Mengatasi Persoalan Serius Terkait Tengkes
Setahun belakangan ini kita disuguhi berbagai berita tentang kemajuan Indonesia di bidang teknologi. Akhir tahun lalu, Menteri Perindus- trian Airlangga Hartarto berse- mangat mengajak menyambut datangnya era Revolusi 4.0.
Inilah era industri yang didukung berbagai teknologi canggih. Februari, dari Cape Canaveral Florida, AS, diberitakan roket Falcon 9 SpaceX meluncur ke angkasa luar membawa satelit Nusantara Satu. Inilah satelit komunikasi broadband canggih seharga Rp 35 triliun milik Indonesia. April lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu meluncurkan Alugoro 405, kapal selam pertama buatan PT PAL.
Betapa bangganya, kita sudah menjadi bagian dari bangsa- bangsa yang menguasai teknologi canggih, tonggak kemajuan masa depan. Namun, membawa kita tersentak, Kompas, edisi 28 Mei menulis Tajuk Rencana dengan judul ”Gizi untuk Generasi Unggul”. Judulnya biasa saja, tetapi isinya membuat kening berkerut dan menggedor kesadaran kita.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) 2018 yang dikutip pada tulisan itu, prevalensi tengkes (stunting) Indonesia mencapai 30,8 persen, jauh di atas prevalensi (jumlah yang terpapar) stunting global yang 21 persen. Angka 30,8 persen berarti hampir sepertiga dari anak-anak Indonesia (anak balita dan remaja) menderita stunting. Tengkes adalah kondisi anak yang pertumbuhannya di bawah standar (sederhananya disebut kerdil) karena menderita kurang gizi kronis.
Indonesia memiliki jumlah anak tengkes terbesar kedua setelah Timor Leste di ASEAN. Indonesia hanya kalah dari Timor Leste, negara yang baru kemarin sore berdiri. Kita mestinya malu. Ternyata masih banyak anak-anak kita tumbuh kerdil karena kurang makan dan kurang gizi. Ini kontradiktif dengan berita kemajuan pencapaian teknologi canggih ala Revolusi 4.0 di atas.
Penyebab utama tengkes adalah kurangnya asupan nutrisi gizi pada anak secara kronis. Bisa kurang kecukupannnya, bisa juga kurang dan sekaligus tak cukup bergizi. Dengan kata lain, anak yang menderita tengkes hampir bisa dipastikan berasal dari keluarga miskin atau dari keluarga miskin sekaligus lingkungannya juga miskin.
Padahal, selama ini pemerintah merasa sudah serius bekerja mengentaskan orang dari kemiskinan. Ada berbagai program untuk melayani masyarakat miskin. November 2014, Presiden Jokowi meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Simpanan Keluarga Prasejahtera (KSKP). Ada lagi Program Keluarga Harapan (PKH) 2018 sebesar Rp 19,3 triliun, dan tahun ini melonjak dua kali lipat menjadi Rp 34,4 triliun.
Nominal yang diterima pun naik, dari sebelumnya Rp 1,89 juta per Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menjadi dua kali lipatnya. Ditargetkan tahun ini bisa menjangkau 10 juta KPM. Kelihatan sekali, sebenarnya pemerintahan Joko Widodo serius berusaha mengatasi kemiskinan. Jika dilihat dari Data Riset Kesehatan Nasional, angka 30,8 persen penderita stunting pada 2018 ini sebenarnya sudah jauh menurun jika dibandingkan dengan 2013 yang angka anak balita stunting mencapai 37,2 persen.
Malafungsi usus si miskin
Angka stunting 30,8 persen tetaplah masalah besar. Menurut WHO, prevalensi stunting 20 persen sampai kurang dari 30 persen dikategorikan ”tinggi”. Dan 30 persen ke atas kategorinya ”sangat tinggi” (level kritis). Di seluruh dunia ada 44 negara yang masuk kategori sangat tinggi dan Indonesia masuk dalam klub itu. Data terbaru menunjukkan bahwa ada 38 persen anak-anak Asia Selatan di bawah usia lima tahun terhambat pertumbuhannya.
Angka ini sebanding dengan di Afrika Sub-Sahara (37 persen) dan tiga kali lebih tinggi daripada di Asia Timur dan Pasifik (12 persen) atau Amerika Latin (11 persen). Atas hal ini, Unicef mengumumkan bahwa Asia Selatan adalah pusat dari krisis stunting global, sekitar 40 persen dari total penderita stunting ada di sini. Maka, stunting adalah masalah serius dan menuntut respons yang serius pula.
Stunting bisa terjadi karena beberapa penyebab, baik sendiri maupun bersama-sama muncul: ketiadaan air bersih, sanitasi dan kebersihan yang buruk, lingkungan kumuh dan miskin, dan terutama adalah kurangnya asupan makanan bergizi pada anak secara kronis. Katakanlah ada sebuah wilayah yang sangat terpencil, jauh dari akses jalan, lokasinya hanya bisa dicapai dengan jalan kaki sejauh tiga jam atau lebih dari jalan terdekat. Mayoritas warga tak punya sumur. Sungai yang membelah desanya menyandang multifungsi: untuk mandi, mencuci, bahan baku air minum dan memasak.
Sebagian besar warga tak punya jamban dan membuang hajat di kebun, sebagian lain buang hajatnya di sungai itu pula. Kebanyakan warganya bekerja serabutan, sebagian lainnya bertani di ladang yang sempit atau membalak lingkungannya. Dalam lingkungan miskin seperti itu, makan kurang, nilai gizinya juga kurang. Itu pun tak bisa terserap sempurna oleh sistem pencernaan anak-anak yang mengalami gangguan fungsi karena lama hidup di lingkungan tak sehat. Muncullah anak balita dan anak-anak tengkes, stunting, atau kerdil.
Mbuya dan Humphrey (2016) berpendapat, lingkungan yang tak sehat tempat tinggal banyak bayi dan anak kecil akan menyebabkan disfungsi enterik (terganggunya sistem pencernaan). Usus tidak bisa berfungsi penuh menyerap nutrisi. Kondisi ini bisa menimbulkan radang kronis pada usus. Akibatnya, nutrisi yang masuknya hanya sedikit itu pun terpaksa dipakai menyembuhkan infeksi dan hampir tak ada sisanya yang terpakai untuk pertumbuhan si anak. Maka, si anak tidak dapat tumbuh dengan normal, yang dikenal dengan stunting, orang awam menyebutnya kerdil. Ini awal hidup yang penuh kendala.
Bagi anak-anak penderita stunting yang mampu bertahan hidup, bukan hanya pertumbuhan fisiknya yang terhambat. Temuan ilmuwan, seperti Victora, Dewey, Begum, Black, de Onis, dan Branca, seperti bersepakat bahwa pertumbuhan otak si kerdil juga terhambat, memengaruhi pertumbuhan mental, kedewasaan, dan kecerdasan. Mereka rentan terhadap serangan penyakit, yang ujungnya berisiko pada kematian. Belum lagi tekanan psikologis karena si kerdil tampak mencolok sebab ”berbeda” dengan orang-orang di lingkungannya.
Maka, stunting di sebuah wilayah akan menghambat perkembangan dan produktivitas masyarakatnya. Secara nasional, berjuta-juta angka tengkes akan mengakibatkan ”generasi yang hilang” (lost generation).
Tak ada skenario yang menggembirakan dari stunting. Sedemikian bahaya stunting ini, WHO menjadikan stunting sebagai fokus Global Nutrition Target 2025, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk 2030.
”Baduta”, periode genting
Secara medis, langkah penting dalam menangani stunting sebaiknya dilakukan pada periode krusial (genting), yaitu seribu hari sejak terjadinya janin hingga bayi berusia dua tahun. Inilah periode emas sekaligus masa rawan bagi pertumbuhan bayi. Artinya sejak janin dalam kandungan, ibu harus mendapat asupan nutrisi yang cukup dan dengan nilai gizi yang cukup pula. Nutrisi bergizi ini akan dibagi untuk kepentingan ibu dan sekaligus untuk janinnya. Setelah bayi lahir, nutrisi yang dimakan ibunya masih harus dibagi untuk bayinya, dalam bentuk ASI.
ASI tetap tumpuan fondasi utama masa depan fisik dan psikis anak. Dengan ASI eksklusif (hanya diberi ASI saja tanpa tambahan makanan lain sejak bayi lahir sampai usia enam bulan, bayi akan mendapatkan nutrisi paling sehat, dan membangun imunitas tubuh terhadap serangan penyakit. Apalagi jika pemberian ASI dilanjutkan sampai usia dua tahun, bersama dengan tambahan makanan, akan lebih menjamin pertumbuhan anak. Karena itulah ini disebut periode emas pertumbuhan anak. Jika periode ini soal nutrisi tertangani dengan baik, bisa dibilang potensi stunting bisa dicegah lebih dini. Selain nutrisi cukup, ibu hamil dan menyusui juga harus hidup dengan pasokan air bersih yang cukup, serta lingkungan dan sanitasi yang sehat.
Pendekatan medis saja tidak akan bisa mengatasi problem stunting. Perlu pendekatan multisektor yang terintegrasi. Di sini juga ada problem lingkungan, sanitasi, infrastruktur, ketersediaan pangan, ketersediaan lapangan kerja individu maupun kelompok. Maka, stunting bukan semata persoalan medis, melainkan juga persoalan ekonomi, tepatnya kemiskinan. Jika Indonesia ingin menurunkan angka stunting yang sekarang masih di angka 30,8 persen, pemerintah perlu memperkuat kampanye anti-stunting yang sudah dilakukan dengan penganggaran yang jitu (fokus dan efektif).
Secara berkala sudah terbit statistik angka stunting per provinsi, yang mestinya bisa dirinci ke level kabupaten/kota, serta level lebih rendah lagi, hingga desa, bahkan RT/RW. Jika sudah dipetakan wilayah-wilayah kecil yang angka stunting-nya tinggi, upaya pencegahannya bisa difokuskan. Jadikan wilayah itu target penurunan stunting. Beri tugas dan anggaran tambahan pada posyandu agar memperkuat program gizi bermutu bagi ibu hamil hingga bayi ”baduta” (bawah dua tahun), usia emas untuk membentuk calon manusia Indonesia berbadan kuat dan tinggi, serta pintar dan berjiwa bahagia.
Jika wilayah stunting merupakan wilayah terpencil yang jauh dari akses jalan, tandus, kumuh, tak ada lapangan kerja, dan sederet kekurangan lain, bisa direncakan serangkaian program untuk ”mengeroyok” daerah itu. Mulai dari membuat jalan baru membuka akses, membangun puskesmas untuk skala kelurahan dan posyandu untuk skala dusun, sekolahan, pasar, menumbuhkan perekonomian lokal, dan seterusnya. Program turunannya bisa disusun. Misalnya, pemberian nutrisi bergizi (susu, kacang hijau, telur) pada bayi dan anak balita yang datang ke posyandu atau pada anak sekolah seminggu sekali. Memperbanyak puskesmas dan posyandu, berarti juga menyiapkan dokter dan tenaga medis yang siap terjun untuk wilayah terpencil. Ini akan mempertegas ”membangun Indonesia dari pinggiran” yang jadi bagian pelaksanaan Nawacita pemerintahan Jokowi.
Bisa juga memunculkan diskusi baru untuk ”daerah khusus”: mana pilihan yang lebih baik, antara menjalankan semua program di atas secara in situ, atau memindahkan saja seluruh warganya ke wilayah baru yang siap berkembang. Harus diakui memang banyak wilayah sangat terpencil, ditinggali sekelompok masyarakat, yang daya dukung lingkungannya terbatas, selalu muncul problem kesehatan akut, hidup masih pada level memenuhi kebutuhan dasar; namun negara harus hadir di sana. Dan, sering ”terlambat”, misalnya sudah kedahuluan ada berita kelaparan.
Padahal, enklave-enklave kemiskinan akut itu memang sangat sulit dijangkau dan dikelola. Mungkin perlu terobosan agar saudara-saudara yang tertinggal itu terentas, perlu dipindahkan ke dekat tempat yang sudah ada fasilitas kehidupan dasar serta akses ekonomi sehingga lebih mudah dilayani dan tak kecolongan memburuknya situasi yang kerap terjadi. Ini perlu jadi pemikiran, untuk menyelesaikan bukan hanya problem stunting, melainkan juga problem kehidupan dasar lain.
Dan yang tak kalah penting adalah membangun sistem basis data (database), tunggal dan akurat. Jangan seperti data tentang tata guna lahan yang sampai sekarang masih simpang- siur banyak versinya. Data geospasial bisa memberikan petunjuk tentang wilayah mana yang masih tinggi angka stunting-nya, mana yang sudah bebas. Bisa dirinci penderita stunting-nya berdasar usia, keluarganya, riwayat kesehatan, pekerjaan, pendidikan dan pendapatan orangtuanya, dan seterusnya. By name by (parents) address. Setelah itu ditentukan peta jalan target penurunan stunting. Misalnya, 2023 turun jadi 25 persen, 2025 jadi 22 persen, 2027 jadi 19 persen, 2030 jadi 15 persen, agar lebih baik daripada SDGs 2030.
Secara umum stunting adalah akibat dari problem ekonomi dan sosial, tepatnya kemiskinan. Penanganan medis semata hanya sanggup menangani pada domain kuratif (pengobatan), yaitu pada mereka yang sudah terpapar sakit. Tapi, untuk pencegahan dan pemberantasannya, wajib ”keroyokan” kerja lintas sektoral: infrastruktur, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi setempat. Yakin kita bisa karena kita bukan ”bangsa kerdil”.
Djoko Santoso Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair; Pendiri Rumahginjal.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar