Bandara
Kertajati, Getah dari Jalur (Asal) Cepat PSN Reja
Hidayat : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 26 November 2022
Empat tahun lalu, maskapai Lion Air melayani
penerbangan umrah dari Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati ke
Madinah, Arab Saudi. Diwarnai karut-marut terkait akses, penerbangan
"jalur basah” itu pun terancam mengering. Penerbangan perdana tersebut disaksikan langsung
oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Namun sayang, layanan tersebut tak
bertahan lama karena akses menuju bandara yang masih buruk dan sepi
penumpang. Maskapai PT Garuda Indonesia Tbk tahun ini
menapak di jejak yang kian ditinggalkan Lion Air. Perusahaan pelat merah
tersebut memberangkatkan 224 jemaah dari Jawa Barat dan sekitarnya menuju
Tanah Suci pada 20 November lalu dengan sistem sewa (carter). Penerbangan tersebut menjadi sorotan beberapa
kalangan, karena ternyata hanya separuh dari yang sempat dijanjikan pihak
Kanwil Kementerian Agama Jawa Barat, yakni sebanyak 400 jamaah. "Yang kemarin terbang sekitar 224 jamaah dan
ada artisnya. Sekarang ada yang terbang? Enggak. Kapan terbang lagi juga
masih kurang jelas," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara
Haji Umrah dan Inbound Republik Indonesia (Asphurindo), Muhammad Iqbal
Muhajir kepada Tirto, Senin (21/11/2022). Selama ini, asosiasi sudah sering mendengar
pemerintah Jawa Barat dan pemerintah pusat mempromosikan Bandara Kertajati
untuk pemberangkatan umrah dan haji. Promosi itu sudah dilakukan sebelum
bandara selesai konstruksi. Pada Mei 2018, misalnya, BIJB mulai sosialisasi
layanan penerbangan haji dan umrah kepada 150 biro agen perjalanan. Demi
melihat realisasi penerbangan umrah pada 20 November lalu, para pengusaha
travel tidak teryakinkan begitu saja. Bagi mereka, ada persoalan yang tak juga selesai
yakni akses jalan dan harga tiket dari Bandara Kertajati yang lebih mahal
dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta). Para penyedia travel
umrah pun memilih memberangkatkan jamaahnya dari Ibu Kota. Persoalan lain adalah harga harga avtur (bahan
bakar pesawat) yang lebih mahal di BIJB ketimbang di Bandara Soetta dan
Bandara Halim Perdanakusuma. Seperti diketahui, salah satu variabel pembentuk
harga tiket pesawat adalah ongkos pembelian avtur. Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi
Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (DPP AMPHURI) Farid
Aljawi menyebut harga tiket yang lebih mahal menjadi permasalahan. Namun, dia
enggan menyebut angkanya. Permasalahan lainnya adalah akses. Perjalanan
dari Bandung ke Bandara Kertajati melalui tol Cipularang-Cipali
(Cikopo-Palimanan) menempuh jarak 178 kilometer (km) dengan tarif Rp142 ribu,
dua kali lipat biaya dari Bandung ke Soetta yang hanya Rp67 ribu. Di sisi lain, perjalanan melewati Jatinangor,
Sumedang, menempuh jarak 105 km atau 2 jam 50 menit. Padahal jika tol
Cisumdawu beroperasi, jarak Bandung- Kertajati sebenarnya hanya 61 km. Situasi ini yang membuat pengusaha travel umrah
enggan melakukan penerbangan melalui Bandara Kertajati. "Ada satu cara
agar bisa terbang dari Kertajati, yakni harga. Jarak dan durasinya juga lama,
di atas dua jam," ungkap Farid kepada Tirto pada pekan kedua November.
“Kalau harga sama dan fasilitas jauh berbeda segala macam, ya repot.” Bandara yang berlokasi di Majalengka ini memang
problematik, baik ketika dibangun maupun ketika dibuka resmi pada 24 Mei
2018. Dengan terminal seluas 83.700 m2, bisa dibayangkan betapa sepinya
suasana bandara tersebut. Begitu sepinya, Bandara Kertajati dan lainnya
seringkali disebut mirip kuburan, meski investasinya sangat besar. Bandara
Kertajati, misalnya, menelan biaya hingga Rp2,6 triliun. Sejak Awal
Sudah Keliru Pembangunan Bandara Kertajati direncanakan sejak
era Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan. Studi kelayakan dimulai pada 2003
oleh PT Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB, dan izin
penetapan lokasi turun sejak 2005. Lalu proses konstruksi dimulai di era
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
ITB Prof Harun Al-Rasyid Lubis menilai kajian studi kelayakan Bandara
Kertajati teramat buruk. Menurut dia, kajian setebal 5 cm itu bukan untuk
melihat hasil yang sebenarnya, melainkan hanya untuk memenuhi aspek
formalitas. "Mereka kaji biar layak bukan bagaimana
sebenarnya. Tapi itu pula yang didorong sama pengusaha. Pengusaha ini mau
nangkap lahan," kata Harun yang memiliki hasil kajian itu, pada Kamis
(17/11/2022). Sebenarnya, ada tiga kandidat bandara sebelum
diputuskan BIJB. Pertama, Bandara Karawang, kedua Bandara Cirebon, ketiga
Bandara Kertajati. Pemilihan bandara tersebut lebih karena aspek politis
ketimbang teknis. Harun menilai sebuah kajian mestinya bersifat
transparan, bottom up, dan dilakukan oleh konsultan independen. Semuanya
harus dipagari dengan kelayakan teknis, ekonomis, finansial dan lingkungan. Bahkan, para pihak yang berkepentingan dalam
proyek pemerintah seringkali menggunakan kampus. Menurut Harun, PT Lapi ITB
dipakai hanya sebagai stempel keabsahan kajian padahal proyek pembangunan itu
sebenarnya tidak layak dijalankan dari parameter ‘kebutuhan.’ "Harus dibuat standar operating procedure
(SOP) studi kelayakan. Membangun enggak ada kajian, tapi model gitu banyak
kejadian. Kajian kelayakan harus ada standarnya. Karena enggak di pagar,
diakrobat aja itu. Dia bilang sudah layak, padahal belum. Ini
kenyataan," kata Harun. Eks Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria
(TPPKA) Kantor Staf Kepresidenan (KSP) sekaligus Direktur Lokataru Iwan
Nurdin menilai ada aspek ketidakhati-hatian dalam membangun proyek
infrastruktur di Indonesia. Jika di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) proyek berakhir mangkrak karena tak berlanjut, maka di era Presiden
Joko Widodo (Jokowi), proyek justru mangkrak setelah selesai dibangun.
Hasilnya tak sesuai target awal akibat kurang komprehensifnya studi kelayakan. Faktor inilah yang menurut Iwan menyebabkan BIJB
sepi sampai sekarang. Begitu pula dengan bandara Jogja. Dia menyerukan
pemerintah mengkaji ulang rencana pembangunan bandara baru sebab hampir
seluruh bandara di Indonesia tidak didasarkan konsep perencanaan yang kuat. "Dengan dasar pemikiran itu saya menyarankan
pemerintah meninjau kembali rencana pembangunan bandara-bandara baru. Kapan
perlu berani untuk mengoreksi keberadaan bandara-bandara yang lama,"
kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter
Abdullah kepada Tirto pertengahan September lalu. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024, ada 21 bandara baru yang harus diselesaikan
sebelum tahun 2024. Beberapa bandara baru selain BIJB juga bernasib sama,
'mati suri'. Misalnya, Bandara Ngloram, Blora yang diresmikan
oleh Presiden Jokowi Desember lalu. Hingga saat ini tidak ada jadwal
penerbangan yang beroperasi pada rute dari maupun ke bandara yang berada di
Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini. Efek Jalur
Cepat Bernama PSN Di era Jokowi, pembangunan infrastruktur sangat
masif. Pemerintah daerah dan pengusaha berlomba-lomba memasukkan proyek
mereka ke daftar proyek strategis nasional (PSN) yang dulu bernama masterplan
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI). Ketika masuk daftar PSN, kucuran dana APBN,
pembebasan lahan, dan jaminan pendanaan bakal dipermudah. Bandara yang
menikmati status PSN adalah BIJB, Bandara Kediri-yang dibangun PT Gudang
Garam Tbk, dan Bandara Komodo, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Pembangunan Bandara Kertajati, misalnya,
direncanakan hampir 13 tahun hingga melalui dua pergantian presiden. Pada
2016, bandara ini masuk PSN yang tertuang di Peraturan Presiden (Perpres) No
3 tahun 2016 dan Perpres No 56 tahun 2018. Perubahan status itu membuat pembangunan menjadi
sangat cepat, bahkan sangat mudah membebaskan lahan atas nama pembangunan.
"Proyek bersandar pada PSN, proses pengadaan tanah lebih merugikan
masyarakat," kata Iwan Nurdin Karena kejar tayang, proses ganti lahan biasanya
merugikan masyarakat sehingga memicu kerugian karena ketidakhati-hatian
berupa salah orang, salah ukuran, dan salah hitung nilai. Bandara Komodo juga masuk PSN dan banyak
dikritik. Proyek revitalisasi bandara ini dinilai hanya memuluskan bisnis
resort dan wisata yang dinilai merusak cagar alam Pulau Komodo, Padar, Rinca,
dan Tatawa dengan total luas konsesi mencapai 463,49 hektare. Status PSN juga memungkinkan proyek
infrastruktur--yang semula tak memakai dana negara--tiba-tiba bisa ditalangi
duit APBN, yang terkumpul dari keringat rakyat. Hal ini terjadi dalam kasus
Bandara Kertajati dan proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung. Untuk “menyelamatkan” Bandara Kertajati,
pemerintah membangun tol Cisumdawu. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono
menyebutkan konstruksi tol Cisumdawu seksi I dan II dilaksanakan oleh
pemerintah karena ruas tersebut masih belum feasible secara bisnis. Dua seksi tol tersebut mendapatkan pinjaman
sebesar Rp3,4 triliun dari China, sedangkan seksi 3 dan 6 ditawarkan kepada
swasta dengan menelan biaya konstruksi sekitar Rp2 triliun. "Udah dipilih ya sudah, tapi ada risiko.
Pilih tertentu trafiknya kurang, ada resiko. Ujung-ujungnya seperti itu,
apalagi dunia penerbangan. Untuk menunggu itu harus disubsidi dulu, harus
tekor-tekoran dulu Jawa Barat maupun pemerintah pusat," ucap Harun. ● Sumber :
https://tirto.id/bandara-kertajati-getah-dari-jalur-asal-cepat-psn-gy7T |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar