Nasi Merah
Judul di atas datang setelah saya membaca kalimat yang tertulis pada standing banner di depan sebuah rumah makan. Kalimat itu tertulis cukup jelas dan ukuran huruf yang lumayan besar. Begini kalimat itu. Tersedia nasi merah.
Sok mau sehat
Selesai membaca dalam waktu sekian detik, saya berpikir bahwa rumah makan itu menyuguhkan pilihan selain nasi putih yang dianggap tak sehat dibandingkan nasi merah. Waktu saya selesai membaca itu, saya masih belum berpikir macam-macam. Selang beberapa menit setelah melewati rumah makan itu, saya kemudian tertawa.
Rumah makan itu adalah salah satu rumah makan yang telah beberapa kali saya kunjungi. Menunya beraneka rupa. Yang jelas, asin, pedas, bersantan, dan sudah bisa saya pastikan berkolesterol tinggi. Tersedia ayam goreng, ikan, terung, dan sebagainya, dan sebagainya. Enaknya luar biasa.
Membayangkan semua menu itu, saya kemudian jadi bertanya di mana manfaatnya nasi merah yang menjadi pilihan sebagai pengganti nasi putih yang kata beberapa teman saya jauh lebih sehat, kalau padanan untuk makan nasi merah itu adalah sumber kenikmatan yang dapat mendatangkan kepala cenut-cenut, yang mampu menaikkan tekanan darah, yang bisa membuat beberapa manusia, termasuk saya, menegak obat anti-asam urat, antikolesterol, dan anti segalanya?
Apakah dengan menyediakan pilihan itu, rumah makan itu memberi peluang bagi mereka yang awalnya takut makan nasi putih dan tak berkunjung ke rumah makan itu untuk merasa tenang dan mulai berpikir untuk bersantap di tempat itu. Dengan begitu, jumlah tamu yang datang akan lebih banyak sehingga memberi pemasukan yang semakin banyak juga? Sungguh saya tak tahu.
Akan tetapi, dari semua yang saya pikirkan setelah melewati rumah makan itu, saya teringat dengan cara saya hidup. Saya tak berbeda dengan cerita di atas. Nasi merah bisa membuat saya lebih merasa tenang meski nasi itu disantap dengan menu seperti yang saya sebutkan di atas dan mungkin yang telah pernah Anda cicipi juga.
Setiap pagi saya merasa tenang dan sehat setelah mengasup jus buah dan bubur gandum kemudian dilanjutkan dengan berolahraga, meski waktu makan siang tiba, saya menyantap makanan yang mampu membuat saya menegak lagi segala obat berlabel anti ini dan anti itu.
Saya merasa aman dan tenang kalau sudah berjalan kaki di Gelora Bung Karno satu jam setengah lamanya dua kali dalam seminggu, karena saya merasa waktu berkeringat itu menghapuskan dosa-dosa yang saya masukkan ke dalam tubuh, dan kemudian merasa bersih setelah 90 menit.
Emang enggak mau sehat
Dan setelah berolah raga tersebut, setelah saya merasa telah membuang kotoran itu, saya siap menelepon teman-teman untuk pergi bersama menyantap menu makan siang atau malam yang super berlemak setelah membuang keringat itu. Saat saya menyantap, saya merasa berhak menikmati yang tidak sehat itu sebagai upah 90 menit tersiksa menjadi sehat.
Saya merasa tenang kalau sudah berdoa dan sudah ke rumah ibadah. Saya merasa aman karena setiap hari berdoa dan setiap minggu ke gereja. Rasa tenteram itu karena saya sudah melakukan kewajiban spiritual saya, meski setelah itu saya mulai melakukan kejahatan.
Jadi, ketenangan itu saya jadikan modal untuk melakukan ketidakbenaran. Saya merasa tenang menjalankan perselingkuhan, korupsi, membuat onar. Kenapa bisa begitu? Karena saya sudah pergi ke rumah ibadah, karena saya sudah taat berdoa, dan karena saya sudah memohon ampun di rumah ibadah itu.
Persis seperti waktu saya pergi menyantap makanan. Karena saya sudah makan nasi merah, maka jeroan dan segala jenis gorengan dari minyak berwarna hitam pekat yang saya telan, berasa seperti makanan tersehat di dunia dan tak mendatangkan rasa bersalah.
Maka bertanyalah saya kepada diri sendiri. Jadi di manakah manfaat nasi merahmu? Olahragamu? Jus buah dan bubur gandummu? Ibadahmu? Doamu? Apakah semuanya itu hanya sebagai obat penenang yang efeknya sementara saja?
Apakah itu hanya sebagai saranamu untuk dapat menjalankan hal yang tidak baik tanpa merasa bersalah? Apakah itu hanya sebuah tipuan dirimu karena sejatinya kamu itu juga tak berkeinginan untuk menjadi sehat, tak bermaksud menjadi orang yang baik dan melakukan hal yang benar?
Waktu saya melewati rumah makan itu, saya sedang berniat pergi berbelanja buah pepaya sebagai buah kesukaan, yang selain murah, enak, dan memudahkan saya untuk buang hajat setiap pagi bertahun lamanya.
Waktu saya tiba di toko buah itu, dan ketika saya mengambil buah pepaya potongan, nurani saya mulai berkicau. ”Beli pepaya ini beneran mau sehat, apa emang cuma buat gampangin buang kotoran, terus makan seenaknya lagi?”
Saya sudah tak mau mendengar celoteh nurani bawel itu, meski saya tahu saya tak bisa menghindari untuk tidak mendengar. Saya hanya berkonsentrasi mendengar suara mbak di kasir di toko buah itu.
”Pakai kantong plastik apa enggak, Mas?” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar