Urgensi Peleburan Identitas
Penulis : Fitaha Aini ; Mahasiswi S3 University of Leicester, United
Kingdom
Masih ingatkah dengan
peristiwa pemilu gubenur DKI Jakarta periode lalu ketika pernyataan kontroversial
dari Basuki Tjahja Purnama atau Ahok menyulut protes dan kemudian menjadi
momentum konflik identitas? Pakar media sosial, Ismail Fahmi, PhD, memaparkan
hasil temuannya tentang polarisasi (media) sosial.
Polarisasi ditunjukkan dari dua kubu besar yang
mengarah kepada kubu Islam (#tangkapahok) dan kubu Indonesia (#kamibhineka).
Perpecahan ini tidak hanya terjadi di dunia maya (Twitterland) tetapi juga
dunia nyata. Antara lain ditunjukkan dari kompetisi gerakan keagamaan
seperti Aksi Bela Quran 4/11/2016 dan 2/12/2016. Ini diselingi dengan
gerakan kebangsaan lainnya seperti aksi Bhineka Tunggal Ika, Nusantara Bersatu, dan Kami Indonesia.
Berdasarkan hasil survei
Spring Global Attitudes (2015), mayoritas penduduk Indonesia memberi respons
positif terhadap pentingnya agama dalam kehidupan. Negara dengan jumlah umat
muslim terbesar dunia ini menduduki ranking ketiga di antara 40 negara yang
berpartisipasi dalam survei. Kondisi tersebut menunjukkan, agama merupakan
bagian terintegrasi dalam identitas. Dia menjadi sebuah komponen yang tidak
dapat dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemilu 2019 pun serupa.
Identitas keagamaan dan kebangsaan dibalut dalam identitas politik. Setelah dua
periode disuguhi dua aktor utama lama, rakyat pun mesti menanggung derita
koalisi partai dalam dua kuasa perkasa. Poster kampanye kubu 01 dengan latar
belakang berbagai warna menunjukkan identitas bangsa yang heterogen.
Walaupun petahana menggandeng
pasangan ulama, slogan yang diusung didominasi identitas kebangsaan. Sebaliknya,
kubu 02 dilingkari banyak partai, organisasi, serta tokoh Islam yang justru
mendukung pasangan dari partai berideologi semangat kebangsaan. Maka tak aneh,
jika identitas agama Islam pun begitu kuat dengan pasangan 02 ini.
Ketika pilihan identitas ini memasuki ranah
kehidupan sosial dan politik, berimplikasi menciptakan kondisi either with us or against us karena publik hanya dihadirkan dengan dua pilihan, 01 atau 02.
Hal ini sesuai dengan pernyataan pemenang nobel, Amartya Sen, tentang
fenomena the exclusivity of single identity.
Stigma yang melekat ini seolah-olah membutakan
mata rakyat dengan hanya diperbolehkan memiliki satu identitas, sehingga
identitas sosial-politik yang terbentuk menjadi sebuah all or nothing contest. Realitanya, tanpa disadari sekat-sekat identitas pun
bertransformasi menjadi peleburan identitas (blended identity).
Output
Peleburan identitas mengacu kepada proses
perpaduan elemen identitas menjadi sebuah komposisi yang unik. Prof Joseph
Chinyong Liow (2016) menemukan formula ini untuk menjelaskan adanya peleburan
antara identitas agama dan kebangsaan (religious nationalist).
Artinya, tidak selalu individu yang membela agamanya,
maka berkurang rasa cinta kepada tanah airnya. Begitu sebalik. Organisasi yang
membawa identitas bangsa tidak pantas dianggap sebagai lembaga
anti-agama. Blended identity ternyata berhasil memproduksi output positif
seperti gerakan agama demi kepentingan kebangsaan yang sudah selalu dilakukan
NU dan Muhammadiyah.
Namun, dalam buku Religious Nationalism in Southeast Asia dipaparkan juga secara gamblang gerakan
separatis di Thailand Selatan dan Filipina Selatan sebagai contoh output negatif
identitas agama-bangsa (Ibid). Menariknya, profesor ini menemukan, identitas
agama mampu memproduksi tujuan kolektif dan solidaritas sosial yang dapat
memobilisasi, melegitimasi dan mempertahakan tujuan tersebut. Atas dasar
inilah, agenda utama pergerakan mesti diidentifikasi dan didiagnosis karena
mampu menghasilkan output yang berbeda.
Mengapa identitias selalu
dikaitkan dengan konflik atau perpecahan? Amartya Sen (2006) berpendapat, rasa
eksklusivitas terhadap identitas tunggal berpotensi menjadi sumber kekerasan.
Senada dengan itu, Bandura (2002) menilai, rasa eksklusivitas mempengaruhi
keinginan untuk mendominasi atau mengungguli komunitas lain.
De Rivera dan Casson (2015) berbeda. Katanya,
ketegangan sosial-politik terjadi karena absence of common communi t y . Situasi ini menyebabkan ketika individu
mencoba keluar dari komunitas se-identitasnya, tidak menemukan ruang yang
mampu menerima identitasnya.
Konsekuesinya, individu tersebut berada dalam
kondisi survival mode, bukan malah comfort mode. Comfort mode dialami ketika berada di dalam ruang yang membuatnya merasa
nyaman ketika berinteraksi yang se-identitas dan se-ideologi. Kondisi diri yang
diliputi ketakutan berbasis survival mode di lingkungan baru mampu mengarah kepada
tindakan irasional.
Akhirnya, ketegangan antarindividu
pun berlaku akibat dari sikap mudah tersinggung, kurang empati, dan sukar menerima
pendapat yang berbeda.
Solusi
Common community concept dapat dibangun dari internalisasi
semangat kebersamaan. Tidak salah jika proses re-instillation nilai dan semangat kebersamaan diprioritaskan dalam pembangunan
karakter bangsa seiringan dengan penguatan identitas Pancasila. Nilai-nilai
kebersamaan dapat ditanamkan, dikembangkan dan disegarkan kembali agar rakyat
tidak terkungkung dalam sekat identitasnya.
Negara mesti mengupayakan kebijakan dan program
berbasis common senses for community di setiap ruang public. Ini baik di dunia nyata
(komunikasi antarmanusia secara langsung) maupun dunia maya (forum komunikasi
media massa atau media sosial).
Program media berbasis
“tolak lupa” seharusnya tidak hanya difokuskan kepada janji atau pernyataan
para politikus. Program ini juga bisa dihadirkan untuk mengenang kembali
peristiwa yang membuat bangsa bersatu, berbaur, dan bersama.
Contohnya, upaya seluruh
komponen bangsa menyukseskan Asian Games 2018. Perhelatan itu bukan hanya
panitia yang merasa berkontribusi. Penonton di stadium, bahkan di rumah pun
merasa terlibat. Rakyat bangka kejayaan para atlet karena mengharumkan nama
bangsa.
Begitu juga dengan
solidaritas rakyat ketika gempa bumi di Palu dan Donggala. Semua elemen
bangsa berbondong-bondong menyalurkan bantuan demi saudara sebangsa. Mengapa
kita lupakan sejarah pernah dan akan selalu bersama dalam semangat kebangsaan,
tanpa peduli apa pun identitas agama dan etnik?
Identitas adalah aset berharga yang mesti
dijaga. Sadarilah bahwa kompleksitas identitas agama, bangsa, dan etnik tidak
akan pernah pudar, baik dalam tataran ruang pribadi maupun publik. Tiga
identitas kolektif ini akan selalu mengiringi setiap individu ketika berkomunikasi
dan berinteraksi di ruang sosial dan politik. Rasa bangga terhadap identitas itu
lumrah selama kita leburkan rasa tersebut dalam semangat persatuan dan
perpaduan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar