Jumat 28 Juni 2019, 14:46 WIB
Kolom
Dakwah Islam Moderat Harus (Lebih) Kreatif
Jakarta -
Tulisan saya tentang Dakwah "Smart" vs Dakwah Konvensional dikomentari dengan lugas oleh Kalis Mardiasih, seorang aktivis literasi muda yang banyak menginspirasi generasi milineal, baik muslimi maupun muslimah. Tentu saya sangat senang, tulisan reflektif saya dibaca dan dikritik dengan tajam oleh pegiat literasi media, sehingga saya sebagai penulis pemula bisa banyak belajar.
Namun ada beberapa hal yang menurut saya salah persepsi dalam tulisan tersebut. Yang pertama, saya tidak mengatakan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (secara organisasi) akan kalah ataupun tidak laku oleh kelompok Islam "hijrah". Yang saya tekankan adalah kreativitas dakwah kalangan Islam moderat yang perlu ditingkatkan, yang sementara ini ketinggalan dengan kalangan "hijrah". Saat ini dakwah kalangan moderat sudah beragam, tetapi daya tariknya belum terlalu kuat karena kurang kreatif.
Perkembangan dakwah "smart" (ataupun dakwah model kekinian) yang saat ini muncul sebenarnya adalah keniscayaan. Ketika sebuah teknologi muncul dan digunakan oleh kelompok yang mengaitkannya dengan agama, maka akan ada proses fragmentasi otoritas keagamaan yang sudah ada. Proses yang sebenarnya terus berulang dari satu masa ke masa. Ini terjadi semisal pada awal abad ke-20 ketika gerakan (atau dakwah) pembaharuan Islam masuk ke Nusantara. Sebuah gerakan yang awalnya diinisiasi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir yang kemudian direplikasi di Nusantara.
Tokoh seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dari Padang dengan MajalahAl-Munir dan KH. Ahmad Dahlan dari Yogyakarta dengan Majalah Suara Muhammadiyah adalah contoh fragmentasi otoritas keagamaan. Salah satu faktor suksesnya dua ulama tersebut adalah beredarnya teknologi cetak yang sangat membantu penyebaran dakwah puritan yang "menantang" otoritas ulama yang sudah ada lama di Nusantara. Munculnya dakwah "pembaharuan" dengan media cetak ini menimbulkan pro dan kontra, dan tidak jarang pada masa itu muncul perdebatan publik secara langsung antara kelompok pembaharuan (kaum muda) dan kelompok pengawal tradisi ulama Nusantara (kaum tua).
Berdirinya Muhammadiyah sebagai representasi gerakan pembaharuan dan Nahdlatul Ulama sebagai representasi ulama Nusantara adalah dua contoh dinamika dua gerakan dakwah yang berbeda. Pada akhirnya gerakan ulama Nusantara yang diwakili oleh NU bisa mengikuti dakwah "modern" yang dilakukan lebih dulu oleh Muhammadiyah.
Kejadian hari ini, dengan kelompok "hijrah" ataupun gerakan keagamaan yang semisal, adalah pengulangan kejadian pada awal abad ke-20. Suka atau tidak suka, kelompok "hijrah" hari ini berusaha untuk membuat alternatif otoritas keagamaan sebagai jawaban keinginan kaum milenial. Dengan perangkat teknologi digital yang banyak digunakan kaum muda, mereka mencoba memberikan alternatif wacana keagamaan yang dalam kontennya bisa sama atau berbeda dengan otoritas agama yang dominan di Indonesia, baik itu Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama.
Yang kedua, saya tidak membandingkan kualitas antara dakwah kelompok hijrah dengan dengan dua organisasi besar Islam di Indonesia. Secara kualitas, saya sepakat bahwa kualitas kajian keagamaan di NU dan Muhammadiyah sangat mendalam. Yang saya kritisi adalah kemasan dan branding dakwah NU dan Muhammadiyah. Peneliti Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Hew Wai Weng (2015), dalam tulisannya tentang dakwah digital di Indonesia dan Malaysia mengatakan bahwa keberhasilan dakwah dai milenial karena tiga aspek: estetika visual, menggunakan cara yang komunikatif (seperti forum tanya-jawab), dan strategi marketing.
Dari tiga aspek di atas, tidak ada indikator kualitas agar dakwah bisa diterima oleh milenial. Boleh jadi secara kualitas, konten dakwah digital yang trendingsaat ini sangat jauh dibandingkan dai NU dan Muhammadiyah. Tetapi secara estetika visual, strategi komunikasi dan marketing, dakwah milenial seperti Hijrah Fest lebih unggul sehingga jauh lebih menarik kalangan milenial.
Dari tiga aspek di atas, tidak ada indikator kualitas agar dakwah bisa diterima oleh milenial. Boleh jadi secara kualitas, konten dakwah digital yang trendingsaat ini sangat jauh dibandingkan dai NU dan Muhammadiyah. Tetapi secara estetika visual, strategi komunikasi dan marketing, dakwah milenial seperti Hijrah Fest lebih unggul sehingga jauh lebih menarik kalangan milenial.
Apakah NU dan Muhammadiyah tidak bisa berbuat sama? Tentu sangat bisa. Dengan kualitas yang kuat ditambah tiga aspek di atas, NU dan Muhammadiyah bisa menjawab lebih jauh kebutuhan dakwah Islam di era milenial.
Dan jika kita lihat dari beberapa dai yang cukup dikenal di dunia maya, banyak di antaranya secara teologis dekat dengan Nahdlatul Ulama. Seperti yang saya sebutkan di artikel saya sebelumnya, Yusuf Mansur dan Buya Yahya dan beberapa habib yang aktif di medis sosial, mereka secara kultural keagamaan dekat dengan NU meski mungkin tidak mempunyai hubungan struktural dengan NU. Beberapa pendakwah ini menunjukkan bahwa estetika, metode yang komunikatif dan strategi marketing menjadi sesuatu yang penting di dakwah era digital ini.
Yang ketiga, di antara dua kelompok moderat, yang paling reaktif terhadap dakwah hijrah adalah kelompok NU. Kelompok Muhammadiyah relatif lebih menerima munculnya gerakan kelompok hijrah. Ini bisa dilihat semisal dari pernyataan Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah yang mengatakan bahwa Hijrah Fest sebagai "tren positif dan arus baru gerakan Islam." Meskipun, Abdul Mu'ti mewanti-wanti agar kegiatan ini tidak dimasuki unsur politis.
Kenapa ini terjadi? Paling tidak ada dua hal yang bisa dilihat. Pertama, kelompok hijrah adalah fenomena urban, jadi secara model gerakan bisa bertemu dengan Muhammadiyah. Kedua, secara teologis gerakan kelompok hijrah beririsan dengan Muhammadiyah yang mempunyai visi gerakan pembaharuan Islam. Dua hal ini sangat berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang menitikberatkan pada tradisi ulama Nusantara. Sehingga untuk Muhammadiyah, teologi kalangan "hijrah" ini tidak terlalu masalah.
Dia akan dianggap bermasalah jika sudah masuk ranah politik, baik itu politik transnasional seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ataupun politik praktis seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang beberapa kali mengalami benturan dengan Muhammadiyah. Selain dua yang di atas, Muhammadiyah juga akan khawatir kepentingan politik yang lebih keras masuk, seperti infiltrasi gerakan jihadis masuk di kalangan kelompok hijrah.
Dia akan dianggap bermasalah jika sudah masuk ranah politik, baik itu politik transnasional seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ataupun politik praktis seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang beberapa kali mengalami benturan dengan Muhammadiyah. Selain dua yang di atas, Muhammadiyah juga akan khawatir kepentingan politik yang lebih keras masuk, seperti infiltrasi gerakan jihadis masuk di kalangan kelompok hijrah.
Di luar ketiga poin di atas, ada satu kesamaan persepsi dan tujuan dari apa yang ditulis oleh Kalis Mardiasih dengan tulisan saya. Bahwa kalangan Islam moderat tidak antikritik. Dan sudah ada upaya yang sangat serius untuk membuat konten dakwah lebih kreatif dan beragam, sehingga jamaah milenial punya pilihan untuk belajar Islam lebih mendalam, tidak bersifat instan dan terjebak dalam narasi ideologi politik seperti HTI ataupun jihadis.
Muhammad As'ad ; Dosen di Universitas Hasyim Asy'ari (Unhasy), Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang
Muhammad As'ad ; Dosen di Universitas Hasyim Asy'ari (Unhasy), Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar