Rapor
Kesehatan Nasional Kita Djoko
Santoso : Guru Besar Kedokteran Unair,
Ketua Badan Kesehatan MUI Prop. Jatim |
KOMPAS, 23 November 2022
Jurnal Lancet edisi November 2022 memublikasikan
laporan tentang rapor kesehatan nasional Indonesia, yang menunjukkan gambaran
kemajuan kesehatan di Indonesia dalam rentang 30 tahun, dan kemampuannya
memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB. Laporan berjudul ”The State of Health in
Indonesia’s Provinces, 1990-2019: a Systematic Analysis for the Global Burden
of Disease Study 2019” itu sendiri disusun oleh GBD 2019 Indonesia
Subnational Collaborators. Penyusunannya melibatkan puluhan periset, antara
lain Menteri Kesehatan periode 2012-2014, Nafsiah Mboi. Riset ini menggunakan hasil dari ”Global Burden
of Diseases, Injuries, and Risk Factors Study” (GBD) 2019 untuk menganalisis
pola kesehatan di Indonesia di tingkat provinsi antara 1990 dan 2019. Dari analisis beban penyakit jangka panjang,
diperoleh gambaran tentang kemajuan kesehatan di Indonesia dalam rentang 30
tahun dan kemampuannya untuk memenuhi target SDGs pada 2030. Tim ini
menggunakan 1.915.207 baris metadata sebagai sumber untuk menyusun perkiraan
GBD Indonesia 2019. Sebagian dari temuan riset ini antara lain adalah
angka harapan hidup (life expentancy at birth) laki-laki Indonesia meningkat
dari 62,5 tahun menjadi 69,4 tahun dalam rentang waktu 1990 hingga 2019,
meningkat 6,9 tahun. Untuk perempuan, harapan hidup meningkat dari 65,7 tahun
menjadi 73,5 tahun, meningkat 7,8 tahun. Rupanya harapan hidup perempuan
lebih baik daripada laki-laki. Adapun harapan hidup sehat laki-laki (healthy
life expectancy at life/HALE) naik dari 55,5 menjadi 61,2 dan perempuan dari
56,5 naik menjadi 62,9. Angka harapan hidup saat lahir mencerminkan
tingkat kematian populasi sebuah negara secara keseluruhan. Penyebabnya
multifaktor, seperti genetika, ketercukupan gizi dan nutrisi, kesehatan
lingkungan, gaya hidup, dan kualitas layanan kesehatan. Dengan berbagai
faktor ini, terjadi perbedaan angka harapan hidup pada beberapa wilayah dan
negara. Semakin maju dan makmur sebuah negara, biasanya makin panjang usia
harapan hidup warganya. Sebagai pembanding, data terbaru yang dilansir
Worldometers, angka harapan hidup rata-rata warga dunia sekarang 75,6 tahun
untuk perempuan dan 70,8 tahun untuk laki-laki. Indonesia berada di peringkat ke-122 dengan
rata-rata harapan hidup (laki- laki dan perempuan) 72,32 tahun. Kita masih
kalah dari Vietnam yang di posisi ke-84 (75,77 tahun). Apalagi dengan
Singapura yang menempati posisi kelima (84,07 tahun) atau Hong Kong di
peringkat pertama (85,29 tahun). Kembali ke laporan GBD 2019, untuk laki-laki,
Provinsi Bali memiliki angka harapan hidup dan HALE tertinggi, disusul Riau
dan Kalimantan Utara. Sementara Papua, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Utara
ada di urutan terbawah. Untuk perempuan, peringkat tertinggi di Kalimantan Utara,
disusul kemudian Bali dan Jawa Timur. Sementara di urutan terendah adalah
Maluku Utara, Gorontalo, dan Papua Barat. Sepintas tampak ada disparitas mencolok antarprovinsi.
Wilayah Indonesia bagian barat tampak lebih bagus pembangunan kesehatannya
dibandingkan wilayah di Indonesia bagian timur. Yang agak mengherankan, Kalimantan Utara ini
konsisten masuk papan atas bersama Bali, Jakarta, dan beberapa provinsi di
wilayah barat, untuk hampir semua indikator kesehatan. Sementara Maluku Utara
dan Papua kondisinya sebaliknya, konsisten di papan bawah. Secara sederhana, riset ini menggambarkan dua
hal. Pertama, selama hampir 30 tahun Indonesia terus bergerak meningkatkan
kualitas kesehatan warganya, apa pun situasi politiknya. Jika dihitung pada
1990-2019, kita melewati perubahan situasi politik besar, yaitu pergantian
pemerintahan dari zaman Soeharto, era Reformasi yang penuh ketidakstabilan,
dan menuju tatanan yang lebih stabil, hingga era Joko Widodo sekarang ini. Melewati semua periode gejolak itu, pencapaian
kesehatan nasional masih menghasilkan kemajuan, salah satunya dari indikator
meningkatnya angka harapan hidup dan harapan hidup sehat. Kedua, meskipun secara nasional kita bergerak
makin maju dan makin sehat, masih saja ada borok lama yang terjadi sejak
zaman dulu hingga sekarang, yaitu ketidakmerataan pembangunan dan
kesejahteraan antarwilayah. Ini tampaknya borok yang sangat sulit diperbaiki
meskipun berbagai program pemerataan telah dijalankan oleh setiap pergantian
pemerintahan. Angka harapan hidup dan harapan hidup sehat yang
relatif rendah di beberapa wilayah Timur, seperti Maluku Utara dan Papua,
menunjukkan bahwa pemerataan pembangunan kesehatan, dan tentunya sangat
berhubungan dengan pemerataan kesejahteraan, belum berjalan baik selama 30
tahun ini. Noda tengkes di NTT Kesenjangan antardaerah ini tidak hanya tergambar
dalam laporan GBD di atas. Kita bisa melihat data lain yang menggambarkan
kejadian serupa, misalnya pada kasus besarnya prevalensi stunting atau
tengkes. Belum lama ramai diberitakan media, berdasarkan
data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi tengkes di Nusa
Tenggara Timur (NTT) mencapai 37,8 persen, tertinggi di Indonesia. Angka ini
jauh di atas prevalensi tengkes nasional, yaitu 24,4 persen. Setidaknya masih
ada 15 kabupaten di NTT yang masuk kategori merah dalam kasus tengkes. Status
merah, artinya wilayah itu memiliki prevalensi tengkes di atas 30 persen. SSGI 2021 memetakan prevalensi tengkes di 246
kabupaten/kota pada 12 provinsi prioritas. Ada 73 kabupaten/kota yang masuk
kategori merah (prevalensi tengkesnya di atas 30 persen). Ada 122
kabupaten/kota masuk kategori kuning (20-30 persen), ada 51 kabupaten/ kota masuk
kategori hijau (10-20 persen), dan ada dua kabupaten/kota kategori biru (di
bawah 10 persen). Sebenarnya angka prevalensi tengkes secara
nasional menunjukkan perbaikan dilihat dari tren penurunannya, yakni dari
30,8 persen (2018) menjadi 27,7 persen (2019), dan 24,4 persen (2021).
Artinya, masih ada sekitar 23 juta balita yang mengalami tengkes. Ini masih
di atas standar WHO yang mematok batas toleransi prevalensi tengkes 20
persen. Syukurlah kita sudah menurunkan prevalensi
nasional. Namun, belum semua provinsi menikmati ini. NTT paling mengenaskan,
karena ada 15 kabupaten/ kota yang masuk kategori merah, disusul Aceh dan
Sumatera Utara dengan 13 kabupaten/kota yang merah. Padahal, pemerintah sudah membentuk Tim
Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting)/TP2AK yang dimaksudkan untuk
mendukung pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil
(Stunting) di bawah koordinasi Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan
Pembangunan Manusia, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres). Jika begitu, di mana
masalahnya? Penyakit katastropik dan tengkes Sebagai masalah kesehatan nasional, tengkes
sangat berbeda dengan penyakit kanker, jantung atau stroke, gagal ginjal
kronis, diabetes, hipertensi, leukemia, yang digolongkan sebagai penyakit
”katastropik” (malapetaka besar). Penyakit katastropik menyebabkan rusak dan tidak
berfungsinya organ tubuh. Pasien yang berhasil sembuh dari stroke, misalnya,
sering kita dapati sebagian anggota tubuhnya tidak berfungsi normal, atau
tidak bisa bicara lancar alias pelo. Penyakit katastropik bukanlah penyakit
yang menular, tetapi menjadi penyebab terbanyak kematian. Selain itu, penyakit katastropik memerlukan biaya
yang sangat besar untuk menanganinya, baik untuk tindakan awal, pengobatan,
perawatan, maupun ke pemulihan. Sebuah keluarga yang cukup berada bisa sampai
jatuh miskin karena besarnya biaya untuk membiayai pengobatan dan perawatan
anggota keluarganya yang terkena kanker. Berdasarkan data studi Pengeluaran Biaya
Kesehatan Katastropik yang dilakukan di 133 negara, ditemukan bahwa sejak
2005 hingga 2010, kejadian penyakit katastropik ini meningkat dari 9,7 persen
menjadi 11,7 persen. Ada survei lain yang mencakup 89 negara yang menunjukkan
sekitar 150 juta orang menghadapi kejadian penyakit katastropik setiap tahun. Di Indonesia, berdasarkan data Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), penyakit katastropik paling banyak
menyerap biaya klaim dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPJS
mencatat, dari biaya klaim jaminan pelayanan kesehatan senilai Rp 374,86
triliun selama kurun 2016-2020, sekitar 83,31 persen tersedot untuk klaim
biaya layanan rujukan untuk penyakit katastropik. Dengan kata lain, penyakit
katastropik ini menghabiskan kas iuran BPJS secara nasional. Penyakit katastropik ini sangat berbeda dengan
tengkes, yang merupakan kondisi malnutrisi atau kekurangan nutrisi, yang
mengakibatkan lambannya pertumbuhan fisik pada usia anak-anak, dan
menjadikannya rentan terkena penyakit. Secara umum penyebabnya adalah
kemiskinan sehingga tak bisa memberikan makanan yang cukup, baik jumlah
maupun kelengkapan gizinya, ke anak-anak. Jika di sebuah wilayah terdapat banyak anak-anak
tengkes dalam jangka waktu yang cukup lama, bisa diindikasikan di wilayah itu
banyak warganya yang miskin. Biaya untuk menangani tengkes pada dasarnya
sangat ringan, jauh lebih ringan daripada untuk membiayai penyakit kanker
atau gagal ginjal kronis. Anak tengkes hanya perlu diberi asupan nutrisi
yang cukup jumlahnya, cukup bergizi, dan sedikit perbaikan lingkungan,
termasuk menjaga kebersihan kesehariannya agar lebih sehat. Ini tidak
menyerap banyak biaya. Di sekolah atau fasilitas posyandu yang menyebar
sampai ke desa, misalnya, bisa secara rutin diberikan beberapa jenis makanan
tambahan, seperti bubur kacang hijau, susu, sayuran, dan umbi-umbian, pada
anak. Total biaya kebijakan afirmatif kesehatan semacam
ini masih jauh lebih sedikit dibandingkan total biaya yang disedot untuk
penanganan penyakit katastropik. Metode sederhana ala posyandu seperti ini
sudah lama dipraktikkan dan cukup efektif, dan tentu saja masih banyak metode
lain yang bisa diterapkan. Itulah setidaknya yang bisa di lakukan dalam
program jangka pendek. Untuk jenis penyakit lain seperti malaria, boleh
dibilang sudah makin jarang ditemui. Demikian juga demam berdarah dengue,
makin hari makin teratasi, terutama sejak dikembangkannya metode penyebaran
nyamuk Aedes aegypti jantan yang sudah diinfeksi dengan bakteri wolbachia.
Nyamuk Aedes aegypti betina yang kawin dengan jantan yang terinfeksi
wolbachia telurnya tak bisa menetas sehingga terputuslah mata rantai
berkembang biaknya. Bahkan, untuk wabah Covid-19 yang baru belakangan
merebak pun, para ilmuwan kita sudah bisa mengembangkan dan memproduksi
vaksin sendiri. Pada 4 November lalu, vaksin yang diberi nama Inavac
Unair-Biotis ini mendapatkan izin edar daruratnya dari Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM). Ini hanya sekadar mencontohkan keberhasilan
pencarian sains dan iptek untuk mengatasi penyakit-penyakit yang sudah lama
tersebar. Namun, mengapa untuk tengkes, belum ada langkah pencegahan dan
penanganan yang cukup sistematis sehingga selama ini penanganannya lebih
sering bersifat ad hoc dan serba darurat? Kembali ke laporan GBD, kita tentu bersyukur
bahwa dalam tiga dekade ini angka harapan hidup dan harapan hidup sehat
secara nasional membaik cukup signifikan. Tentu saja ini karena multifaktor
dan kontribusi banyak pihak. Selama tiga dekade, besaran APBN kita terus
meningkat berkali lipat. Bahkan, berdasarkan data paritas daya beli yang
dilansir Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia saat ini urutan ketujuh
negara yang memiliki produk domestik bruto (PDB) terbesar, mengalahkan
Inggris di peringkat kedelapan. Dengan sendirinya, anggaran untuk membangun
kesehatan nasional, baik yang ditangani langsung oleh Kementerian Kesehatan
maupun oleh lembaga lainnya secara tidak langsung, juga terus meningkat
berkali lipat. Oleh karena itu, peningkatan angka harapan hidup
dalam rentang 30 tahun sebenarnya adalah pencapaian yang wajar saja. Justru
yang tampak kurang wajar adalah mengapa untuk masalah tengkes masih belum
bisa tertangani? Garda terdepan untuk penanganan tengkes adalah
pemerintahan lokal. Diperlukan inisiatif dan kepemimpinan lokal untuk
menyertakan berbagai sumber daya dalam penanganan tengkes. Daerah yang memiliki banyak anak tengkes bisa
diindikasikan merupakan daerah miskin, pendapatan asli daerahnya kecil. Maka,
perlu dana dari pusat entah lewat dana alokasi khusus (DAK), dana
perimbangan, dana bagi hasil (DBH), dan bentuk lain transfer pusat ke daerah,
misalnya untuk membiayai extra fooding bagi anak-anak miskin. Tentu saja dana bukanlah segalanya. Inisiatif dan
kepemimpinan lokal yang mumpuni dan bekerja sama dengan berbagai pihak tidak
kalah pentingnya dibandingkan dengan kebutuhan dana. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/21/rapor-kesehatan-nasional-kita |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar