Gempa Cianjur dan
Cerita Lara Para Korban Linda Trianita : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
November 2022
HASAN Basri tengah
berzikir di Masjid Nurul Huda di Kampung Ciwaru, Desa Gasol, Cugenang,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, bakda zuhur, Senin, 21 November lalu. Sesaat
sebelumnya, tokoh agama Kampung Ciwaru itu baru rampung memimpin salat
berjemaah. Ketika laki-laki 77 tahun itu khusyuk merapal doa, tiba-tiba atap
dan tembok masjid berjatuhan dengan cepat. Detik itu, gempa
Cianjur terjadi. Tunggang-langgang Hasan
menghambur ke luar masjid. Tongkat dan serban yang tertinggal di sana tak ia
pikirkan lagi. Di luar masjid, Hasan menyaksikan debu mengepul. Rumah di
depan, samping, dan belakang masjid roboh terlantak gempa. “Padahal gempanya
tidak lama, paling lima detik,” ujar Hasan kepada Tempo, Kamis, 24 November
lalu. Mengiringi gempa
berkekuatan magnitudo 5,6 yang telah rampung, jerit dan tangis anak-anak
serta kaum ibu menggema di Ciwaru. Banyak penduduk meneriakkan kalimat tauhid
dan takbir. Kepanikan muncul dari berbagai penjuru. Hasan berlari ke rumahnya
yang berjarak hanya sepuluh meter dari masjid. Griya itu runtuh sudah. Hasan
berteriak-teriak memanggil istrinya, Siti Mastianah. Ia kira Mastianah
terkubur di reruntuhan rumah. Mastianah membalas teriakan suaminya. Ia lantas
menangis di pelukan Hasan. Sambil terisak, Mastianah mengatakan anak mereka,
Abdul Rojak, ada di dalam rumah yang runtuh. Kembalilah Hasan ke masjid.
Dengan panik ia menabuh kentongan di depan masjid berkali-kali. Sebagian
warga Ciwaru berkumpul. Belum sempat Hasan mengutarakan kondisi Rojak,
seorang di antara mereka mengatakan istrinya tertimpa tembok di gang. Yang
lain bersaksi serupa. “Kami putuskan menolong satu per satu,” kata
Hasan. Rojak ditemukan masih
hidup. Namun kepalanya berdarah dan kaki kanannya patah. Hasan membawa
putranya ke Rumah Sakit Umum Daerah Cimacan, melalui jalur alternatif. Saat
itu, jalan utama terputus akibat tanah longsor. Hasan bersyukur anggota
keluarganya tak ada yang meninggal. Tapi dia tak lagi memiliki tempat tinggal
akibat lindu. Kampung Ciwaru
diperkirakan sebagai pusat pergeseran Sesar Cimandiri yang mengakibatkan
gempa Cianjur. Ketua RT 1 RW 4, Ciwaru, Ujang Kamur, mengatakan gempa yang
terjadi hari itu tak seperti sebelum-sebelumnya yang biasa dimulai dengan
getaran kecil. “Gempanya seketika pisan. Ujug-ujug rumah ambruk,” ujar Kamur. Nyaris tiada waktu bagi
warga Ciwaru menyelamatkan diri. Setidaknya 15 orang menjemput ajal. Tak
hanya di dalam rumah, mereka yang meninggal juga ditemukan di sejumlah gang.
Tertimpa rumah di kanan-kiri jalan. Di antaranya, dua perempuan yang baru
pulang dari warung. Kamur langsung meminta warga menyelamatkan para korban
dengan peralatan seadanya. Sekitar satu jam setelah
gempa yang terjadi pada pukul 13.20 itu, Kamur bergegas ke kantor desa untuk
mencari pertolongan. Sepanjang jalan, ia menyaksikan hampir semua bangunan
rata dengan tanah. Bukan hanya rumah kecil, yang gedongan pun ikut roboh
diamuk lindu. Di Desa Gasol, yang terdiri atas tiga dusun, sekitar 90 persen
rumah rusak. Hingga Sabtu sore, 26
November lalu, setidaknya 318 orang meninggal akibat gempa Cianjur. Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto mengatakan personel
lembaganya bersama aparat Pemerintah Kabupaten Cianjur dan relawan akan terus
mencari penduduk yang hilang. “Kami terus mengupayakan evakuasi,” tutur
letnan jenderal Tentara Nasional Indonesia itu. Lindu juga mengakibatkan
4.630 orang mengalami luka-luka dan membuat hampir 74 ribu jiwa menjadi
pengungsi. BNPB mencatat 22 ribu rumah rusak berat, 22 ribu rusak sedang, dan
hampir 12 ribu rusak ringan. Di 15 kecamatan di Cianjur, 124 tempat ibadah,
31 sekolah, 10 perkantoran, dan 3 pusat layanan kesehatan rusak terkena
dampak gempa. Pemerintah memastikan akan
memberi bantuan untuk warga yang rumahnya rusak. Nilainya Rp 10 juta, Rp 25
juta, dan Rp 50 juta, dari kategori rusak ringan ke berat. “Pemerintah masih
berfokus mencari dan mengevakuasi korban,” ujar Presiden Joko Widodo. Salah satu kerusakan
terhebat berlokasi di Jalan Raya Nasional Cugenang. Setidaknya delapan
kendaraan tertimbun tanah longsor sepanjang 300 meter dan bertebal 30 meter.
Puluhan rumah dan warung luluh-lantak. Ada 13 korban bisa dievakuasi dan 9
orang masih terjebak di kendaraan. Ketika gempa Cianjur
terjadi, Abdul Gofur, 40 tahun, sedang berada di pusat kota. Ia tak merasakan
guncangan yang hebat. Gofur tak terlalu risau. Hingga istrinya mengabarkan
bahwa rumah mereka di Kampung Ciherang, Kecamatan Pacet, roboh. Seketika
Gofur panik. Bukan hanya kondisi rumah yang menjadi pikirannya, tapi juga
keselamatan putranya, Fiziar Al-Fahrizi. Kala itu Fiziar, 10 tahun,
sedang mengikuti kegiatan mengaji di sekolahnya, Sekolah Dasar Tahfidz Khoiru
Ummah. Gofur memacu sepeda motornya secepat mungkin menuju rumah. Dari
tetangganya yang anaknya juga bersekolah di Tahfidz Khoiru Ummah, Gofur
mendapat informasi bahwa Fiziar berada di rombongan murid yang pulang naik
angkutan kota setelah mengaji. “Saya langsung panik,” katanya. Ada dua angkot mengangkut
murid SD Tahfidz Khoiru Ummah. Jalurnya melewati Jalan Raya Nasional
Cugenang. Angkutan yang membawa rombongan murid perempuan berhasil lolos.
Namun mobil yang mengangkut murid laki-laki, termasuk Fiziar yang duduk di
kelas V, dan seorang guru tertimbun tanah longsor. “Istri saya menangis terus
dan berdoa agar anak kami ditemukan,” ujar Gofur sembari menyeka air mata. Sekitar dua jam setelah
gempa, Gofur mendatangi kawasan tanah longsor di Jalan Raya Cugenang. Ketika
itu petugas menyampaikan bahwa sudah ada lima korban dievakuasi, yaitu dua
orang dewasa dan tiga anak-anak. Dari jumlah itu, empat orang meninggal dan
satu anak lelaki masih hidup. Mereka dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah
Cimacan. Berharap anaknya masih
hidup, Gofur bergegas menuju rumah sakit. Ia harus menempuh jalur memutar
karena jalan utama tertutup tanah longsor. Begitu tiba di sana, ia langsung
menuju instalasi gawat darurat. Namun Fiziar tak ada di sana. Kaki Gofur
bagai lemas tak bertulang saat seorang petugas kesehatan menyarankannya pergi
ke kamar jenazah. Gofur menyaksikan delapan
tubuh berjejer dalam kondisi kaku. Ia mengenali salah satunya sebagai guru
mengaji Fiziar. Matanya lantas bergerak mengamati jenazah anak-anak. Kafan
sudah menutupi tubuh mereka dan hanya menyisakan bagian kepala. Mata Gofur
langsung tertuju pada jenazah yang dikenalinya. Ia meraung sembari menyebut
asma Fiziar. Gempa Cianjur membuat separuh hidup Gofur dan istrinya hilang. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/nasional/167513/gempa-cianjur-dan-cerita-lara-para-korban |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar