Religiosentrisme Ratno
Lukito : Dewan Pengawas Yayasan Sukma,
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
MEDIA INDONESIA, 21 November 2022
RELIGIOSENTRISME berasal dari kata bahasa Inggris
religiocentrism; ialah ungkapan tentang orang beragama yang menyakini bahwa
agamanya sendiri lebih penting atau lebih unggul daripada agama lain (Corsini
1999: 827). Kata itu sudah digunakan sejak awal abad ke-20.
Ekonom Amerika, Adrian Augustus Holtz (1917:15), misalnya, mengungkapkan
bahwa awal reformasi pendidikan sekolah di Jerman masih dilakukan dengan
mengizinkan sistem yang religiosentris. Hal itu sejalan dengan terminologi
Christocentric yang memiliki makna sebagai satu bentuk kristiani yang
konsentrasi terhadap ajaran Yesus Kristus, tetapi sering mempersamakan dengan
religiosentris. John J Ray dan Dianne Doratis (1971:170)
menerangkan bahwa secara analogi istilah religiosentrisme dipakai untuk
mengartikan sentimen eksklusif berbasis agama--keyakinan bahwa seseorang
harus menikah dengan orang dari agamanya sendiri, bekerja dengan anggota
agamanya sendiri, dan secara umum lebih memilih anggota agamanya sendiri
daripada yang lain. Itulah alasan istilah religiosentrisme secara ipso facto
memberikan arti merendahkan agama lain. Memicu konflik Dengan meningkatnya keragaman agama dan kebebasan
manusia, perilaku simbolis dan ekspresif keagamaan secara luas terjadi dalam
bidang pendidikan, tempat kerja, platform politik, media komunikasi, dan
lain-lain. Hal itulah yang dapat menyebabkan konflik antara kelompok etnik mayoritas
dan minoritas dalam masyarakat multikultural (Carmella, 2011; Lawrence &
King, 2008). Berbagai riset menunjukkan bahwa sikap
religiosentris itu menjadi salah satu penyebab munculnya prasangka dan
konflik antarkelompok mayoritas dan minoritas dalam masyarakat. Berbagai
literatur saat ini menunjukkan efek negatif ekspresi etnosentris agama pada
hubungan antarkelompok dan konsekuensi negatifnya, misal ketidakadilan,
tekanan, kecemasan, ketegangan, ancaman, dan konflik. Sebagaimana dikemukakan Corsini di atas,
keyakinan agama seseorang lebih penting atau lebih tinggi daripada agama lain
dapat muncul karena sentimen berbasis eksklusivitas etnik. Religiosentrisme
dilahirkan karena sentimen keagamaan dari keyakinan yang eksklusif. Menurut
Chalfant, Beckley, dan Palmer (1994), religiosentrisme merujuk pada perasaan
benar dan superioritas karena akibat dari afiliasi keagamaan yang menghambat
kemampuan suatu masyarakat untuk mencapai adaptasi dan integrasi. Lebih jauh,
hal itu dapat mencegah saling pengertian dan memicu konflik ketika tindakan
intimidatif suatu kelompok agama dipandang sebagai ancaman nyata terhadap
kelompok agama lain. Menurut Abu-Nimer, seorang religiorelativistik
meyakini bahwa agama lain berhak untuk hidup dan dipraktikkan, bahkan jika norma
dan keyakinan tersebut bertentangan dengan keyakinan agamanya sendiri. Orang
seperti itu tidak mudah terlibat dalam konflik atau tindakan diskriminatif
terhadap penganut agama lain. Sebaliknya, seorang religiosentris adalah orang
beriman, mengingkari kebenaran agama lain dan memegang kebenaran mutlak serta
tidak memberikan ruang bagi praktik keagamaan yang berbeda. Orang seperti itu
menjadi lebih rentan untuk mengungkapkan ujaran kebencian, tidak manusiawi,
merendahkan, mengecualikan, dan mendiskriminasi kelompok dan individu agama
lain. Akibatnya, paparan negatif, penghinaan, dan destruksi di lingkungan
sosial, budaya, dan konteks politik dapat menimbulkan konflik di antara dua
kelompok agama/etnik. Dengan mengikuti orientasi teoretis itu, beberapa
penelitian menemukan bahwa tingkat orientasi keagamaan dan religiositas yang
lebih tinggi secara signifikan berhubungan dengan konflik antarkelompok agama
(Banyasz et al., 2016). Berdasarkan pendekatan etnosentris agama, Patai
(1954, 1987) menemukan adanya konflik agama yang luas di antara agama-agama
'teistik' dan 'nonteistik' dalam masyarakat. Sejalan dengan hipotesis itu,
beberapa penelitian telah menemukan bahwa ada kekerasan komunal yang merajalela
antara umat Hindu dan Buddha di Sri Lanka, antara umat Hindu dan muslim,
serta antara penganut Sikh dan Hindu di India (Uddin, 2022). Peran pendidikan? Bagaimana pendidikan berperan dalam hal ini?
Bagaimana kita sebagai guru bersikap dengan keyakinan religiosentrisme yang
sudah mengakar dalam masyarakat? Ekspresi keagamaan melalui toleransi atau
intoleransi memengaruhi konflik di antara dua kelompok agama di berbagai
belahan dunia. Patai (1954: 252) merumuskan bahwa setiap agama memiliki
pandangan yang pasti tentang nilainya sendiri dalam hubungannya dengan agama
lain. Pandangan agama atas yang lain dapat berkisar dari toleransi sepenuhnya
hingga tidak adanya toleransi sama sekali. Berdasarkan pendekatan religiosentris Patai
membandingkan Timur Tengah, Timur Jauh, dan Barat dan menemukan bahwa agama
di Timur Jauh sama sekali tidak ada religiosentrisme. Agama di wilayah ini
ditandai dengan toleransi terhadap agama lain dan saling meminjam dan
memengaruhi; di Timur Tengah dan Barat religiosentrismenya sangat tinggi,
penuh dengan intoleransi dan cemoohan terhadap agama lain. Tiap agama di
wilayah ini bersifat eksklusif dan menganggap diri sebagai satu-satunya
sistem keimanan sejati. Dari penelitian Patai di atas, kita bersyukur
hidup dalam suatu daerah yang religiosentrismenya termasuk rendah. Indonesia
dikenal dengan daerah yang sangat plural dan mutikultural sehingga sikap dan
keyakinan religiosentris tidak begitu laku. Pendidikan yang baik ialah suatu
proses pendidikan dengan kemampuan untuk menanamkan kepada peserta didik akan
keimanan yang mendalam, tetapi tidak memunculkan kesombongan akan keimanannya
tersebut. Keagamaan seseorang ditandai dengan sikap toleran terhadap agama
lain, saling menghormati dan bekerja sama untuk kebahagiaan bersama. Di sinilah peran guru. Guru ialah seseorang yang
diharapkan muncul darinya perasaan dan keyakinan bersama bahwa kita hidup
dalam satu wadah yang plural. Menjadi seorang guru ibarat malaikat yang
menyebarkan harmoni dan cinta kasih antarsesama. Perasaan tinggi diri dan
keangkuhan karena keimanannya tentu harus dienyahkan dengan adanya
pendidikan. Keyakinan terhadap suatu kepercayaan yang memunculkan perasaan
tinggi diri dan superioritas karena ajaran-ajaran yang diajarkannya harus
segera dihapus dalam memori keagamaan kita. Dalam dunia yang terus mengalami perubahan, kehidupan
agama pun juga berubah. Agama tidak lagi dilihat sebagai ajaran yang
mendominasi kehidupan. Pun agama tidak dapat berdiri sendiri tanpa kerja sama
dengan yang lain. Di sinilah letak kecerdasan manusia untuk menempatkan agama
sesuai dengan situasi dan kondisinya. Memperlakukan agama dengan otonomi
individu masing-masing jelas tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang
tepat. Seseorang yang beragama dengan kebanggaan pada
dirinya tanpa merangkul orang lain mungkin justru akan berakibat buruk
terhadap masa depan agama itu sendiri. Karena itu, kita harus terus
mengembangkan pandangan agama religiorelativistik, bukan pandangan yang
religiosentris. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/538824/religiosentrisme |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar