Putusan yang (Harusnya) Mengakhiri
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dibacakan secara bergiliran oleh para hakim MK.
Pada dasarnya, MK menolak semua permohonan pemohon dan karenanya keputusan KPU telah memiliki kekuatan mengikat untuk menyatakan siapa pemenang Pilpres 2019.
Putusan itu sendiri, jika dilihat secara detail, dibangun dengan bangunan logika yang sebenarnya cukup menarik untuk dilihat secara mendetail. Setidaknya MK memulai dengan analisis apakah menggunakan permohonan pertama (24 Mei 2019) atau permohonan kedua (10 Juni 2019).
Cara MK memutus sesungguhnya sangat wise. MK tidak masuk ke logika sangat formalistik bahwa hukum acara tidak membolehkan atau mengatur dimungkinkannya perbaikan permohonan, tetapi menggunakan logika kesalahan aturan hukum tahapan yang mustahil ditegakkan karena jadwal persidangan yang bertabrakan dengan libur hari besar nasional.
MK mengatakan bahwa memang permohonan kedua sudah tidak tepat secara hukum acara. Namun, tidak mungkin juga strict ke permohonan pertama sebab jika diregistrasi, persidangan harus segera dilakukan karena batas waktu 14 hari (speedy trial) dan itu bertidakkesesuaian dengan jadwal libur hari raya. Lagi pula, pihak termohon, pihak terkait, maupun Bawaslu sudah membahas dengan permohonan kedua, yang berarti semua pihak sudah didengar ke-terangannya secara berimbang.
Meski masuk ke permohonan kedua, MK kelihatannya mengunci dengan beberapa logika. Pertama, MK menyatakan bahwa tidak akan masuk ke kewenangan lembaga lain, khususnya dalam irisan dengan kewenangan sengketa pemilu, pelanggaran pemilu, dan sengketa hasil sudah ada porsi-porsi kelembagaan yang mengerjakannya. Dalam hal ini, irisan terbesar ialah di Bawaslu dan PTUN.
MK dengan tegas menegaskan tidak akan masuk ke sana sepanjang sudah dilakukan penegakan hukum dengan baik dan benar.
Kedua, MK membangun frame putusannya dalam konsep apa pun yang mau dibuktikan harus berkorelasi dengan permohonan kedua yang sudah dibuka oleh MK untuk dibahas meski hukum acaranya tidak terlalu pas untuk itu.
Karena itu hanya yang ada dalam permohonan dan didalilkan yang akan dipertimbangkan.
Ketiga, MK mengatakan, meski MK tidaklah mahkamah kalkulator murni, oleh karena porsi-porsi sudah dibagi ke lembaga lain dan MK haruslah tetap dikaitkan dengan perolehan suara.
Apa pun dalil yang dibawa harus dikaitkan dengan perolehan suara, khususnya dalil-dalil yang bicara soal perhitungan agar tetap berkaitan dengan kewenangan Mahkamah.
Keempat, MK jelas meminta apa pun pembuktian yang dilakukan haruslah tetap jelas, tentang apa, di mana, dalam hal apa, dan pertanyaan mendetail lainnya dalam kaitan bukti-bukti yang dihadirkan agar bisa dikaitkan dengan dalil dan menimbulkan keyakinan hakim. Frame mendetail lainnya sesungguhnya masih bisa panjang.
Namun, sederhananya, dalam konsep frame yang dibangun MK, semua isi permohonan tidaklah dapat diterima karena bagaimana pun, ini ialah proses hukum dan bukanlah bangunan opini, asumsi, politisasi bahkan logika yang mengada-ada, serta membangun dalil yang tidak masuk di akal. Frame hukum MK menggugurkan semua permohonan itu.
Pertanyaan menariknya adalah apakah dengan ini proses sudah selesai? Saya yakin, secara hukum seharusnya sudah selesai.
Terlepas ada perbedaan cara MK, persepektif MK, dan hal lain yang biasanya masih akan dikorek oleh pihak yang dikalahkan. Juga terlepas dari hukum yang memang menguntungkan satu pihak dan tidak menguntungkan pihak lain.
Namun, ini semua bisa berakhir tatkala ada bangunan jiwa demokratis untuk menerima hasil hukum yang disepakati dalam konsep demokrasi sebagai akhir.
MK sudah mengakhirinya. Semoga semua pihak mau menerima sebagai proses akhir. Tugas selanjutnya ialah siapa pun presiden terpilih masih punya tugas besar mengurus publik di negeri Indonesia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar