Memanjatkan
Doa Fariz
Alnizar : Munsyi di Universitas Nahdlatul
Ulama Indonesia, Jakarta |
KOMPAS, 22 November 2022
Mengapa puja-puji, rasa syukur, harapan, dan doa
sering dirangkai dengan lema memanjatkan? Menurut perkiraan akademik, hal itu
bertalian erat dengan akar kosmologi kepercayaan agama-agama kuno yang ada di
Nusantara. Rohman Budjianto (2010) mengatakan, kehadiran
lema memanjatkan sesungguhnya berangkat dari tradisi beribadah agama
Kapitayan. Agama ini memiliki akar kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada
di dunia ini memiliki roh dan kekuatan. Agama ini sangat memedulikan kosmologi dan
keseimbangan alam. Singkatnya, agama ini percaya bahwa pada benda-benda yang
tinggi, besar, serta menjulang, kekuatan Tuhan bersemayam. Belakangan,
sebagian pendapat mengatakan, agama Kapitayan ini lebih dikenal atau
dipeyorasikan oleh kolonialisme sebagai agama animisme-dinamisme. Agama Kapitayan memiliki tradisi beribadah dan menyembah
kepada sesuatu yang paling tinggi di muka bumi ini. Apakah benda tertinggi di
muka bumi ini? Jawabannya bukan gunung, melainkan pohon. Sebab,
setinggi apa pun gunung, ia pasti ditumbuhi pepohonan. Maka, yang tertinggi
di muka bumi ini menurut keyakinan mereka adalah pohon. Pada pohon-pohon
itulah mereka percaya ada kekuatan besar yang bersemayam di dalamnya. Bermula dari sanalah tradisi memberikan sesaji
dan berdoa lahir. Dari sana pula lahir lema memohon yang dekat dan erat
sekali hubungannya dengan pohon. Secara filosofis, memohon itu muncul dari
lema pohon. Karena nenek moyang kita mengudarakan doanya
kepada Tuhan melalui media pohon, besar kemungkinan alam imajinasi mereka
gentayangan dan membayangkan bahwa doa, puja-puji, dan syukur itu merangkak
naik kepada yang ”di atas” atau Tuhan dengan cara memanjat. Lema memanjat praktis
berasal dari pertalian antara pohon dan memohon. Hal itu terbukti dengan, misalnya, mengapa
teknologi hari ini, yang kian hari kian canggih, tidak berhasil mengubah tata
bahasa beragama masyarakat kita? Mengapa masyarakat kita bergeming untuk, misalnya,
mengganti lema memanjatkan dengan melemparkan doa atau meluncurkan doa?
Pertanyaan menarik untuk bisa ditelaah lebih lanjut. Maka, jika ada yang menyimpulkan bahwa
memanjatkan pada memanjatkan puji syukur itu berawal dari memunajatkan
tidaklah sepenuhnya salah, tetapi juga tidak seratus persen benar. Pada aras
inilah saya tidak sependapat dengan Damiri Mahmud (2017) yang menyebutkan
bahwa doa yang dipanjatkan itu layaknya beruk yang merangkak memanjat pohon. Saya juga menolak pendapat yang menautkan
filosofi menanam sirih dengan memanjatkan doa. Menanam sirih memang memiliki
irisan kesamaan dengan memanjatkan doa, yakni dibutuhkan kesungguhan dan
kekhusyukan, tetapi irisan kesamaan itu tidak menyentuh ranah
kosmologis-historis yang lebih erat pertaliannya dengan kemuculan memohon dan
memanjatkan doa. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/11/memanjatkan-doa |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar