Muslim Melayu dan
Prinsip Jalan Tengah Anwar
Ibrahim : Wakil Perdana Menteri Malaysia |
REPUBLIKA, 25 November 2022
Di puncak karir
politiknya pada masa lalu, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim yang
baru terpilih tergolong pemikir Islam yang rajin menulis.
Pemikiran-pemikirannya terkait erat dengan kebangkitan kaum intelektualitas
Islam di Tanah Air pada 1990-an. Berikut salah satu paparannya yang ia
kirimkan untuk Harian Republika edisi 27 September 1996 Dalam perjalanannya dari
Cina ke Levant pada tahun 1292, Marco Polo sempat tinggal selama lima bulan
di Perlak, timur laut Sumatera. Di sana ia mengamati bagaimana ''orang-orang
Perlak yang sebelumnya penyembah berhala, setelah melakukan kontak dengan
pedagang Sarasin yang sering berlabuh di sini, berganti keyakinan ke agama
Muhammad. Hal ini hanya terjadi pada masyarakat kota, sementara penduduk
gunung masih hidup seperti binatang.'' Catatan awal tentang
komunitas Islam di kepulauan Malaya ini memberi nuansa khas pada wilayah
tersebut. Islam menyebar ke Asia Tenggara lebih banyak dibawa oleh pedagang
melalui laut ketimbang melalui pasukan dengan pedang di tangan. Penduduk menjadi Islam
karena pilihannya sendiri, tanpa paksaan, dan diawali oleh kelompok yang
berpengaruh di kota dan kaum pedagang. Islamisasi secara damai dan perlahan
ini membentuk ciri Muslim Asia Tenggara yang kosmopolit, berwawasan luas,
toleran, dan dapat menerima perbedaan budaya. Tentu saja, pandangan mereka
juga dipengaruhi oleh keberadaan orang non-muslim yang membalas sikap toleran
orang Islam. Tidak seperti non-muslim di barat, persepsi mereka atas Islam
tidak dipengaruhi oleh trauma Perang Salib. Hampir tanpa kecuali,
bangsa Muslim pernah dijajah. Banyak yang belum pulih dari trauma tersebut.
Ini tercermin dari sikap ekstrim terhadap barat. Ada sejumlah orang yang
menyalahkan Barat atas kegagalan yang mereka alami. Pada sisi ekstrim lain
adalah kelompok elit yang terkagum-kagum dan silau atas kebudayaan Barat.
Ketika Muslim Asia Tenggara tidak semuanya tahan, mereka tidak membiarkan
ketegangan-ketegangan internal tersebut melumpuhkan kesatuan bangsa atau
meracuni hubungan mereka dengan dunia luar. Alih-alih menghibur diri
dari kepahitan penjajahan, mereka memilih jalan kebaikan yang secara esensial
mencerminkan karakter Melayu. Pahlawan Filipina Jose Rizal telah memberi
gambaran karakter bangsa Asia Tenggara. ''Bangsa Filipina'' tulisnya, ''hanya
mengingat kebaikan yang didapat; mudah melupakan kebencian, dan jika mereka
hanya memiliki senyum dan air mata untuk orang yang telah memperlakukan
mereka dengan kasar kasar pada saat kematian orang itu, maka apa yang mereka
punyai untuk orang yang telah berlaku baik ketika ia mendapat musibah?'' Prinsip awsatuha -- jalan
tengah -- yang berkaitan dengan ajaran Kong Hu Cu, Chun Yung, memperkuat
unsur-unsur moderat melayu dan membentuk pemahaman dan praktek Islam mereka.
Moderasi ini mengarah pada pendekatan pragmatis dalam kehidupan sosial,
ekonomi dan politik. Benar bahwa Muslim Asia
Tenggara bukannya tidak bermasalah. Tetapi yang membedakan mereka dari muslim
di belahan dunia lain adalah kepekaannya akan prioritas. Persoalan penerapan hukum
Islam atau pembentukan negara Islam adalah masalah pinggiran. Muslim Asia
Tenggara lebih suka berkonsentrasi pada tugas untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan menghapuskan kemiskinan ketimbang memotong tangan pencuri. Mereka
lebih suka meningkatkan kesejahteraan wanita dan anak-anak di antara mereka
ketimbang menghabiskan waktu mendefinisikan negara Islam yang ideal. Mereka tidak percaya bahwa
memikirkan pertumbuhan ekonomi, menguasai revolusi informasi dan
memperjuangkan hak wanita akan membuat mereka menjadi kurang Islami. Tidak
juga bahwa hal itu akan meningkatkan komitmen agama dan akhirnya mencemaskan
umat non-Muslim. Guncangan-guncangan
politik menyakitkan yang dialami negara-negara di bawah pemerintahan kolonial
tidak berakhir dengan kemerdekaan. Ada harapan besar untuk hadirnya sebuah
permulaan yang baru, namun setelah kegagalan terjadi berulang kali sinisme
menggantikan harapan. Kemerdekaan menjanjikan
banyak, namun hanya memberi sedikit. Kesalahannya adalah mengupayakan
perubahan total dan mendirikan utopia. Pandangan-pandangan alternatif dan
menyimpang mengenai pembentukan bangsa tergilas atau hilang begitu saja. Pada
beberapa kasus rejim-rejim baru melampaui penguasa-penguasa kolonial mereka
dalam hal represi politik. Tapi para pemimpin
Malaysia terdahulu tidak memiliki keinginan untuk menyaingi negara-negara
Dunia Ketiga lainnya mengukuhkan ''revolusi permanen''. Indonesia selama
beberapa waktu pernah menerapkan ideologi radikal, namun pada akhirnya
pragmatismelah yang menang. Wilayah ini sering disebut
sebagai contoh di mana kaum Muslim berhasil menyesuaikan diri dengan
modernitas. Sejarahnya yang tidak terlalu kompleks bisa menjadi
penjelasannya. Selama berabad-abad Islam
di Asia Tenggara menjadi Islam pinggiran, meskipun jumlah pengikutnya melebihi
penganut Islam di Arab, Turki, dan Persia. Tapi tidak adanya sejarah yang
besar ini juga merupakan keuntungan: tidak ada obsesi-obsesi tertentu yang
akan membawa kerinduan romantis. Arab, Turki dan Persia
terbebani oleh kejayaan sejarah mereka. Sebaliknya, bangsa Malaysia tidak
terlalu dibayangi oleh hantu masa silam, lebih mencurahkan perhatian pada
realitas masa kini, dan lebih sadar terhadap berbagai nuansa dan sisi-sisi
gelap yang dimilikinya. Kehadiran agama-agama lain
juga merupakan faktor yang menentukan. Ketika sekelompok Muslim fanatik
berusaha merobohkan patung-patung di candi-candi Hindu di Malaysia 20 tahun
lalu, cercaan dari kalangan Muslim hanya mengandung satu arti. Kekuatan hukum
digunakan untuk menghadapi mereka. Ekstremisme benar-benar
ditolak. Tapi toleransi juga tidak hanya bisa dipaksakan datang dari satu
pihak. Harus ada timbal balik. Sebuah komunitas yang plural dan multi-agama
terus-menerus hidup dalam ancaman petaka. Bibit-bibit militansi ada di
mana-mana, dan setiap komunitas harus betul-betul yakin bahwa mereka tidak
akan mendorong pertumbuhannya dengan membiarkan ketidakpuasan dan alienasi
terjadi. Dengan demikian
partisipasi dan keadilan sosial adalah faktor fundamental yang diterapkan di
Asia Tenggara dalam periode pembentukan negara-bangsa. Kekerasan harus
ditolak demi kelancaran proses demokrasi politik. Asia Tenggara tidak bakal
melupakan sejak zaman dahulu kalam wilayah mereka adalah panggung tempat
berlalu-lalangnya peradaban-peradaban besar dalam sejarah. Tapi jujur mereka
mengakui bahwa wilayahnya bukan sebuah melting pot. Ingatan kolektif setiap
komunitas masih tetap kuat dan masing-masing berpegang erat pada identitas
yang mereka banggakan. Namun Asia Tenggara dewasa ini bergerak menuju situasi
yang lebih kohesif, dan keterikatan komunitas tidak bisa dijaga tanpa adanya
nilai bersama. Motto bangsa Indonesia,
Bhinneka Tunggal Ika, adalah definisi kultural kawasan tersebut. Tantangan
yang dihadapi baik oleh kaum muslim atau pun umat beragama lainnya adalah
mengartikulasikan visi moral mereka secara efektif dan menggiatkan pencarian
landasan etika bersama. Kalangan beragama di Asia
Tenggara tengah melangkah lebih jauh ketimbang sekadar toleransi.
Bersama-sama mereka akan menghadapi berbagai realitas di antara mereka: korupsi,
otoritarianisme, feodalisme modern, dan ketidakadilan yang kadang-kadang
tidak kasat mata. Hanya kekuatan moral yang dapat memberikan dorongan
keyakinan pada mereka untuk memerangi semua itu. ● Sumber :
https://www.republika.co.id/berita/rlw4ln393/anwar-ibrahim-islam-dan-jalan-tengah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar