Bonus
Demografi dan Bonus Demokrasi Edbert
Gani Suryahudaya : Peneliti
CSIS; Mahasiswa PhD Political Science University of Toronto |
KOMPAS, 21 November 2022
”Kenapa memilih kuliah Ilmu Politik?” tanya saya
sambil menyuap hidangan di sebuah foodcourt pusat perbelanjaan di pusat kota
Toronto. ”Saya ingin jadi politisi, Kak!” jawab Farry,
pemuda kelahiran tahun 2004, dengan bergelora. Saya menghentikan suapan saya sejenak. Menatap
wajahnya yang antusias. Saya tersenyum. Farry tidak sendirian. Antusiasmenya
merepresentasikan bara yang masih menyala di generasinya untuk terlibat aktif
dalam perpolitikan Indonesia. Survei CSIS pada Agustus 2022 yang berfokus
pada pemilih muda memperlihatkan ada 14,6 persen responden dari rentang usia
17-39 tahun yang memiliki ketertarikan untuk mencalonkan diri sebagai anggota
DPR atau DPRD, apabila ada kesempatan. Dengan angka yang tidak jauh berbeda,
14,1 persen mengaku tertarik untuk menjadi kepala daerah. Artinya, ketertarikan anak muda dalam politik
tampaknya bukan menjadi persoalan demokrasi Indonesia saat ini. Ditambah
dengan melihat pada tingkat partisipasi pemilih dalam beberapa pemilu
terakhir, beserta keaktifan mengutarakan pendapat lewat gawai, pandangan umum
yang selalu menempatkan apatisme politik sebagai tantangan generasi muda jauh
dari kata valid. Hal yang lebih penting untuk dijawab ialah apakah benar
generasi baru ini mampu memberikan disrupsi politik? Kemudian harapan bahwa generasi baru ini dapat
membawa warna politik segar bukan tanpa basis teoritis. Para pemikir teori
demokrasi telah lama menempatkan tumbuhnya kelas menengah yang lebih terdidik
sebagai faktor utama yang akan mendorong demokratisasi. Harapannya, kelas menengah terdidik akan menjadi
motor yang merobohkan praktik-praktik klientelistik yang menjadi penyakit
dari negara-negara berkembang. Dengan sendirinya mereka akan mendisrupsi
kekuasaan dan memberikan kebaharuan gagasan. Dengan kata lain, karena
kebergantungan kepada faktor demografis itulah, perubahan politik terkadang
membutuhkan sebuah momentum generasi. Apakah momentum itu sedang terjadi di
Indonesia? Kontradiksi Argumentasi lama soal potensi kelas menengah di
atas masih cukup valid untuk banyak kasus di dunia. Namun yang harus digali
lebih lanjut ialah dengan cara apa mereka bisa mendisrupsi politik? Majalah
The Economist baru-baru ini membahas survei oleh University of Chicago sejak
1972 di Amerika Serikat yang memperlihatkan bahwa perubahan pemikiran politik
ke arah yang lebih progresif terjadi ketika generasi baru lahir. Artinya, mengubah ide politik yang telah melekat
atau berkeliaran pada satu generasi merupakan usaha yang teramat sulit,
apabila tidak mustahil. Kesimpulan mereka, perubahan demografi lebih
signifikan mengubah cara pandang ketimbang menunggu terjadi perubahan pola
pikir dari generasi tua. Apakah Indonesia akan mengikuti tren yang sama pada
momentum bonus demografi ini? Dalam survei CSIS yang sama seperti dikutip di
awal tulisan ini, kami juga menanyakan karakter apa yang dianggap paling
dibutuhkan untuk Indonesia mendatang. Ada 34,8 persen dari para pemilih muda
menjawab jujur atau tidak korupsi. Karakter tersebut menempati urutan
teratas. Lebih dari itu, ketika ditanyakan apa yang dibayangkan mereka untuk
Indonesia di masa mendatang, paling tinggi menjawab pilihan ini: Negara yang
masyarakatnya menjunjung tinggi penegakan hukum dan antikorupsi. Akan tetapi, meskipun komitmen demokrasi secara
umum tinggi, kami juga menemukan cara pikir yang kontradiktif mengakar di
para pemilih muda Indonesia. Faktanya, budaya permisif pada perilaku koruptif
relatif tinggi. Dalam survei yang sama kami menanyakan apakah wajar
memberikan imbalan ketika mengurus administrasi pemerintahan. Terdapat 23,6
persen responden menjawab wajar. Selain itu, terkait politik uang, 28,7
persen dari responden mengaku wajar apabila menerima imbalan barang atau uang
dalam kampanye politik. Pandangan kontradiktif yang ditampilkan oleh para
pemilih muda mengingatkan kita kembali bahwa perubahan politik tidak cukup
hanya bergantung pada sebuah momentum bonus demografi semata. Generasi baru
bisa lahir, tetapi kultur dan gagasan dapat bertahan. Lembaga informal Dalam derajat tertentu, perilaku koruptif dan
praktik klientelistik di tengah masyarakat Indonesia nyatanya telah
terlembaga. Sederhananya, praktik klientelistik maupun korupsi terjadi
terus-menerus karena masing-masing merasa insentif untuk meraup keuntungan
dari praktik tersebut lebih besar ketimbang sanksi. Di sisi lain, dalam beberapa konteks, tidak turut
serta justru akan berhadapan kepada sanksi dari lingkungan sekitar. Dengan
demikian setiap aktor, tua atau muda, akan terjebak untuk terus melestarikan
praktik tersebut. Praktik ”lembaga informal” ini terjadi karena kanal-kanal
formal tidak mampu secara efektif menghasilkan sekaligus mendisiplinkan aktor
politik untuk mengejar luaran politik yang demokratis. Lalu bagaimana lembaga informal yang cenderung
kontradiktif dengan demokrasi ini bisa diubah? Berharap satu pemilu yang
didominasi pemilih muda akan langsung mendisrupsi praktik tersebut lebih
bersifat wishful thinking. Ilmuwan politik Gretchen Helmke dan Steven
Levitsky (2004) mengajukan tawaran cara terkait pertanyaan ini. Cara pertama ialah kembali kepada akarnya,
mengubah kelembagaan formalnya, alias mereformasi aturan main. Meski demikian,
faktanya lembaga informal sering kali cukup resisten sekalipun terjadi
perubahan dalam desain politik. Misalnya politik uang tetap terjadi meskipun
sanksi telah diatur. Kedua, tanpa menyentuh langsung aturan main,
lembaga informal dapat berubah karena ada perubahan nilai sosial di
masyarakat. Perubahan melalui jalur ini sifatnya inkremental atau berjalan
lebih lambat. Ketiga, perubahan dapat terjadi ketika struktur status quo
berubah. Helmke dan Levitsky dalam konteks ini mengapresiasi lebih peran komposisi
pemilih kelas menengah akan mengubah praktik klientelistik. Untuk cara ketiga, fakta empiris Indonesia dengan
sendirinya menjadi kritik argumen Helmke dan Levitsky. Bagaimana dengan dua
lainnya? Untuk cara pertama, kita bergantung pada agensi dari partai politik
beserta elitenya untuk mau mereformasi dirinya dan membangun sistem yang
transparan dan profesional. Diskusi terkait transparansi dan audit dana
politik, misalnya, dapat menjadi titik tekan yang perlu diadvokasi bersama.
Harapannya partai dapat lebih terbuka dan mampu meraih kembali kepercayaan
publik. Perubahan tidak akan banyak terjadi, sekalipun politisi muda
bertambah, apabila akar persoalan tidak diselesaikan. Sementara cara kedua, menurut opini saya,
merupakan potensi terbaik yang kita miliki. Ruang perubahan gagasan atau ide
terjadi pada ranah publik. Di poin ini mungkin media sosial menjadi
katalisator utama perubahan pola pikir tersebut. Tanpa kontestasi ide dan
pendidikan politik ini, cara ketiga dan pertama yang diajukan oleh Helmke dan
Levitsky sulit terwujud. Di luar media sosial, kita mau tidak mau harus
kembali pada pendidikan. Farry merupakan satu dari ratusan pemuda-pemudi
penerima Beasiswa Indonesia Maju yang diberikan Kemendikbudristek kepada
anak-anak berprestasi untuk menempuh kuliah S-1 di universitas terbaik di
luar negeri. Beasiswa ini merupakan usaha pemerintah untuk berinvestasi
kepada bonus demografi agar kelak bisa memajukan ekonomi. Namun berinvestasi pada bidang pendidikan, selain
soal ekonomi, juga soal demokrasi. Pendidikan yang berkualitas merupakan
sarana terbaik untuk menanamkan budaya antikorupsi dan keterbukaan cara
berpikir yang menjadi modal utama munculnya kaum demokrat. Tanpa fokus pada
sektor ini, bonus demografi juga tidak akan memberikan kita bonus pada
demokrasi. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/18/bonus-demografi-dan-bonus-demokrasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar