustus 1981 seakan-akan menjadi hari tersuram bagi pria berusia 39 tahun
ini. Dia sulit mempercayai apa yang barusan terjadi. Kecemasan yang
belakangan mengusiknya itu benar-benar menjadi nyata. Pagi itu, pria berambut pendek tebal yang gaya
sisirannya khas menyamping tersebut kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari
Salomon Brothers, satu di antara lima bank investasi terbesar di Wall Street—bursa
saham Amerika Serikat (AS). Kaget, kecewa, sudah pasti. Namun Michael Rubens
Bloomberg, nama lelaki keturunan Yahudi tersebut, tidak berputus asa. Dia berhasil bangkit dan mengubah drastis jalan
hidupnya dengan bermodal keyakinan, pengalaman, dan—yang
terpenting—kepemilikan saham senilai US$10 juta yang setara US$ 32,3 juta
hari ini (senilai Rp 500 miliar). Di-PHK tanpa pesangon, Mike—panggilan
akrabnya—menjual saham tersebut dan memakainya untuk modal membangun mesin
penyedia data pasar realtime bernama Innovative Market Systems, yang kemudian
berganti nama Bloomberg LP. Mesin atau terminal data pertama ini pun
kebanjiran pelanggan, tak hanya dari AS tapi juga seluruh dunia. Meski biaya
berlangganannya sangat mahal yakni US$ 30.000/tahun atau Rp 470 juta setahun,
penggunanya telah mencapai 370.000 dari berbagai dunia. Dari situ, Mike menjelma menjadi satu di antara
orang terkaya di AS. Pria yang sempat mendedikasikan hidupnya sebagai Wali
Kota New York ini menuangkan mutiara kisah hidupnya dalam otobiografi
berjudul Bloomberg by Bloomberg (1997). PHK, seperti yang pernah dialami Mike,
akhir-akhir ini marak dirasakan banyak orang terutama yang bekerja di
perusahaan teknologi rintisan (startup) yang selama ini dianggap memiliki
modal "tak berseri" dengan aksi promo besar-besaran. PHK menjadi momok sejak Coronavirus Disease 19
(Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi pada awal 2020. Pengumuman Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) itu diikuti pembatasan sosial
sehingga menekan aktivitas konsumsi dan investasi. Akibatnya, perdagangan terhambat, pasar modal
lesu, inflasi membumbung, sementara daya beli menurun drastis. Karena
lapangan kerja tak tumbuh, ekonomi dunia pun terkontraksi ke tepi jurang
resesi. Tak sedikit perusahaan yang gulung tikar, atau melakukan efisiensi
lewat PHK. PHK Juga
Jangkiti Korporasi Titan Situasi ini tidak hanya berlangsung di Indonesia.
Kekacauan ekonomi membuat banyak perusahan besar di berbagai penjuru belahan
dunia mau tak mau menempuh kebijakan serupa. Misalnya Maersk, Exxon, United
Airlines dan Shell di AS, hingga Rolls Royce, Renault, Airbus dan Nissan di
Eropa. Di dalam negeri, situasi tak jauh berbeda. Dampak
pandemi Covid-19 memaksa sejumlah perusahaan memangkas karyawan. Di
antaranya, maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk, Lion Air, dan
Traveloka. Gelombang PHK ini sebenarnya tidak terjadi
belakangan saja, melainkan sudah sejak tahun 2020 ketika pandemi menerpa.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di
Indonesia meningkat 1,84% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 7,07%
pada Agustus 2020. Penduduk yang bekerja berjumlah 128,45 juta
orang, berkurang 310 ribu orang dari Agustus 2019. Kala itu, BPS
memperkirakan ada 29,12 juta orang atau 14,28% dari penduduk usia kerja yang
terdampak Covid-19. Tahun lalu ketika pandemi berangsur terkendali,
data tenaga kerja pun membaik. Pada Agustus 2021, jumlah pekerja tercatat
131,05 juta orang atau bertambah 2,6 juta orang dibanding Agustus 2020.
Tingkat pengangguran terbuka berkurang menjadi 6,49%. Di periode itu, tercatat setidaknya 21,32 juta
orang atau 10,32% dari penduduk usia kerja terdampak pandemi Covid-19.
Jumlahnya relatif melandai secara tahunan. Tahun ini, laju pemulihan terhambat setelah Rusia
melancarkan operasi militer khusus di wilayah Donbass, Ukraina—yang mayoritas
dihuni warga keturunan Rusia dan dipersekusi rezim Kiev sejak tahun 2014. Negara-negara Barat merespons dengan kebijakan
kontraproduktif. Mereka mengembargo Rusia yang merupakan pemasok komoditas
penting penopang industri mereka mulai dari energi, pupuk, hingga logam
penting. Ibaratnya, mereka mencekik leher sendiri. Namun
sayang, yang ikut megap-megap tak hanya negara Blok Barat tapi seluruh dunia.
Krisis pun melanda sektor perdagangan, finansial, energi hingga pangan di
seluruh dunia—termasuk Indonesia. Dari titik itulah muncul gelombang kedua PHK. Di
sektor riil, PHK massal melanda perusahaan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
di Jawa Barat. Data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat ada 73.000
orang yang di-PHK sepanjang Januari-Oktober 2022. Jumlah itu belum termasuk
pekerja perusahaan yang tidak tergabung di Apindo. Sektor teknologi digital, yang selama ini
dianggap kalis dari efek pandemi dan mendapat berkah darinya, kini ikutan
terpukul efek embargo Barat atas Rusia. Para raksasa teknologi telah
memangkas karyawannya, mulai dari Meta, Twitter hingga Microsoft. Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Baru-baru
ini, sejumlah perusahaan startup memangkas drastis jumlah pekerjanya.
Terbaru, ada emiten PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan Ruangguru di sana. Data BPS per Februari 2022 belum merekam aneka
PHK ini, sehingga mereka masih melaporkan angka pengangguran yang menurun
menjadi 5,83%. Namun pada Agustus, realita tersebut terlihat dari penambahan
angka pengangguran, meski tipis, ke 5,86%. PHK Bukan
Akhir Segalanya Menanggapi fenomena tersebut, pakar bisnis
Rhenald Kasali menilai tak ada hubungan antara PHK dan resesi ekonomi global.
Dia menyayangkan pernyataan sejumlah pihak yang gegabah menyebarluaskan
ketakutan, seakan-akan resesi sudah di depan mata. “Ancaman resesi global yang terus didengungkan,
kalau dipercaya, bisa menimbulkan resesi sungguhan. Eksekutif yang kurang
piawai bisa gegabah melakukan pemotongan besar-besaran, dan nanti bisa
sebaliknya: menimbulkan distrust dan penurunan kinerja,” tuturnya melalui
pernyataan resmi. Narasi resesi tersebut, lanjut Rhenald, coba
diperkuat dengan fakta PHK ribuan pekerja tekstil, garmen dan alas kaki
berorientasi ekspor di Jawa Barat. Demikian juga dengan PHK GoTo terhadap
1.300 orang atau sekitar 12% karyawannya. Padahal, saat ini tak ada resesi yang membuat
kinerja perusahaan-perusahaan terpukul. Dia memberi contoh PHK GoTo yang
terjadi bukan karena terpukul resesi. Pada akhir kuartal II-2022, mereka
telah melakukan penghematan struktural senilai Rp 800 miliar. Pendiri Rumah Perubahan ini mengingatkan bahwa
resesi adalah fenomena alami, yang ditandai dengan kontraksi pertumbuhan
ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Ia ini bukanlah aib atau akhir
dari segalanya. “Ia merupakan bagian alami pergerakan ekonomi,
yang bersifat dinamis. Kadang perekonomian itu naik, kadang turun. Yang
penting, saat turun lakukan langkah-langkah preskriptif secara disiplin. Lagi
pula kalaupun resesi, dunia tak akan resesi selamanya,” tuturnya. Rhenald menilai PHK malah bisa memburuk dan
terjadi lebih cepat jika narasi ketakutan terus menyebar. “Kalau masyarakat
kadung percaya dan ketakutan, maka pengusaha akan melakukan deep cut (memotong
anggaran, menutup usaha, menghentikan investasi-ekspansi-atau-berpromosi,
melakukan penghematan, PHK, mengurangi stok, bahkan malas melakukan
apa-apa),” ujarnya. Terlepas dari penyebab di balik gelombang PHK
ini, ada baiknya kita tak patah arah. Di balik duka PHK, ada peluang dan
kesempatan yang bisa dikejar untuk membalik keadaan. Michael Bloomberg sudah
membuktikannya. Contoh sosok yang lebih dekat dengan kita ada di
Surabaya, Jawa Timur. Seorang koki hotel di Sanur, Bali bernama Yuyun Mardojo
justru mendulang berkah menjadi pengusaha setelah di-PHK semasa pandemi
Covid-19. Alih-alih larut dalam keputusasaan, dia
memanfaatkan keahliannya mengolah kuliner. Di masa senggang, Yuyun berkreasi
membuat kue berbahan sayuran. Siapa sangka, bisnis baru tersebut mengubah
nasibnya. Dia dirangkul menjadi Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) binaan PT Surabaya Industrial Estate Rungkut, sebagai program Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) mereka, sebagaimana diulas Antara pada
Sabtu (9/10/2021). Perubahan nasib juga dialami Bayu Raja. Lelaki
berusia 33 tahun ini kehilangan pekerjaan akibat di-PHK saat pandemi
Covid-19. Namun siapa sangka, lepas dari perusahaan justru membuat Bayu
menjadi seorang pengusaha ulet. Seperti yang dikisahkan IDX Channel pada Kamis (2/9/2021),
warga asal DKI Jakarta itu menggunakan uang pesangon untuk merambah bisnis
kuliner. Naluri wirausaha Bayu kian terolah hingga dia sukses membuka
sejumlah cabang dan mendiversifikasi usaha. Yuyun dan Bayu membuktikan bahwa “setelah
kesulitan pasti ada kemudahan,” selama kita tak putus asa. Keputusasaan
justru memperkecil peluang kita berpikir jernih--yang justru diperlukan untuk
mencari di mana kemudahan itu (di)datang(kan). ● Sumber :
https://tirto.id/memaknai-phk-sinyal-resesi-dan-optimisme-rhenald-kasali-gyRp
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar