Jakarta
Kini dan Nanti Heru
Budi Hartono : Kasetpres RI dan Pj Gubernur DKI
Jakarta |
KOMPAS, 21 November 2022
Jakarta segera akan berganti status, tidak lagi
sebagai ibu kota. Status ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia akan
beralih dari Jakarta ke Nusantara. Mungkin banyak yang bertanya, seperti apa
visi dan arah Jakarta ke depan? Sebagai praktisi di pemerintah pusat yang juga
dipercaya mengemban jabatan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, penulis
membaca Jakarta ke depan sebagai metropolitan yang menjadi pusat bisnis,
sebuah kota global berketahanan, berbasis transit dan digital. Tulisan ini hendak mengurai fakta dan data yang
kemudian memungkinkan persiapan Jakarta menyongsong status baru yang bisa
disebut sementara sebagai kawasan strategis nasional. Jakarta sebagai poros ekonomi Jakarta yang multidimensional telah tumbuh menjadi
pusat bisnis nasional dan global. Jakarta hadir sebagai provinsi terpadat
dengan lebih dari 10 juta penduduk yang menetap dan di saat yang sama
mendukung dan menyokong lebih kurang 20 juta penduduk Bodetabek (Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang bekerja di Jakarta. Ini bukan angka yang sedikit. Tidak mengherankan
hari-hari kerja di Jakarta dibanjiri oleh jutaan manusia yang datang dan
pergi bekerja di wilayah Jakarta. Hal ini mensyaratkan ketersediaan sarana
transportasi publik yang menyokong sekaligus nyaman untuk masyarakat dalam
mobilisasi. Kepadatan dan kesibukan Jakarta menjadi dapat
dimengerti karena lebih dari 100 juta perjalanan (trip) yang terjadi setiap
hari di Jakarta. Ini tentu juga membutuhkan solusi, terutama terkait
penanganan kemacetan di Jakarta. Namun, di sini pembahasan difokuskan pada
sumbangan Jakarta untuk ekonomi Indonesia. Karena tingginya gairah ekonomi
akibat mobilisasi itu, tidaklah mengherankan Jakarta berkontribusi sebanyak
17 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dari akumulasi 25
persen kontribusi Jabodetabek terhadap PDB nasional. Dengan kata lain,
seperempat pendapatan negara bergulir di Jabodetabek. Tidak berhenti sampai di situ dalam upaya
mendongkrak roda ekonomi, sebelum pandemi Covid-19, Jakarta telah menyumbang
5-6 persen pertumbuhan ekonomi nasional dan sebesar 60-70 persen penerimaan
pajak nasional. Pertimbangan dan pembelajaran Jakarta hanya berganti sebagai kota yang tidak
lagi menyandang status ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan
tetapi, Jakarta akan terus menjadi pusat bisnis dan kota global. Bagaimana kemudian mengelola dan
mengembangkannya? Jawabannya ialah Jakarta sebagai poros ekonomi yang berketahanan,
berbasis transit dan digital. Jakarta menyadari dengan sungguh peran penting
dan sumbangsihnya terhadap perekonomian nasional dan daerah-daerah di
sekitarnya. Maka, tentu saja tetap diperlukan dukungan
pemerintah pusat terhadap repositioning Jakarta ke depan. Menempat-ulangkan Jakarta sebagai bukan lagi ibu
kota menjadi kajian tersendiri. Optimalisasi lahan eks kementerian dan eks
badan usaha milik negara sebagai sumber pendanaan kiranya menjadi pemikiran
setelah kantor-kantor administratif pemerintah pusat dipindahkan secara
bertahap, tetapi akan definitif, ke Ibu Kota Nusantara. Kota Sejong, Korea Selatan, dapat menjadi
percontohan terkait proyek pemindahan ibu kota. Pada 2005, Sejong ditetapkan
melalui undang-undang khusus yang bertujuan untuk merelokasi dua pertiga
instansi pemerintahan dari kota Seoul. Selama empat tahun, dari 2007 sampai
2011, pembangunan dimulai dan proyek konstruksi dilaksanakan. Pada 2012, Pemerintah Korea Selatan mulai
memindahkan instansi dan penduduk secara bertahap. Baru di tahun 2015 fungsi
administratif pemerintah beroperasi di Sejong. Akibatnya, Sejong menampung
total penduduk sejumlah 250.000 jiwa di tahun 2016 dan ditargetkan mencapai
populasi sebanyak 500.000 jiwa pada 2030. Berkaca dari pengalaman Korea Selatan ini,
pemindahan ibu kota tidaklah instan. Ada proses bertahap, membutuhkan waktu
dan perencanaan yang matang serta dilakukan dengan lembut (smooth) terkait
pemindahan ibu kota. Menatap Jakarta ke depan Menatap (visioning) Jakarta setelah pemindahan
ibu kota negara setidaknya melibatkan tiga hal, yaitu fondasi, pilar, dan
tujuan pengembangan Jakarta ke depan. Pertama, fondasi yang tentunya kuat untuk terus
mengembangkan Jakarta ialah membentuk pemerintahan Jakarta yang adaptif
terhadap perkembangan nasional dan global, inovatif terkait perubahan dan
tantangan yang ada, serta adanya sinergisitas dalam membentuk ketahanan
ekonomi. Moto ”Greater Jakarta” tentunya berkesinambungan
dan diupayakan dalam keseluruhan konstelasi kehidupan multiaspeknya. Hal ini
menuntut pula kapasitas fiskal yang kuat untuk terus mendorong pengembangan. Kedua, setidaknya ada lima pilar yang berdiri di
atas fondasi di atas, yang menyokong Jakarta ke depan, yaitu tetap menjadi
kontributor utama perekonomian nasional berbasis kota sebagai pilar pertama. Pilar lainnya adalah memberikan kesejahteraan dan
kemajuan bagi warga lokal dan global yang ada dan bekerja di Jakarta; ruang
kota yang kompak, lestari, dan berkeadilan terkait tata ruang; mobilitas
orang dan barang yang efisien dan efektif demi ekonomi yang lancar; serta
Jakarta sebagai kota tumbuhnya bisnis dan ekosistem digital. Fondasi dan pilar ini akhirnya bertujuan untuk
mewujudkan Jakarta sebagai kota bisnis dan pusat perekonomian nasional
berskala regional dan global yang lestari, berbudaya, yang menjunjung tinggi
keadilan dan kesejahteraan. Inilah yang kiranya penting untuk menatap Jakarta
ke depan. Peran dan isu strategis Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyebutkan bahwa Jakarta adalah bagian
dari kawasan strategis nasional bersama dengan kota Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Jakarta berinteraksi secara intensif dengan
kota-kota sekitar dan semakin meluas melampaui batas-batas administrasi.
Diperlukan tata ruang kolaboratif antara Jakarta dan kota-kota itu. Jabodetabekpunjur akan menjadi kawasan yang terus
berkembang dengan isu-isu seperti kebutuhan lahan penataan pantai utara,
sampah dan sanitasi, kemacetan, ketersediaan air bersih, permukiman kumuh,
dan banjir. Maka, peningkatan layanan transportasi untuk integrasi logistik
(pelabuhan dan bandara) dan integrasi trayek angkutan umum dari dan ke
Jakarta di wilayah Jabodetabek menjadi penting. Setidaknya ada lima hal terkait, yaitu
pengembangan transportasi massal berbasis rel dan basis jalan raya bekerja
sama dengan PT KAI, pengembangan park and ride, revitalisasi stasiun dan
terminal, pembangunan MRT East-West dan MRT Fase 4 (Fatmawati-Taman Mini),
serta pembangunan LRT (Manggarai-Velodrome). Selain upaya-upaya di atas, pemberian bantuan
kepada kota-kota sekitar senantiasa diupayakan. Penyediaan, perencanaan, dan
pengendalian jaringan prasarana berupa Sistem Pengelolaan Air Minum Jatiluhur
dan Karian, persampahan berupa Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar
Gebang, serta penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau terus
dikembangkan dalam keseluruhan kerja untuk Jakarta. Dari uraian di atas, kiranya menjadi jelas arah
Jakarta ke depan sebagai bagian dari kawasan strategis nasional. Dengan
upaya-upaya pengembangan dan terobosan baru di segala bidang, Jakarta tetap
akan berkembang menjadi kota global kendati status ibu kota tidak lagi
melekat padanya. Kota Jakarta memiliki arah ke mana seharusnya
menuju, yaitu menjadi kota yang berketahanan, tetap menjadi persinggahan dan
mobilitas jutaan orang, serta menjadi sentra bisnis yang terbuka terhadap
perkembangan teknologi. Dengan sinergi dan integrasi di segala bidang, Jakarta
optimistis menghadapi tantangan dan peluang di masa depan. Sukses Jakarta untuk Indonesia! ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/20/jakarta-kini-dan-nanti |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar