Gempa
Cianjur dan Rekonstruksi Pendidikan IGK
Manila : Gubernur Akademi Bela Negara
(ABN) Partai NasDem Anggota merangkap Sekretaris Majelis Tinggi Partai NasDem |
MEDIA INDONESIA, 24 November 2022
SEJAUH ini, jumlah korban meninggal dunia setelah
terjadi gempa di Cianjur (Senin, 21 November 2022) yang ditemukan sudah
mencapai 268 serta korban luka berat dan ringan yang tak sedikit. Rumah-rumah
dan fasilitas umum yang rusak mencapai ribuan. Bukan kerja yang mudah untuk
membangun kembali semua itu. Bersama ini, saya mendoakan semoga warga yang
terdampak cepat pulih secara psikologis dan bisa bangkit, berusaha membangun
kembali, bekerja sama dengan segenap pihak yang telah bersedia membantu.
Bukan hal yang mudah melakukan itu, tetapi bagaimanapun juga harus dilakukan. Para korban yang dengan cepat bisa diurus, mereka
yang dibawa mengungsi sementara ke rumah sanak-keluarga di wilayah sekitar
yang tidak terdampak, ke Bandung, Bogor dan lainnya, tentu lebih beruntung.
Akan tetapi, jumlah mereka yang bergantung pada cepat tanggap pemerintah dan
khalayak berlipat kali jauh lebih banyak. Bagi mereka, ini kita sama-sama
secepatnya mengulurkan tangan. Saya juga mengimbau di tengah menghangatnya
politik Tanah Air menjelang 2024, supaya para politikus, pejabat-pejabat
publik, media massa, pengamat politik, dan siapa pun yang hobi berbincang
politik supaya mengalihkan energi ke Cianjur. Energi yang pasti besar
jumlahnya itu akan lebih berarti dan bermanfaat. Ini merupakan saat
pembuktian idealisme dan ideologi, nasionalisme dan kemanusiaan. Bukan saat
yang tepat untuk mengumbar nafsu politik. Begitu pula dari mimbar-mimbar keagamaan. Doa dan
bantuan ialah hal terpenting. Ceramah dan khotbah yang menyalahkan tak ada gunanya.
Pemimpin agama yang paling hebat, dalam agama apa pun juga, ialah mereka yang
mampu berempati, yang menangis tulus ketika terjadi bencana, yang buru-buru
mendekati jamaah atau jemaatnya, dan meminta mereka segera mengulurkan
tangan. Pendidikan Duka dan kesedihan kita kini tambah mendalam
ketika banyak dari korban ternyata murid-murid sekolah karena gempa terjadi
pada jam pembelajaran. Gempa merusak 51 pusat pendidikan: 30 gedung sekolah
dasar, 12 sekolah menengah pertama, 1 sekolah menengah atas, 5 sekolah
menengah kejuruan, dan 1 sekolah luar biasa. Oleh karena itu, ketika penampungan pengungsi,
yang mana para korban bisa bernaung sementara di tengah musim hujan yang
belum usai ini merupakan salah satu hal terpenting, tak kalah penting juga
membangun sekolah-sekolah darurat atau pusat-pusat trauma healing anak-anak.
Itu karena kita tahu jika mereka tidak terfasilitasi secara
psikologis-edukatif dalam jangka waktu yang panjang, akan muncul persoalan
generasional yang lebih tidak mudah diselesaikan. Modal dan energi pendidikan yang ada di negeri
mengatasi penghamburan biaya untuk birokratisasi yang tak berkesudahan atau
pengadministrasian pendidikan yang mubazir, serta debat mahal dan panjang
soal kurikulum harus dialihkan. Ini merupakan waktu yang mana kesadaran akan
hakikat tujuan pendidikan yang berakar pada nurani dan akal budi lebih
penting didahulukan. Less is more, kata orang dari Barat sana. Anak-anak kita di Cianjur memerlukan para
pendidik yang welas asih. Mereka butuh para psikolog yang sanggup tersenyum
setiap saat dan memulihkan keberanian mereka untuk menempuh hidup. Mereka
memerlukan para seniman kehidupan yang bisa menghibur, yang memulihkan gairah
untuk menempuh perjalanan panjang sebagaimana anak-anak lainnya di persada
Nusantara. Ini merupakan waktu para filantropis pendidikan
turun tangan tanpa embel-embel. Kemurahan dan kemurnian hati akan menjadi
obat yang tak terkira nilainya. Ribuan anak-anak tengah menanti, mungkin
dengan tangis dan air mata, atau dalam kebingungan karena tidak tahu harus
melakukan apa. Tanpa inisiatif dan sumbangsih orang-orang yang berhati welas
asih, tak tertutup kemungkinan sebagian atau sebagian besar mereka akan
menjadi lost generation, generasi yang hilang karena mengalami keterputusan
pendidikan. Juga, para sahabat sukarelawan. Anak-anak
Indonesia di Cianjur menanti kita dalam diam. Mereka yang bersekolah di SD
atau SMP mungkin belum memiliki visi jauh tentang masa depan, tentang
tantangan yang tak mudah dalam perkembangan dunia yang semakin cepat. Adalah
kita yang telah lebih dahulu terlahir ke dunia ini yang semestinya sadar
betapa kehilangan kesempatan pendidikan bagi mereka akan berarti kehilangan
masa depan. Rekonstruksi Tanpa menyalahkan alam dan sejarah, mari kita
bersama-sama melakukan pemulihan dan rekonstruksi. Dalam kedua upaya itu,
mari kita memperhatikan kearifan lokal tentang hidup di wilayah rawan
bencana, di bagian bumi yang disebut ring of fire di mana Indonesia terletak. Gedung sekolah, rumah-rumah, dan fasilitas umum
yang luluh lantak sudah pasti wajib dibangun kembali. Namun, bagaimana itu
semua dibangun harus menjadi perhatian kita. Nenek moyang kita, sebagai
contoh, cenderung membangun rumah panggung atau rumah semi permanen yang mana
bahan kayu pada zaman mereka masih mudah didapat. Dalam situasi dan kondisi yang kini berbeda, teknologi
tentu bisa membantu kita. Kemegahan penting, misalnya, ketika membangun
gedung sekolah. Namun, jauh lebih penting, bahkan tak bisa ditawar, ialah
faktor keamanan. Pemerintah sebagai penanggung jawab utama proses
rekonstruksi harus menekankan hal ini. Tak kalah pentingnya, para pejabat dan pengusaha
yang kemudian terlibat dalam pembangunan harus memiliki nurani yang welas
asih. Sudah cukup negara ini dimain-mainkan hanya demi mencari keuntungan
pribadi atau kelompok dengan mengorbankan kualitas kerja dan mencelakakan
hidup orang banyak. Khusus terkait pendidikan, saya memohon sebagai
warga negara kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan supaya turun tangan
ke Cianjur dan melakukan kerja-kerja pendidikan yang esensial dan bermanfaat.
Sumber daya negara untuk pendidikan harus digunakan untuk pendidikan. Kita
tidak perlu kegenitan dan segala macam aksesori pendidikan yang mungkin
tampak indah, megah, atau spektakuler, tetapi kosong tiada arti. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/539665/gempa-cianjur-dan-rekonstruksi-pendidikan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar