Drama Logika Sesat di Hadapan Hakim MK
RUMPUT liar logical fallacy atau logika sesat yang tumbuh beriring dengan padi kewarasan berpikir di dalam ruang yang sama. Itulah yang telah terjadi dalam ruang sidang perselisihan hasil Pemilihan Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tugas berat kita sebagai bangsa adalah mampu mendeteksi argumentasi yang bersifat logical fallacy atau kesesatan logika, yang secara halus dan semilir berhembus dalam diskursus dari para ahli dan saksi yang digali keterangannya untuk mendapatkan fakta dan kebenaran perkara.
Berikut adalah beberapa kesesatan logika yang cukup menonjol digunakan secara intens pada atmosfer Pemilu Serentak 2019 dan terutama dalam ruang persidangan MK yang baru lalu.
Pertama, argumentum ad verecundiam atau berargumen dengan menggunakan otoritas meski tidak relevan. Sesat logika jenis verecundiam ini terutama terletak pada dihadirkannya ahli di suatu bidang untuk memvalidasi suatu argumen.
Tentu saja mengutip pendapat para ahli baik untuk dilakukan sepanjang itu berhubungan dengan pokok perkara yang sedang dipersoalkan. Misalnya, dihadirkannya para ahli teknologi informasi (TI) untuk menjelaskan terjadinya kesalahan input data dalam Situng di laman Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjustifikasi terjadinya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Kesesatannya terletak pada hadirnya bahan yang tidak berpengaruh pada pokok perkara yang hendak dibuktikan.
Kesalahan Situng dalam tampilan laman KPU, bila memang itu terjadi, hanya membuktikan KPU atau petugas penginput data tidak baik kinerjanya atau wanprestasi sehingga dapat mengakibatkan kekeliruan informasi pada khalayak. Namun tak serta merta dapat disimpulkan sebagai sebuah kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif yang menyebabkan kemenangan atau kekalahan kandidat tertentu.
Karena sah atau tidak sahnya hasil Pemilu bukan didasarkan pada data online (Situng), namun pada data offline, yaitu dokumen on-paper C1 dan rekapitulasi di setiap jenjang.
Ringkasnya, kita dapat menghadirkan ahli untuk mendapatkan otoritas kepakaran dalam satu ilmu. Namun bila itu tak berhubungan dengan legalitas sumber perkara, otoritas yang dihadirkan hanyalah semu.
Kedua, bifurkasi. Kesesatan logika jenis bifurkasi ini adalah memaksakan hanya pada dua pilihan kemungkinan, padahal sebenarnya ada banyak kemungkinan lain yang dapat digali dalam penelisikan bukti-bukti sebelum sampai pada kesimpulan.
Jurus argumen bifurkasi ini sering disebut juga black and white atau hitam-putih. Kesesatannya adalah pada penyangkalan terhadap pilihan-pilihan atau kemungkinan-kemungkinan lain.
Contoh kasus, imbauan bagi pendukung salah satu kandidat untuk mengenakan baju putih ke tempat pemungutan suara (TPS). Narasi framing yang hendak diambil hanya pada dua kemungkinan, yaitu imbauan mengenakan baju putih tersebut telah mengintimidasi kelompok pemilih lain atau menyebabkan keengganan banyak orang datang ke TPS karena pilihannya berbeda dengan kelompok berbaju putih.
Kesimpulannya, gerakan mengenakan baju putih adalah bentuk kecurangan TSM yang menyebabkan kekalahan pihak pemohon perselisihan hasil pilpres, dalam hal ini adalah pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Padahal mungkin saja ada kemungkinan yang lain, misalnya, imbauan mengenakan baju putih tersebut tidak cukup efektif dituruti oleh para pendukung kandidat yang bersangkutan karena banyak pemilih yang tidak ingin teridentifikasi sebagai pendukung kandidat tertentu.
Contoh kasus pada kesesatan bifurkasi tersebut, dapat juga dipakai pada jenis logical fallacylainnya, yaitu jumping to conclusions di mana kesesatan logikanya terletak pada pengambilan kesimpulan tanpa memiliki informasi yang memadai untuk memastikan kebenarannya.
Ketiga, petitio principii. Kesesatan jenis ini terletak pada ketergantungannya pada kesimpulan yang belum dipastikan kebenarannya. Kesimpulannya digunakan secara tersamar dalam premis-premis yang mendukungnya. Mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang semestinya netral, untuk mendukung atau memilih kandidat petahana. Tampaknya, kita harus ikut ke dalam bilik suara untuk melihat langsung dan sekaligus membuktikan pilihan setiap ASN dijatuhkan pada sang kandidat petahana.
Keempat, post hoc ergo propter hoc (PHEPH). Sesat logika jenis PHEPH ini dengan mudah dipahami dalam metafora berikut. Setiap pagi, ayam berkokok dan setelah itu diikuti oleh terbitnya matahari. Kesimpulan, terbitnya matahari disebabkan oleh ayam berkokok. Kesesatan logikanya adalah menghubungkan suatu peristiwa yang mendahului peristiwa lainnya sebagai sebab-akibat karena adanya pattern (pola).
Masih ditemukannya problematika data pemilih kita, menimbulkan adanya pemilih siluman. Dan pemilih siluman selalu menguntungkan kubu petahana. Pola demikian dapat dilihat pada menangnya banyak kubu petahana di pemilihan kepala daerah (pilkada).
Padahal, kata 'banyak' sendiri tidak mencerminkan keseluruhan, melainkan hanya sebagian besar. Dan lagi pula, bukan hanya petahana yang dapat memainkan data pemilih siluman tapi juga bergantung pada kelihaian kubu penantang untuk juga dapat mengesploitasinya.
Data kependudukan memang belum beres, namun untuk membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa para pemilih siluman itu eksis untuk 'disewa' bagi kemenangan pihak tertentu, masih jauh perjalanan untuk memvalidasinya.
Di titik ini, biasanya pendekatan kualitatif hanya sekadar dijadikan emergency exit ketika pembuktian kuantitatif tak cukup kuat menopang bukti-bukti yang lemah. Tentu, dugaan kuat juga harus dapat ditopang oleh bukti-bukti yang sama kuatnya.
Masih sangat banyak ragam jenis kesesatan logika dalam diskursus politik elektoral kita, terutama pada masa perdebatan wacana dalam tahapan kampanye.
Argumen logical fallacy itu seperti batu pengganjal di kaki meja yang timpang. Singkirkan batunya, argumen yang tersusun di atas meja akan terjungkal.
Kesesatan logika, seringkali bersejingkat menyusup masuk dalam kewarasan berpikir kita tanpa terasa. Ia seperti sapu yang mendorong fakta-fakta menganggu ke bawah karpet praduga. Karena itu, penting untuk menggeledah dengan cermat setiap logical fallacy agar tipuannya tak menyeret kita dalam ketidakadilan. Bukankah nilai adil itu harus dimulai sejak dari cara kita berpikir? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar